Roda itu berputar, sama seperti kehidupan. Tak semua orang berada di ambang kebahagiaan tanpa ujung, juga tidak semua orang akan hidup dalam kesedihan yang membuat diri malas hanya untuk sekedar bernapas.
Dulu, Agatha meragukan hal tersebut. Ia berpikir jika dirinya akan hidup dalam kemiskinan selamanya. Kelaparan dan kekurangan akan menjadi temannya sehari-hari dan selamanya. Namun, pemikiran itu pupus seketika ketika sekarang ia menginjakkan kakinya di Sun University dengan cara yang berbeda.
Biasanya, Agatha akan datang ke kampus dengan peluh yang memenuhi keringatnya karena ia datang hanya mengandalkan dua kakinya saja. Atau mungkin ia akan datang ke kampus dalam keadaan bau badan karena berangkat dengan cara berdesak-desakkan di dalam angkutan umum bersama banyak orang.
Namun, kini ia datang ke sekolah dengan menumpangi sebuah mobil mewah berwarna putih. Menurut James, mobil yang ditumpangi oleh Agatha adalah mobil dengan jenis yang sama yang dimiliki oleh seorang pengusaha paling kaya di Eropa. Patutlah Agatha berbangga hati untuk itu, seumur hidupnya baru kali ini ia dilimpahi kemewahan.
James tidak bermain-main dalam membalaskan rasa sakitnya atas kepergian Emily, pria sombong itu membelikan Agatha banyak pakaian, tas, sepatu, dan banyak hal lainnya yang mana Agatha tahu dari sebuah majalah jika harganya sangat mahal. Bahkan Agatha tidak pernah bermimpi untuk bisa mendapatkan barang-barang mahal seperti ini.
“Nyonya, apakah kau memerlukan sesuatu?” Ini adalah kalimat tanya yang ke sekian kalinya ditanyakan oleh pelayan pribadinya. James itu memang berlebihan, ia memaksa Agatha untuk mengajak ketiga pelayan pribadinya ke kampus.
Menurut James, hal tersebut dapat membuat Agatha tampil layaknya wanita berkelas dan penting hingga mendapatkan pelayanan yang sangat spesial. Dan menurut James, pelayan pribadi adalah hal yang selalu didambakan oleh sosok Emily. Karena itulah Agatha diberikan tiga pelayan sekaligus agar membuat Emily merasa iri dan menyesal karena telah meninggalkan James.
“Aku tidak membutuhkan apa pun.” Rasanya Agatha risi dengan tiga pelayannya yang terus saja menawarkan bantuan untuk segala hal. Mereka terlihat senang untuk melakukan tugas sekecil apa pun yang Agatha perintahkan. Padahal Agatha merasa tidak ada hal yang benar-benar mereka bantu. Bukan karena kinerja mereka yang buruk, melainkan karena Agatha merasa jika sekarang ia tidak memerlukan bantuan apa pun.
“Dan kalian jangan ikut masuk ke dalam kelas. Cukup tunggu aku di luar saja,” ujar Agatha seraya melihat tiga orang wanita berpakaian khas pelayan yang berjalan di belakangnya.
“Baik, Nyonya.”
Agatha menghela napasnya dengan kasar. Lalu kemudian kembali fokus pada langkah kakinya. Sebelum dibiarkan berangkat ke universitas, James sudah melatih gaya berjalan Agatha. Menurut pria itu, gaya Agatha berjalan harus diubah menjadi lebih bergaya dan berkelas. Dari yang suaminya itu ajarkan, kini Agatha mempraktikkannya dengan mata yang menatap lurus ke depan, dagu sedikit terangkat, dan kakinya yang bergerak teratur dengan ritme yang sama setiap langkahnya.
Sekarang Agatha merasa jika ia tengah berjalan di atas papan panjang yang mana menjadi tempat para perancang pakaian untuk memamerkan baju rancangan mereka. Singkatnya, Agatha merasa jika dirinya tak ubah layaknya seorang model profesional. Hal tersebut didukung dengan banyaknya pasang mata yang mengarah padanya.
Bahkan banyak dari mereka yang terlihat menahan diri agar tidak berlari ke arahnya. Ternyata menikah dengan pria sekelas James Hunt dapat menimbulkan efek yang sehebat ini. Agatha tidak tahu apakah ia harus senang atau justru sebaliknya. Bagaimanapun, pernikahannya dengan James sama sekali tidak diinginkan. Dan apa yang didapatnya kini pun hanya sebuah ajang balas dendam yang dilakukan James untuk membuat Emily iri dan akhirnya menyesal. Jika mengingat hal tersebut, rasanya tidak ada hal yang bisa Agatha syukuri.
“Nyonya, apa kau ingin aku membawakan tasmu? Sepertinya itu berat, jika kau ingin aku bisa—“
“Aku bisa membawanya sendiri, Adel,” sela Agatha sebelum pelayannya tersebut menyelesaikan kalimatnya. Padahal sudah dikatakan berulang kali bahwa saat ini ia sama sekali tidak membutuhkan bantuan.
Agatha mempercepat langkahnya, tak peduli jika tiga pelayannya akan kesulitan untuk menyeimbangi langkah kakinya.
Pelayannya ada tiga orang. Yang pertama bernama Adel, usianya paling tua di antara yang lain. Jika Agatha tidak salah mengingat, usia Adel menginjak akhir dua puluhan. Dua oragg lainnya bernama Peggy dan Katty, mereka kembar tapi tak identik. Usia keduanya hanya satu tahun di atas Agatha.
Dan mereka bertiga sangat menyebalkan di mata Agatha. Entahlah, Agatha merasa tidak suka setiap kali mereka menawarkan bantuan. Padahal maksud mereka baik. Hanya saja Agatha tetap tidak menyukainya. Ia merasa lebih baik melakukan segala sesuatunya sendiri. Itu lebih nyaman.
Mungkin karena Agatha terbiasa dengan hidupnya yang mana dilalui tanpa adanya pelayanan. Mana ada orang yang mau melayani orang miskin sepertinya? Agatha tersenyum miris memikirkan itu. Mungkin ada satu hal yang harus ia nikmati selama dirinya menjalankan peran istri, ia harus bisa menikmati limpahan kemewahan yang diberikan oleh James.
“Agatha, kaukah itu?”
Pemikiran Agatha buyar bersamaan dengan sebuah kalimat tanya yang diutarakan oleh seseorang. Mark Thompson, menatap Agatha dengan kening yang berkerut. Pria kaya raya yang menjadi kekasih Elvaretta itu berdiri mematung di tempatnya yang membuat Agatha ingin menyemburkan tawa.
“Kenapa kau bereaksi seolah-olah kau baru saja melihat hantu? Apa karena aku menikah dengan sahabatmu itu jadi kau berkesimpulan bahwa aku sudah mati?” ujar Agatha langsung. Dengan refleks ia menyerahkan tas yang semula dipegangnya kepada Peggy. Sedangkan tangannya yang terbebas dari beban apa pun ia gunakan untuk menampar pipi Mark pelan, menyadarkan pria itu dari kekagetan.
“Kau bisa berada di sini? Bagaimana bisa James membiarkanmu pergi? Dan apa kau baik-baik saja?” Mark memutar-mutar tubuh Agatha untuk mencari memar atau luka yang mungkin saja bisa ia temui. Mengingat jika Agatha baru saja memasuki kandang macan.
“Jadi kau berpikir jika James akan menyakitiku?”
Mark menganggukkan kepalanya cepat, memang itu yang ia pikirkan. Sebagai sahabat, Mark sangat tahu bagaimana sikap dan tabiat James yang sering kali bersikap kasar pada orang-orang yang ia kehendaki.
“Aku senang melihatmu baik-baik saja. Elva, Fahima, dan Callista sangat mengkhawatirkanmu. Mereka pasti akan merasa senang dan mendapat angin segar jika menemuimu sekarang. Sebaiknya kau segera temui mereka. Dan ada banyak hal yang perlu kau dengar dari mereka. Termasuk soal Jonathan.”
“Jonathan?” Agatha mengernyit heran. “Memangnya ada apa dengan Jonathan? Apa mereka menemui pria itu?”
“Sebaiknya kau temui mereka saja dulu dan dengarkan cerita dari mulut mereka. Khususnya Fahima dan Callista, ada sesuatu yang harus ketahui.”
Agatha jadi penasaran, dengan cepat ia mengangguk. “Kalau begitu aku akan menemui mereka dulu.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Agatha langsung berlari meninggalkan Mark yang mana hal tersebut diikuti oleh ketiga pelayannya.
***
“Jonathan memang pria yang sangat b******k!” gumam Fahima ketika Agatha menyelesaikan ceritanya mengenai awal mula kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidupnya. Setelah mendengar cerita tersebut Fahima jadi tidak merasa bersalah telah mempermalukan Jonathan di toko elektronik dan di restoran. Bahkan hingga pria itu kehilangan pekerjaannya di restoran.
Tak berada jauh darinya, Callista mengepalkan tangannya dengan mimik wajah yang tidak bersahabat. Jonathan benar-benar telah melukiskan luka di hatinya dan juga di hati dua sahabatnya yaitu Fahima dan Agatha. Sangat beruntung Elva tidak menjadi korban ke-empat. Atau jika itu terjadi maka mereka akan menjadi persatuan mantan Jonathan yang tersakiti.
“Sekarang aku menyesal kenapa tidak pernah mendengarkan kalian berdua. Ternyata kalian benar, John bukanlah pria yang baik untukku,” ujar Agatha dengan senyum yang mengembang tipis, diselimuti tatapan sendu yang sangat sulit untuk disembunyikannya.
Agatha menatap Fahima dan Callista seraya bergantian. “Jika boleh aku bertanya sekarang, apa yang membuat kalian tidak menyukai Jonathan?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Fahima dan Callista kompak saling pandang. Mungkin sekarang tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi mengenai hubungan mereka dulu dengan Jonathan. Karena kini Agatha sudah tidak menjalin hubungan apa pun dengan pria itu, bahkan Agatha pun sudah menerima sakit hati yang mendalam karena ulah pria b******k tersebut.
“Apa kau tahu penyebab aku dan Fahima selalu bertengkar seolah saling menyimpan dendam selama ini?” tanya Callista dengan alis terangkat. Tangannya menyimpan tas terkenal yang dibawanya ke pangkuan Elva. Biarlah sahabatnya itu keberatan, Callista merasa pegal karena sedari tadi terus memegangi tasnya.
Elva pun tampak tidak mempermasalahkan hal tersebut sama sekali. Ia justru meneliti tas yang ada di pangkuannya karena ia tahu jika benda tersebut bernilai cukup mahal. Sepertinya Elva harus meminta Mark untuk membelikannya nanti.
“Tasmu bagus sekali, Cally. Aku jadi ingin membelinya,” ujar Elva bersungguh-sungguh. Ia bukanlah wanita yang gemar belanja, namun melihat tas yang sangat bagus dengan model simpel membuatnya ingin memiliki benda yang sama juga.
“Tentu saja, aku membelinya di Kanada. Dan kau tahu? Hanya ada seratus buah saja. Kudengar masih ada tersisa sekitar tiga lagi, jika ia ingin membelinya maka segeralah atau kau tidak akan mendapatkannya sama sekali,” balas Callista dengan senyum bangga.
Jika dalam perihal pakaian, tas, sepatu, dan alat kecantikan maka Callista adalah orang yang paling cepat tanggap dan cepat punya. Dari yang paling murah hingga yang paling mahal, Callista tahu semuanya. Namun, tentu saja yang dibelinya adalah urutan barang-barang yang paling mahal.
Bukannya sombong atau bagaimana, hanya saja jika ia mempunyai uang yang cukup bahkan lebih untuk membeli sesuatu yang berkualitas dan bergengsi mengapa harus membeli yang murah? Begitulah sekiranya pemikiran Callista.
“Bisakah kalian membicarakan hal tersebut lain waktu?” desak Fahima yang merasa kesal. Padahal mereka sedang terlibat dalam pembicaraan yang serius. Bisa-bisanya kedua sahabatnya malah membicarakan sesuatu yang tidak penting.
Elva dan Callista kompak mengatupkan bibir mereka. Keduanya membuat gerakan seolah mereka tengah mengunci mulut mereka yang menandakan bahwa keduanya siap untuk tutup mulut dan tak akan bersuara lagi untuk beberapa waktu ke depan.
Fahima pun menghembuskan napas kasar dan kemudian melanjutkan cerita yang tertunda. “Jadi Agatha, apa kau tahu penyebab aku dan Callista sering terlibat dalam percekcokan seolah-olah kami memiliki dendam kesumat yang tak kunjung usai?”
Agatha mengangguk dengan pasti. Ia sudah puluhan kali mendengar cerita yang disampaikan oleh Callista maupun Fahima mengenai asal-usul permusuhan mereka yang tampaknya kini sudah berakhir. “Tentu saja aku tahu, kalian bermusuhan karena kalian dipacari oleh pria yang sama dalam waktu yang bersamaan. Benar begitu?”
Sedetik kemudian Agatha terdiam, ia mengambil kesimpulan dari apa yang telah ia ucapkan sendiri. “jangan katakan kalau pria yang kalian maksud adalah Jonathan?” tanya Agatha dengan hati-hati.
“Tepat sekali!” seru Callista dengan semangat. Seakan lupa jika ia telah mengunci mulutnya tadi. Kalimatnya membuat Agatha terdiam dalam sebuah kenyataan pahit tentang Jonathan. Mengapa secara perlahan ia mulai mengetahui itu semua? Ternyata ada banyak kisah mengenai pria yang dicintainya yang selama ini tidak ia ketahui.
Banyak rahasia yang tidak bisa Agatha ungkap selama ia menjalin hubungan dengan Jonathan. Dan bodohnya lagi, ia tidak pernah mencoba untuk mengungkap alasan kedua sahabatnya yang tidak menyukai Jonathan. Agatha pun tidak pernah paham akan kode-kode perselingkuhan yang selama ini sering Obie tunjukan.
Selama ini, Agatha telah dibutakan oleh cintanya yang sangat tulus terhadap Jonathan. Dan ketulusannya jugalah yang membuat Agatha dengan naif menilai Jonathan sebagai pria paling tulus di dunia karena mau menjalin kasih dengan wanita miskin sepertinya.
Bahkan kini Agatha tahu jika bantuan materi yang selama ini Jonathan berikan untuknya adalah agar pria itu mempunyai jasa dan Agatha mempunyai hutang untuk berbalas budi. Hingga pria itu tega meminta balas budi di saat yang tidak tepat dan tak sebanding dengan apa yang pria itu berikan pada Agatha.
Kini Agatha menatap Fahima dan Callista secara bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah mengetahui hal ini, ia sangat merasa bersalah. Jadi selama ini bagaimana perasaan Fahima dan Callista ketika melihat Agatha dan Jonathan bersama? Agatha yakin jika hal tersebut pasti menyakiti hati keduanya.
“Terima kasih telah berusaha untuk menyadarkanku jika John bukanlah pria yang baik selama ini Cally, Fahima. Dan maafkan aku tidak mempercayai kalian.” Agatha berujar dengan tulus seraya merentangkan kedua tangannya, memberi isyarat agar kedua sahabatnya bergerak mendekat untuk memeluknya.
“Kami melakukan itu semua karena kami menyayangimu, Agatha.” Callista dan Fahima memeluk Agatha secara bersamaan. Rasanya melegakan ketika mereka telah berbagi kisah dan berdamai dengan fakta yang telah terjadi. Sesak dan amarah yang bersarang di hati mereka memang ada, tetapi hal tersebut kini lebih melegakan setelah mereka berbagi fakta masing-masing.
“Apakah tidak ada yang ingin berpelukan denganku? Ah, tidak ada rupanya. Baiklah, aku akan memeluk tas saja,” decak Elva yang kemudian memeluk tas Callista yang ada di pangkuannya dengan sangat kuat. Ada maksud terselubung dalam hatinya, semoga saja tas yang dipeluknya akan rusak jadi Callista tidak akan memamerkannya lagi.
“Jangan memeluk tasku seperti itu! Kau tahu harganya lebih mahal daripada uang kuliahku!!” Rupanya niat jahat Elva diketahui oleh Callista. Wanita cantik dan fashionable itu langsung meloncat dan menarik tasnya dengan kasar. Sialnya, tindakannya tersebut yang justru membuat tas yang digadang-gadang mahal tersebut terlempar jauh hingga sampai di bagian kelas paling depan.
“Tas mahalku!! Ini semua gara-gara kau Elva! Aku akan menuntut ganti rugi pada Mark!”