Mengumpati Suami

1658 Kata
Aroma yang sangat menenangkan dari lilin terapi yang ada di dalam kamarnya membuat Agatha bisa memejamkan matanya dengan tenang walau ia tidak tertidur sama sekali. Entah siapa yang telah menyediakan lilin beraroma terapi tersebut di kamarnya, yang pasti Agatha perlu berterima kasih untuk itu. Ingatan Agatha kembali pada cerita yang disampaikan oleh ketiga temannya. “Kau tenang saja Agatha, kami sudah membuat perhitungan pada Jonathan. Aku yakin jika kini Jonathan sudah mulai mendapatkan ganjaran dari apa yang telah dia lakukan kepadamu.” “Aku dan Callista mempermalukannya di toko elektronik, kau tahu tidak? Dia tidak bisa mengelak dan hanya diam saja. Semua teman-temannya pun tidak ada yang mau membela pria b******k sepertinya. Bahkan wajahnya sampai lebam, juga ada luka cakaran yang ia dapatkan.” “Dia memang pantas mendapatkan itu semua!” “Terakhir yang kami lakukan adalah mendatangi restoran tempat Jonathan bekerja. Aku memainkan drama dengan baik. Aku berpura-pura menjatuhkan semua makanan yang dibawa Jonathan dan menyalahkan dirinya tas kejadian tersebut. Hampir saja semua orang mencurigaiku, tapi berkat bantuan Abdullah akhirnya manajer restoran tersebut membelaku dan memecat Jonathan.” “Ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal saat melihat wajahnya yang pucat pasi.” Agatha menutup wajahnya dengan bantal. Ingin menghentikan semua kalimat yang terngiang-ngiang di otaknya. Setelah apa yang terjadi, tidak seharusnya Agatha menaruh simpati atas apa yang telah dilakukan oleh teman-temannya pada Jonathan. Namun, tetap saja perasaan tidak bisa berbohong. Perasaan kasih dan cintanya untuk pria tersebut masih berakar membuatnya tidak bisa untuk senang setelah mendengar apa yang dilakukan oleh ketiga sahabatnya terhadap Jonathan. Apalagi mendengar jika Jonathan kehilangan pekerjaannya di restoran. Agatha tahu bagaimana giatnya pria itu dalam mencari uang, bagaimana semangatnya dalam bekerja, dan bagaimana Jonathan melakukan itu untuk menutupi kebutuhannya yang tidak bisa tercukupi hanya dengan bekerja di toko elektronik saja. Lantas bagaimana perasaan pria itu saat kehilangan pekerjaannya? Pasti Jonathan merasa sangat sedih. “Tidak-tidak! Walau aku adalah seorang wanita tapi aku tidak boleh memiliki perasaan yang melemahkan akal sehatku. Harusnya aku ikut senang jika Jonathan mendapatkan suatu kesulitan atau bahkan musibah sekali pun!” gumam Agatha seraya bangkit dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Entah ke mana perginya ketenangan yang tadi menyelimutinya. Sekarang suasana hatinya kacau seperti keadaan pikirannya dan juga rambutnya. Agatha meyakinkan dirinya agar ia tidak lagi menaruh secuil pun kebaikan untuk mantan kekasihnya tersebut. Yang sekarang perlu ia tekankan pada dirinya sendiri adalah, Jonathan merupakan pria jahat yang telah mengorbankan perasaan dan hidupnya hanya untuk kepentingan pria itu sendiri. “Kau harus mengingat itu Agatha!!” Tangannya bergerak untuk memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan. Agatha kembali merebahkan tubuhnya dengan cara yang kasar. Menghirup aroma yang ada di sekitarnya dengan dalam agar pikirannya kembali tenang. Bukannya tenang, Agatha justru malah mengingat pembicaraan terakhirnya ketika di kantin universitas. Tepatnya ketika Mark menyinggungnya tentang kewajiban suami istri setelah melihat ke arah lehernya. Pipi Agatha kembali bersemu merah dibuatnya. Bisa-bisanya ia bertindak ceroboh dengan tidak menutupi lehernya yang sialnya menunjukkan jika ia dan James telah melakukan sesuatu. “Sial! Sial! Sial! Kenapa aku bisa ceroboh seperti ini?” Agatha merutuki dirinya dengan cara memaksa agar tubuhnya duduk dan menampari kedua pipinya. Namun begitu, ia tak dapat menahan senyuman yang hadir begitu saja. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ada dalam pikirannya. Agatha kini berjalan menuju cermin yang ada di kamarnya. Menyingkap rambutnya agar ia bisa melihat dengan jelas bagaimana keadaan lehernya. Dan ternyata benar saja, bekas-bekas kemerahan sangat jelas di sana. Ingin rasanya Agatha mengutuk James sekarang juga yang telah membuatnya harus menahan malu di hadapan teman-temannya. “Aaaaa! Ini semua gara-gara pria sombong berhati iblis yang sialnya menjadi suamiku!!” teriak Agatha tanpa merasa takut jika suaranya terdengar ke luar. Bukankah kamarnya ini kedap suara? “Apa kau baru saja membicarakan sesuatu tentangku? Semacam pujian misalnya?” tanya seseorang di balik punggung Agatha. Agatha membalikkan tubuhnya dengan cepat, wajahnya terlihat pias dan jangan abaikan matanya yang melotot penuh rasa kaget seolah dirinya baru saja tertangkap basah melakukan sebuah kejahatan oleh seorang polisi. Agatha menelan ludahnya kasar ketika melihat James yang bersandar pada pintu yang sudah ditutupnya enggan tatapan yang menghunus tajam. Kapan pria itu masuk? Kenapa pula Agatha tidak mendengar suara pintu yang terbuka? Seakan orang yang linglung, Agatha berjalan maju dengan senyuman bodoh yang menghiasi bibirnya. Tampak semakin bodoh ketika tangannya menggaruk kepalanya dengan gerakan yang teramat pelan. “A—ku tidak sedang membicarakanmu, aku hanya—“ “Mengumpati diriku, benar begitu Nyonya Agatha Hunt?” sela James dengan cepat. Pria itu menipiskan bibirnya seraya melangkah dengan gaya paling angkuh menuju sofa. Kemudian mendudukkan dirinya di atas sofa dengan kaki yang terangkat satu ke pangkuannya sendiri. Mata dan alisnya yang menukik tajam membuat Agatha tak berkutik, sungguh Agatha sangat takut jika pria itu marah padanya. Bukan karena malas berdebat, hanya saja Agatha ingat jika James selalu membawa pistol yang tersampir di pinggangnya. Jika saja Agatha salah berkata, maka sudah dapat dipastikan satu peluru akan bersarang di kepalanya. Untuk sekarang, Agatha tidak sedang berada dalam fase ingin meninggal dunia. Rasanya sangat disayangkan bila ia hidup hanya untuk menderita dan mati sebelum bahagia. Lebih baik ia mencoba untuk berdamai dengan keadaan yang kini menimpanya. Karena Agatha yakin berdamai dengan keadaan dapat membuat hidupnya lebih baik untuk dijalani. Tanpa kata, Agatha berjalan menuju ranjang dan duduk di bibirnya. Matanya melirik ke arah sembarangan hanya karena ia tidak berani untuk menatap suaminya. Kedua tangannya saling bertautan dan saling meremas satu sama lain. “Jadi jelaskan siapa pria sombong berhati iblis yang kau akui sebagai suamimu tadi?” tanya James dengan alis terangkat. Yang sialnya, hal tersebut membuat Agatha berpikir keras untuk menjawabnya. James sendiri memerhatikan Agatha dengan intens dan dalam jangka waktu yang lama. “Aku hanya sedang mengingat dialog salah satu film yang pernah kutonton,” dusta Agatha dengan mimik wajah yang dibuat se-meyakinkan mungkin. Ia bahkan mengangkat wajah saat mengatakannya dan berharap jika aktingnya yang sangat abal-abal tidak akan dicurigai oleh James yang kini tengah mengangguk-anggukan kepalanya. Baguslah jika pria itu percaya pada kebohongannya. “Boleh aku tahu apa judul filmnya?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh James membuat Agatha kembali melotot kaget. Rupanya tidak mudah untuk membohongi James. Agatha lupa jika suaminya itu merupakan pria pintar yang pandai berbisnis. Pasti tidak mudah untuk membodohi atau membohonginya. Jika mudah dibodohi dan dibohongi, maka nama James Hunt pasti tidak akan termasuk ke dalam jajaran pria yang paling sukses di Amerika. Tapi, untuk mendukung kebohongan pertamanya maka Agatha akan tetap melanjutkan aktingnya dengan kebohongan ke-dua. Well, ternyata benar jika kebohongan itu sifatnya berantai yang artinya ketika seseorang sudah melakukan kebohongan satu kali, maka ia akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Seperti yang kini Agatha lakukan. “Aku lupa judulnya karena aku melihatnya sekitar tiga tahu yang lalu, jadi aku tidak begitu mengingatnya.” “Tapi kau pasti mengingat siapa pemainnya bukan?” Seakan tahu jika istrinya tengah berusaha membohonginya, James terus saja menghujani Agatha dengan pertanyaan yang ia yakini akan membuat Agatha kebingungan. Bibirnya sedikit tersenyum dengan arah yang miring, namun ada kilatan jahil di mata James yang tidak disadari oleh Agatha. “Yang memerankannya adalah Josephine Aubrey, kau tahu dia kan?” jawab Agatha dengan asal, hanya menyebutkan nama artis kenamaan yang ia tahu. Karena jujur saja Agatha tidak mengenal selebriti yang ada di negaranya sendiri mengingat jika sebelumnya ia tidak mempunyai televisi. Ponsel yang dimilikinya memang cukup canggih untuk mengunggah berita dunia maya, tetapi Agatha tidak mempunyai data yang cukup untuk itu. Mendengar jawaban Agatha, James mengangguk-anggukan kepalanya kembali. “Oh jadi yang berperan dalam film tersebut Josephine? Baiklah, tentu saja aku tahu. Dia sangat tersohor di negara ini.” Agatha tersenyum puas setelah mendengar jawaban James, akhirnya suaminya itu percaya yang artinya Agatha selamat kali ini. Ke depannya, Agatha harus lebih berhati-hati untuk mengumpati suaminya tersebut. Jangan sampai ia dipergoki lagi oleh objek umpatannya yang akan membuat Agatha bingung untuk menyusun kebohongan lagi. James kini memainkan ponselnya yang bergetar. Ada nama Hans tertera di layar dengan seuntai kalimat yang pria itu kirimkan. Hans mengabarkan jika pria itu telah menemukan di mana keberadaan Emily Rose dan selingkuhannya yang katanya sedang bersembunyi di sebuah rumah kontrakan murah di pinggir jalan. James tersenyum sinis melihatnya. Ia yakin jika lambat laun Emily tak akan kuat untuk hidup dalam keadaan kekurangan. Wanita yang menjadi mantan kekasihnya tersebut merupakan wanita penggila kekayaan dan kemewahan yang mana dua hal tersebut tidak akan didapatkannya dari selingkuhannya. Karena ke mana pun pria yang menjadi selingkuhannya mencari kerja, pria itu tak akan mendapatkannya. Hans telah melakukan sesuatu berdasarkan perintah James yang membuat Emily dan selingkuhannya tidak akan mendapatkan pekerjaan apa pun bahkan jika mereka memohon sekali pun. James hanya tinggal menunggu waktu Emily menyesali perbuatannya dan kemudian datang memohon maaf padanya dan meminta untuk kembali. Sungguh, James tak sabar untuk menanti hari itu tiba. Jika itu terjadi, James ingin tertawa dengan tawa yang paling keras di dunia. Tanpa membalas pesan yang dikirimkan oleh orang yang menjadi kepercayaannya, James menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Lantas ia kembali menaikkan tatapannya ke arah Agatha yang masih terdiam di bibir ranjang. “Agatha, kemarilah!” Bagaikan seekor kucing yang jinak dan tunduk pada tuannya, Agatha langsung melangkah mendekati suaminya hanya berselang beberapa detik setelah pria itu menyelesaikan kalimatnya. Memosisikan dirinya untuk duduk di samping James dengan wajah yang menyiratkan tanda tanya. James menggunakan tangannya untuk menyampirkan rambut Agatha ke samping. Lalu ia menelusuri leher Agatha menggunakan jari telunjuknya, hal tersebut membuat Agatha dengan refleks menjauhkan tangan James dari sana. “Apa yang kau lakukan, James?” James tersenyum tipis seraya kembali melarikan tangannya ke leher Agatha. “Jadi ini yang membuatmu mengumpatiku sebagai pria sombong berhati iblis yang sialnya menjadi suamimu?” Jadi ternyata James tidak mempercayai kebohongan yang Agatha ciptakan? Agatha dibuat menganga karenanya dengan sorot mata yang menegang. Rasanya sekarang Agatha mati kutu karena telah berbohong pada suaminya yang terlampau pintar. “James kau—“ “Oh ya, Agatha. Aku ingin memberi tahu jika Josephine Aubrey adalah seorang vokalis band, dan dia tidak pernah bermain film sebelumnya hingga saat ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN