“Sekarang ceritakan pada kami bagaimana hidupmu setelah menikah dengan pria bernama James Hunt?”
Suara Callista terdengar nyaring. Beruntung kantin universitas sedang ramai hingga Agatha tidak perlu takut jika obrolan yang mereka ciptakan akan menjadi konsumsi banyak telinga.
Saat ini jam mata kuliah sudah berakhir, tetapi Agatha dan ketiga sahabatnya memilih untuk ke kantin karena masih ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan. Mark juga ada bersama mereka. Bukan Elva yang meminta pria itu datang, melainkan Callista yang katanya akan meminta ganti rugi atas apa yang telah menimpa tas mahalnya yang teramat ia sanjung-sanjung keberadaannya.
Agatha menghabiskan tegukan terakhir dari gelas yang sebelumnya berisi jus mangga. Ia mengelap bibirnya terlebih dahulu kemudian menatap tiga pelayan pribadinya yang berada tak jauh dari tempatnya duduk.
Sepertinya tak nyaman jika harus menceritakan bagaimana kisah kehidupannya jika masih ada mereka di sini. Ia tak mau jika tiga pelayan tersebut mengetahui bagaimana kisah pribadinya dengan James yang sama sekali tidak mengandung unsur keindahan.
“Adel, Peggy, dan kau Katty. Bisakah kalian berdiri lebih jauh lagi? Aku akan membicarakan sesuatu yang sedikit privasi dan aku tidak mau kalian mendengarnya,” ujar Agatha tapa berbasa-basi atau pun mencoba untuk menutupi alasan sebenarnya.
Dua orang kakak beradik yang lahir di hari yang sama yakni Peggy dan Katty saling menatap satu sama lain sebelum kemudian mengangguk kompak. Sepertinya karena mereka kembar membuat mereka mempunyai ikatan batin dan kerja sama yang baik dalam pekerjaan. Namun demikian, kehadiran Adel pun tak mereka abaikan begitu saja.
“Baik, Nyonya!” ucap ketiganya sebelum kemudian membungkukkan tubuh mereka sejenak dan berjalan menjauh. Agatha memandangi ketiganya yang berhenti di sudut kantin, tempat yang sangat strategis untuk mereka mengawasinya.
Agatha kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada teman-temannya yang kini tengah ternganga tanpa alasan yang jelas. Kecuali Mark yang masih memamerkan mimik wajah yang normal dan tidak membuat mata Agatha terganggu.
“Kalian kenapa?”
Callista mengatupkan bibirnya setelah mendapatkan kesadarannya kembali berkat pertanyaan yang dilontarkan oleh Agatha. Ia mengedipkan matanya berkali-kali seraya memandang Agatha dengan penuh kekaguman.
“Tadi mereka memanggilmu Nyonya? Oh sungguh Agatha! Harus ada hal yang kau syukuri dari kejadian ini. Mungkin ini cara Tuhan memperbaiki taraf kehidupanmu, kau menikah dengan James Hunt yang artinya kau menjadi orang kaya di dunia. Bahkan lihat, kau yang seminggu lalu masih tinggal di dalam gubuk kini mempunyai tiga orang pelayan pribadi sekaligus!!” pekiknya tidak tertahan.
Fahima dan Elva pun kompak menganggukkan kepala mereka yang menandakan jika mereka setuju dengan apa yang disampaikan oleh Callista.
“Apa yang dikatakan oleh Cally benar, Agatha. Ada hikmah yang bisa kau petik dari apa yang terjadi. Dan setelah bertemu denganmu, sepertinya menikah dengan James Hunt bukan sesuatu yang buruk,” ujar Fahima dengan tatapan menilai.
Ia pikir setelah menikah dengan James, maka ia akan bertemu dengan Agatha dalam keadaan wanita itu yang menangis tersedu-sedu dan mengkhawatirkan. Namun, apa yang dilihatnya kini sama sekali tidak menunjukkan jika Agatha menderita karena pernikahan yang ia jalani dengan terpaksa.
Justru sebaliknya, Agatha datang ke universitas pagi ini dengan sebuah mobil mewah yang dikendarai oleh seorang sopir yang mempunyai sertifikat khusus degan pengawalan dua orang pria berpakaian hitam. Bahkan ke mana pun Agatha melangkah ada tiga orang pelayan pribadi yang setia mengikuti.
Dan yang juga tak kalah mencolok adalah, penampilan Agatha yang tampak berbeda dari biasanya. Tubuh Agatha kini dibalut oleh pakaian mahal yang Fahima taksir harganya lebih mahal dari pakaian yang dikenakan oleh Callista.
Tas yang dibawa oleh Agatha pun tak kalah saing dengan tas yang diagungkan oleh Callista. Hanya saja, tidak seperti Callista yang berlebihan dalam memperlakukan tasnya, Agatha justru tampak tidak begitu peduli dengan tasnya.
Fahima menaikkan tatapannya kembali pada sosok Agatha yang berulang kali menghembuskan napas kasar. Jelas ada beban yang dipikul di balik semua kemewahan yang kini menyelimutinya.
“Aku dan James membuat sebuah kesepakatan.” Agatha berujar seraya melihat ke arah tiga pelayannya, takut jika mereka mendekat dan menguping apa yang kini dibicarakan olehnya.
“Apa? Kesepakatan?”
“Kesepakatan yang seperti apa?”
Elva dan Mark kompak melemparkan pertanyaan dalam waktu yang bersamaan. Hal tersebut sukses membuat kedua pipi Elva merona. Namun, ia tidak ingin repot memikirkan keadaan pipinya sekarang. Karena yang lebih penting baginya sekarang adalah mendengarkan kelanjutan cerita mengenai Agatha.
Sebuah anggukan kepala Agatha berikan. “Benar, aku dan James membuat kesepakatan jika kami akan berperan sebagai suami istri seutuhnya untuk membuat Emily dan Jonathan menyesal. James akan memberikan kemewahan dan segala fasilitas yang selama ini diinginkan oleh Emily kepadaku, dan aku akan bertingkah layaknya istri yang sangat mencintai suaminya agar John sadar jika aku bisa hidup tanpanya.”
Semuanya membelalakkan mata mereka setelah mendengar penuturan Agatha. “Jadi apa yang kalian tampilkan itu hanya kepura-puraan untuk membuat manta kalian menyesal?’ tanya Calista yang ragu dengan pemahamannya.
“Ya, kau benar. Aku dan James hanya berpura-pura untuk menjadi suami istri yang ideal di hadapan publik.”
“Berapa lama kalian akan melakukan ini?” tanya Elva.
“Aku tidak tahu akan berapa lama kami melakukan ini, dan aku hanya akan menjalaninya. Seperti yang kalian katakan bahwa aku harus bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Setidaknya sekarang aku mempunyai tempat tinggal yang layak, makanan yang enak, dan juga baju yang banyak. Dan yang terpenting adalah James mau membayar biaya kuliahku.”
“Lalu apa yang akan kalian lakukan jika Emily dan Jonathan sudah menyesal?”
Agatha menggelengkan kepalanya pertanda tak tahu. Untuk saat ini ia dan James belum berpikir sampai sejauh itu. Karena yang menjadi fokus utama keduanya saat ini adalah membuat dua mantan mereka menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan.
Di saat yang lain fokus mencerna apa yang dikatakan oleh Agatha, Mark justru menatap lurus menembus leher Agatha yang membuatnya mengernyitkan kening. “Agatha, boleh aku bertanya?”
“Ya, Mark?”
“Bukankah kau bilang jika dirimu dan James hanya memainkan peran sebagai suami istri di hadapan publik?” tanya Mark dengan tatapan yang sama sekali tak beralih sedikit pun.
“Ya, memangnya kenapa?”
“Sepertinya kalian juga memerankan peran itu dengan bersungguh-sungguh hingga saling melaksanakan kewajiban sebagai suami istri?” Mark tersenyum menggelikan seraya mengerlingkan matanya dengan jahil ke arah Agatha.
Agatha langsung melotot sembari memegangi lehernya yang menjadi objek tatapan Mark. Rasanya Agatha kini sangat malu dan ingin menenggelamkan dirinya di laut paling dalam di dunia. Mengapa ia bisa ceroboh?!
***
Adel dengan perasaan yang sangat senang menenteng tas milik Agatha. Sedangkan Peggy dan Katty hanya mengekor di belakangnya. Jika begini adanya, ia terlihat seperti pelayan yang paling rajin jika dibandingkan dengan saudara kembar di belakangnya. Dengan riang ia bersenandung seraya mengikuti langkah kaki Agatha yang berjalan masuk ke dalam rumah milik James Hunt.
“Kemarikan tasku!” ujar Agatha dengan tangan yang coba menggapai tasnya yang ada dalam kuasa salah satu pelayan pribadinya.
Namun, niatnya tersebut tak terlaksana ketika Adel menjauhkan tas tersebut dari jangkauan tagan Agatha. “Nyonya, biarkan aku saja yang membawa tas ini hingga sampai di kamarmu dengan aman.”
“Tidak perlu, kalian pergi beristirahat saja karena aku pun ingin beristirahat sendirian,” ujar Agatha dengan malas. Sungguh rasanya ia ingin merebahkan tubuhnya sekarang juga di atas kasur yang ada di kamarnya. Maklum saja, baru kali ini Agatha bisa merasakan kasur seempuk dan senyaman itu karena biasanya ia hanya akan tidur beralaskan kasur lipat yang sudah menipis.
“Kalau begitu biarkan kami menemanimu di kamar, Nyonya. Kau bisa berbaring dan kami yang akan memijat kakimu, menyalakan televisi untukmu, juga mengantarkan makanan atau keperluan lainnya dan—“
Katty mengatupkan bibirnya ketika melihat Agatha yang melenggang pergi meninggalkannya. Lebih tepatnya meninggalkan mereka semua yang masih bersemangat untuk melayani sang majikan. Bukankah seharusnya Agatha merasa senang karena ia mendapatkan pelayanan yang sangat baik? Biasanya seorang nyonya akan bertindak demikian, tetapi Agatha berbeda.
“Sepertinya Nyonya Agatha tidak senang dengan kehadiran kita sebagai pelayannya. Apa menurut kalian kita bekerja dengan cara yang kurang profesional atau kurang maksimal?” lanjut Katty dengan wajah yang dibuat murung.
“Sepertinya Nyonya Agatha hanya tidak terbiasa. Apa kalian sudah menonton berita tentangnya di televisi? Banyak berita yang mengatakan jika sebelumnya Nyonya Agatha adalah wanita yang sangat miskin dan hidup sebatang kara di dalam sebuah gubuk yang ada di perbatasan hutan.”
Peggy membolakan matanya setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Adel yang menjadi rekan kerjanya. “Benarkah? Selama ini aku dan Katty jarang menonton televisi hingga tertinggal berita seperti ini. Jika benar demikian, bukankah Nyonya Agatha sangat beruntung? Dia bisa menikah dengan pria tampan dan kaya raya seperti Tuan James yang sudah tersohor akan kekayaannya.”
“Kau benar, Peggy. Nyonya Agatha sangat beruntung karena bisa menikah dengan pria sekaya Tuan James. Tuhan telah berbaik hati untuk memperbaiki kehidupannya dengan menjadikan Tuan James sebagai jodohnya.”
“Pantas saja ia tidak terlihat senang ketika kita menjadi pelayannya, ternyata Nyonya Agatha belum terbiasa dengan kehidupan barunya.”