Di dalam kelas, Agatha menyunggingkan senyumannya ketika berhasil duduk di antara Elva dan Fahima. Callista belum datang, atau mungkin memang tidak akan datang. Di antara mereka berempat, sosok Callistalah yang sering kali absen dari mata kuliah. Dan entah apa urusan yang membuat wanita cantik tersebut harus meninggalkan satu atau dua mata kuliah. Yang pasti, ketiganya yakin jika itu bukan merupakan sesuatu yang penting.
Mereka sangat tahu bahwa aktivitas Callista tidak jauh-jauh dari yang namanya belanja dan merias diri. Hanya itu pekerjaannya sehari-hari, dia lebih senang mengasah kemampuannya dalam mempercantik diri daripada mengasah otaknya dengan mata kuliah yang sering kali disampaikan dengan cara yang membosankan.
“Agatha, aku menonton wawancaramu dan itu sangat membuatku terkejut, apa benar kau akan pergi bulan madu ke Yunani?” pekikan pertama yang Elva ucapkan ketika Agatha telah benar-benar duduk di sampingnya. Matanya menyiratkan kekaguman yang luar biasa hingga kekasih dari Mark Thompson tersebut membuat tangannya sendiri untuk menutup mulut.
“Aku pun menontonnya, bahkan berulang-ulang. Setiap acara yang menyiarkan berita aku pasti langsung menemukan beritamu tentangmu, aku juga membaca di internet. Kalian sungguh tampak seperti suami istri yang harmonis dan pasangan baru yang bahagia. Aku sempat berspekulasi jika kalian sudah saling menerima saat bertemu denganmu kemarin malam di restoran.” Fahima menimpali seraya memusatkan perhatiannya pada Agatha dengan cara menyimpan ponselnya yang masih menampilkan wajah Abdullah. Wanita asal Timur Tengah tersebut sedang melakukan telepon video bersama dengan kekasihnya.
Kalimat Fahima membuat Elva semakin terkesima. “Benarkah demikian? James mengajakmu makan malam di restoran? Itu sebenarnya bukan sesuatu yang sangat romantis, sudah lumrah dilakukan banyak pasangan. Tetapi beda lagi ceritanya jika yang melakukan hal tersebut adalah kalian.”
“Kau dan Fahima sangat berlebihan dalam menyimpulkan. Aku dan James hanya melakukan peran sesuai kesepakatan. Tidak ada yang namanya kami benar-benar menerima satu sama lain. James terlihat masih sangat mencintai Emily—“
“Dan kau masih sangat mencintai Jonathan!” simpul Elva dan Fahima secara bersamaan. Hal tersebut membuat Agatha mengatupkan bibirnya rapat dan bisa tak mendebatnya sama sekali. Untuk sekarang dirinya masih menyimpan perasaan cinta dan sayang untuk Jonathan, walau sudah diselimuti rasa sakit dan kecewa yang berkepanjangan.
“Aku hanya tinggal menunggu waktu di mana rasa sakit yang ditorehkan oleh Jonathan beranak pinak hingga menggantikan semua perasaanku padanya selama ini.”
Fahima mendengus kesal. “Kau tidak akan bisa membencinya, Agatha. Karena kau sama sekali tidak berusaha untuk melakukannya.”
“Kau harus membencinya, setidaknya jangan memiliki perasaan apa pun terhadapnya. Jangan lagi memedulikan bagaimana keadaannya, jangan mencari tahu bagaimana kelanjutan hubungan Jonathan dengan selingkuhannya, atau apa pun itu yang berkaitan dengan Jonathan. Kau harus berhenti menjadikan dirinya sebagai salah satu orang yang kau kenal.”
Agatha terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Fahima dan Elva. Keduanya benar, langkah pertama yang harus Agatha lakukan adalah tidak lagi memedulikan Jonathan. Bagaimana kisahnya, bagaimana keadaannya, kabarnya, dan apa pun itu yang menyangkut dengan diri Jonathan. Ia harus menghilangkan Jonathan dari pikirannya.
“Terima kasih, aku tahu kalian memang pemberi saran yang baik.” Agatha berujar dengan senyum ketulusan. Sekarang matanya terbuka lebar mengenai jalan pikirnya yang selama ini salah. Sampai pagi tadi ia masih memikirkan bagaimana caranya untuk membuat Jonathan menyesali perbuatannya, yang mana hal tersebut malah membuatnya semakin memikirkan mantan kekasih brengseknya tersebut secara terus menerus.
Dan itu malah akan membuatnya semakin sulit melupakan Jonathan.
“Aku bisa membayangkan saran apa yang mungkin saja diucapkan oleh Callista jika kau meminta saran padanya,” tutur Elva dengan wajah yang menyiratkan jika dirinya ingin tertawa, tetapi menahannya dengan baik.
“Dia pasti menyarankan Agatha untuk pergi ke salon dan pusat perbelanjaan. Karena hanya itu yang dia lakukan jika di sedang dilanda masalah!” seru Fahima yang berhasil membuat tawa mereka menggema.
Untung saja Callista sedang tidak berada di sini. Jika ada, wanita tersebut pasti akan merajuk dengan bibir yang maju ke depan.
Elva menghentikan tawanya ketika mengingat pertanyaannya yang belum sempat terjawab Agatha. “Jadi Agatha, apakah kalian akan benar-benar pergi ke Yunani untuk berbulan madu?”
“Tentu saja kami akan pergi. James pasti akan sangat malu jika tidak melakukannya karena kami sudah mengumumkannya. Di sana aku akan memanfaatkan waktuku untuk jalan-jalan. Mungkin aku pun akan sedikit memanfaatkan uangnya. Callista bilang, sayang punya suami kaya raya jika tidak dimanfaatkan dengan baik.”
“Kali ini aku setuju dengan Callista. Setidaknya jika kalian tidak memiliki jodoh yang panjang dalam artian kalian akan bercerai suatu saat nanti, kau tidak terlalu rugi!”
“Jangan lupa belikan kami oleh-oleh, dan jangan tanggung-tanggung dengan harga yang kau pilih, Agatha. Aku yakin jika suamimu tak kan jatuh miskin bahkan jika kau meminta untuk membelikan kami masing-masing satu unit rumah di Yunani.” Elva berujar dengan kepala yang mengangguk-angguk.
“Tentu saja aku akan membeli oleh-oleh, tetapi bukan rumah pula yang akan aku berikan,” dengus Agatha seraya memutar bola matanya malas.
“Sayang, apa kau masih ingin mengobrol denganku?”
Suara seorang pria yang berasal dari ponsel Fahima yang tergeletak di meja membuat atensi ketiganya teralih. Fahima yang melupakan jika sambungan teleponnya bersama Abdullah belum berakhir langsung menepuk keningnya sendiri dengan kasar dan langsung mengambilnya kembali.
“Maaf, aku lupa jika kita masih tersambung,” ringis Fahima. Kemudian ia menatap kesal pada Elva dan Agatha yang menertawakan tingkah bodohnya.
“Tidak mengapa, sepertinya kalian terlarut dalam obrolan.”
Fahima tersenyum lembut seraya mematikan sambungannya. Ia menarik napas dalam dan menyimpan ponselnya kembali. “Untung saja kita tidak membahas sesuatu yang sensitif. Bagaimana jika tadi kita membicarakan mengenai hubunganku dengan Jonathan? Abdullah pasti tidak akan menyukainya.”
“Dan jika pun itu terjadi, itu adalah kelalaianmu!”
***
James baru saja selesai dengan urusannya di perusahaan. Hari ini, dirinya sengaja meminta kepada Albert—pria yang menjabat sebagai sekretarisnya agar mengosongkan jadwalnya dan menunda jadwal yang telah dibentuk ke hari esok. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, James ingin pergi ke tempat di mana wanita yang diduga cinta pertama dan cinta masa kecilnya berada.
Yang perlu James lakukan sebelum benar-benar pergi meninggalkan gedung pencakar langit yang menjadi pusat perusahaannya adalah menyimpan beberapa dokumen penting yang bisa ia serahkan pada Albert.
James menyimpannya di sebuah lemari yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari saja. Setelah selesai dengan aktivitasnya, James langsung bergegas ke luar dengan jas mahal dan indah masih melekat di tubuh atletisnya. Langkah kakinya yang baru saja membuat tubuhnya berada di luar ruangan pribadinya membuat seluruh pegawai yang melihatnya langsung menunduk.
Aturan semacam itu memang James sendiri yang membuatnya. Ia merasa tidak suka jika para karyawan yang bekerja di perusahaannya dapat dengan leluasa memandangi tubuhnya ataupun wajahnya. Baginya itu tidak sopan dan membuatnya merasa risi. Apalagi jika yang menatapnya tersebut merupakan karyawati yang seolah-olah menaruh bayangan di masa depan jika mereka bisa menjadi istri dari James.
James benci ketika ia bisa mengetahui isi pikiran karyawatinya walau mereka tidak mengatakan apa pun. Namun, tatapan mata dan mimik wajah yang mereka tampilkan jelas mengungkap segalanya yang ada di balik tengkorak mereka.
“Albert, kau tetap laksanakan tugasmu di sini hingga jam kerja usai,” ujar James kepada pria berkacamata yang duduk di meja khusus sekretaris.
Albert langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengangguk sigap. “Baik, Tuan!”
Tidak menjawab lagi, James langsung melangkahkan kakinya dengan gaya yang sangat gagah. Hal tersebut diikuti oleh Hans yang memang selalu berjaga di depan ruangan James. Sebagai orang yang telah berhasil menjadi kepercayaan tuannya, Hans memiliki upah yang paling besar dari yang lainnya. Bahkan karena upah yang diberikan oleh James, kini Hans termasuk ke dalam jajaran orang yang berpenghasilan besar dan sangat cukup untuk membuka sebuah usaha.
Namun, hal tersebut tidak dilakukannya karena ia yang tidak mau berhenti bekerja pada James. Baginya, kepercayaan adalah hal yang sulit untuk didapatkan, ia tidak akan berhenti bekerja pada James kecuali pria itu sendiri yang memberhentikannya karena sudah tak puas dengan kinerjanya.
Saat keduanya sampai di luar gedung, seluruh pengawal yang berpakaian serba hitam langsung membukakan pintu mobil dan mempersilakan James masuk ke dalamnya. Tak lupa mereka pun langsung menyiapkan kendaraan mereka yang akan digunakan untuk mengawal James.
Hans sendiri memasuki mobil yang ditumpangi oleh James, pria itu terbiasa untuk berada di dalam satu kendaraan dengan majikannya kecuali jika James membawa orang lain ke dalam mobilnya.
Tentu saja Hans tidak duduk berdampingan dengan James, karena hal tersebut tidak sopan untuk dilakukannya. Hans duduk di samping sopir profesional yang mengendarai mobil mewah ini.
“Hans, apa kau sudah mendapatkan alamat yang jelas?” tanya James, ia tidak ingin jika mereka salah mendatangi tempat. Karena dirinya sudah sangat ingin bertemu dengan Catherine.
“Sudah, Tuan. Frank sudah memberikan alamat yang lengkap. Dan dia mengatakan jika dirinya dan beberapa pengawal lain sedang mengawasi rumah Nona Catherine.”