“APA?!”
Callista dan Fahima berteriak setelah Elva menyampaikan berita yang sangat tidak ingin mereka dengar. Apa yang selama ini mereka takutkan terjadi, Jonathan mengkhianati Agatha seperti dulu pria itu mengkhianati mereka. Bahkan kali ini lebih parah!
Callista langsung terduduk di atas lantai dengan mata yang tidak mampu berkedip, ia menatap lantai putih ynag yang terpasang di gedung Sun University dengan tatapan yang sangat nanar.
Dan Fahima, tidak lebih baik dari keadaan Callista, wanita itu hampir saja kehilangan keseimbangan tubuhnya jika saja ia tidak bersandar pada dinding pembatas.
Mereka bertiga sedang berada di koridor kampus yang berada di lantai dua, karena merasa jika tempat tersebut aman untuk berbicara. Di sana, Elva menyampaikan semuanya. Dimulai dari Mark yang mengajaknya ke pernikahan James, hingga bagaimana bisa mereka datang terlalu larut malam, dam berakhir dengan menemui Agatha yang berperan sebagai pengantin.
Elva juga menyampaikan bagaimana bisikan Agatha yang menginformasikan bahwa dirinya bisa menikah dengan James karena permintaan Jonathan agar Agatha menggantikan posisi seseorang. Semua itu Elva sampaikan dengan runtut tanpa terkecuali.
“Aku pun sangat merasa kaget saat melihat Agatha berdiri di samping James, dan kalian tahu fakta yang paling menyedihkan dari apa yang terjadi pada Agatha itu apa?” Elva berhenti berbicara dan menatap dua sahabatnya secara bergantian sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Yaitu Agatha menikah dengan pria yang sudah membunuh orang tuanya. Bisakah kalian membayangkan bagaimana perasaan Agatha saat ini? Dia pasti sangat hancur. Sudah dikhianati, dipaksa menikah, dan berakhir harus menjadi istri dari seseorang yang membunuh orang tuanya!” pungkas Elva. Ia tidak kuasa untuk menahan air matanya
Rasanya sangat menyedihkan ketika memikirkan nasib Agatha yang malang kini semakin malang. Kenapa takdir gemar sekali mempermainkan kehidupannya Agatha? Tidakkah kemiskinan sudah cukup membelenggu hidup Agatha selama ini?
“Sudah kuduga, Jonathan ternyata belum berubah sama sekali,” desis Fahima. Ia sangat marah, sangat marah. Dendam akan perlakuan Jonathan dulu padanya masih terus berkobar dan beranak pinak hingga saat ini. Dan sekarang kobaran api kemarahan yang ada padanya untuk Jonathan semakin bertambah.
Jonathan telah merusak hidup Agatha, Fahima harus memberikan suatu pelajaran yang tidak akan pernah bisa untuk pria itu lupakan. “Aku akan memberi pelajaran pada Jonathan! Bisa-bisanya ia memperlakukan Agatha dengan seburuk itu! Jonathan harus tahu bahwa selalu ada akibat yang menyertai setiap perbuatan!”
Callista mengangkat wajah, wajahnya sangat sendu dan juga penuh amarah dalam waktu yang bersamaan. “Kau benar, dia sudah sangat keterlaluan! Kita harus memberikan pelajaran padanya!”
“Lalu di mana Agatha sekarang?” tanya Fahima kembali menatap Elva yang sudah menangis, sahabatnya itu memang mudah menangis jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Aku tidak tahu pasti, tapi menurut Mark mereka sepertinya akan menginap di hotel tempat resepsi mereka semalaman. Tapi sepertinya tidak akan mudah jika kita menemui Agatha ke sana sekarang, kalian tahu bukan jika James bukanlah seseorang yang bisa mudah ditangani? Yang ada kita bertiga yang ada di tangannya.”
Elva memberikan tanggapan terbaiknya, ia mengusap air matanya dengan kasar. Lalu tangannya terulur untuk membantu Callista berdiri. “Bagaimana kalau kita menemui Mark? Dia berteman baik dengan James.”
Callista dan Fahima kompak mengangguk, mereka lantas bergegas menuju ke tempat di mana Mark diduga berada, yaitu gedung fakultas yang berada di gedung yang sama dengan mereka. Hanya saja mereka harus turun ke lantai dasar.
Namun, pucuk dicinta bulan pun tiba. Tepat ketika mereka hendak menuruni tangga, sosok yang akan mereka datangi justru sudah lebih dulu mendatangi mereka. Sepertinya Mark berniat akan menemui Elva.
“Honey, kau terlihat seperti sudah menangis? Siapa yang membuatmu menangis?” Mark langsung saja mengajukan pertanyaan ketika ia sudah berada di hadapan Elva, tepat di puncak tangga.
“Elva menangis karena memikirkan Agatha, bisakah kita mengobrol Mark? Tetapi tentu saja tidak di sini,” ujar Fahima langsung, dia ingin bertanya banyak hal pada kekasih salah satu sahabatnya tersebut.
Mark langsung menghela napas, sudah ia duga apa yang terjadi pada Agatha akan mempengaruhi Elva. Kekasihnya tersebut sangat dekat dan sangat menyayangi Agatha. Tidak heran jika apa yang Agatha alami sekarang membuat wanita itu bersedih. Mark sendiri masih bingung mengapa Agatha bisa menjadi mempelai dari James, seingatnya mereka tidak mempunyai hubungan, bahkan tidak saling mengenal.
“Baiklah, ayo kita pergi ke taman universitas. Sepertinya di sana sepi. Kita bisa berbicara banyak hal dengan leluasa di sana.” Mark langsung menarik tangan Elva dengan lembut, lalu mereka semua menuruni tangga dengan perasaan yang sama, gundah gulana.
Tidak banyak yang mereka lakukan selama perjalanan menuju taman, hanya sesekali tersenyum dan menjawab sapaan yang dilontarkan pada mereka mengingat jika Elva dan Mark adalah pasangan idaman kampus, serta Callista yang merupakan salah satu mahasiswa paling populer karena kecantikannya. Sedangkan Fahima, ia cukup puas hanya dikenal oleh teman-temannya saja.
Hingga sampailah mereka di taman universitas. Dugaan Mark tidak salah, tempat yang indah ini sedang sepi. Atau memang lebih sering sepi, seperti biasanya. Mereka memutuskan untuk duduk melingkar di atas rumput hijau yang beberapa hari lalu baru saja dipangkas pendek.
Mark sudah tahu apa yang ingin dibahas oleh ketiga wanita yang kini ada bersamanya. “Katakanlah apa yang kalian ingin katakan.”
Elva langsung berseru, “Siapa wanita yang seharusnya menikah dengan James Hunt?”
“Emily Rose.”
“Jadi nama wanita yang pergi bersama Jonathan adalah Emily Rose?” tanya Callista.
Mark mengernyitkan keningnya, tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh Fahima. “Maksudmu Jonathan yang menjadi kekasih Agatha?” Mark mencoba mengingat seseorang yang datang bersama Agatha ketika ia mengadakan pesta kejutan ulang tahun untuk Elva, tetapi ia samar mengingatnya.
“Iya, Mark. Semalam Agatha berbisik padaku sembari menangis bahwa ia bisa menikah dengan James karena Jonathan memintanya untuk menggantikan posisi pengantin wanita.”
Mark tercengang dengan penuturan kekasihnya. Kasihan Agatha, dia benar-benar gadis yang malang. “Aku tidak tahu soal itu. Tapi aku akan segera meminta penjelasan pada James. Sama seperti kalian, aku pun peduli padanya.”
“Kalau begitu cepat hubungi dia, Mark!” pinta Callista dengan tak sabar. Ia ingin segera mengetahui bagaimana keadaan Agatha. Juga ingin segera mengetahui bagaimana rentetan kejadian yang sahabatnya tersebut alami secara rinci. Setelah mendengarnya nanti, maka Callista berjanji bahwa ia akan membuat perhitungan pada Jonathan.
Pria b******k seperti itu tidak boleh hidup tenang!
“Baiklah, aku akan mencoba untuk menghubunginya sekarang.”
***
Panas matahari terasa lebih menyengat dari biasanya. Banyak orang berlalu lalang dengan tempo yang cepat demi untuk membuat kulitnya tidak terlalu lama berada di bawah paparan sinar matahari.
Namun, sebuah keberuntungan bagi orang-orang yang bekerja di dalam ruangan. Seperti Jonathan dan Bobby misalnya, mereka dapat bernapas lega duduk di sebuah kursi menunggu seorang pengunjung datang. Sejak pagi toko elektronik yang menjadi tempat mereka bekerja memang sepi. Tidak satu pun ada pengunjung yang datang walau hanya untuk menyapa.
Terkadang, Jonathan merasa jika ia memakan gaji buta. Asal dirinya hadir dan tampak di kamera pengawas yang biasanya diawasi langsung oleh pemilik toko, maka Jonathan akan menerima bayaran. Tidak ada bedanya apakah toko elektronik tempatnya bekerja ramai oleh pengunjung atau tidak ada yang mendatangi sama sekali. Karena gajinya akan tetap sama saja.
“Rasanya menyenangkan bekerja seperti ini. Kita hanya perlu duduk menanti pembeli. Tidak perlu melakukan hal berat yang menguras tenaga,” ujar Bobby. Pria dengan tubuh berisi itu kini memakai kemeja dengan motif kotak-kotak yang memadukan warna merah dan hitam.
Bobby tidak mengatakan kalimatnya dengan raut wajah yang senang, karena nyatanya ia merasa bosan hanya berdiam diri sejak pagi. Lebih baik baginya melayani banyak pengunjung yang ingin membeli barang atau mungkin melayani pembeli yang ingin memperbaiki barang elektronik mereka yang rusak.
Jonathan yang berada di sampingnya pun mengangguk lesu. Tidak seperti Bobby yang merasa tidak bersemangat karena bosan, Jonathan memiliki beban pikir lain yang jelas lebih berat dari apa yang sedang dipikirkan oleh Bobby.
Sejak hari di mana ia meminta Agatha untuk menggantikan posisi Jessica dalam sebuah pernikahan, maka sejak saat itu pula ia tidak bisa berhenti untuk memikirkan kekasihnya tersebut.
Kekasih?
Masih layakkah ia mengakui Agatha sebagai kekasihnya? Sekarang Jonathan tidak tahu apakah Agatha masih sudi untuk mengingat namanya atau tidak. Pasti wanita itu sekarang membencinya, bahkan lebih benci dari kata benci itu sendiri. Jujur saja Jonathan merasa sedih memikirkannya. Ia tak pernah berbohong soal kalimatnya yang selalu menyatakan bahwa dirinya menyayangi Agatha.
Walau rasa cintanya pada Agatha telah memudar, tapi rasa sayangnya masih ada dan bahkan sangat besar. Namun, semua itu tentu tidak sebanding dengan rasa cintanya pada sosok Jessica Rose. Dalam hatinya, Jonathan merasa sangat bersalah, ia merasa telah menjadikan Agatha sebagai tumbal dari perasaan cintanya pada Jessica.
Jika saja Fred dan Elena masih hidup maka kedua lansia tersebut pasti merutuki dan meneriakinya dengan kalimat makian paling buruk di dunia. Dan jika hal tersebut terjadi, maka Jonathan tidak akan melawan. Ia tahu bahwa dirinya sangat bersalah, dan kesalahannya sangat fatal. Bahkan seluruh manusia di muka bumi berhak untuk memakinya. Ia merasa menjadi manusia yang paling buruk di dunia, mengorbankan seorang wanita hanya demi kebahagiaannya semata.
Apakah bahagia di atas penderitaan orang lain layak untuk dinikmati?
Tentu saja jawabannya adalah tidak.
Kini Jonathan mulai memikirkan kembali apa yang telah ia katakan pada Agatha sebelum meninggalkan wanita itu di rumah putih yang berada di samping gedung pernikahan. Ia mengatakan agar Agatha mau membalas budi atas apa yang selama ini Jonathan berikan, padahal jelas sekali hal tersebut Jonathan katakan hanya agar Agatha mau mengiyakan permintaannya. Pemikiran Jonathan benar-benar buntu pada saat itu hingga ia bisa mengatakan itu semua.
Padahal, apa yang selama ini Jonathan berikan kepada Agatha, semuanya ia berikan dengan keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Satu yang Jonathan harapkan, setelah apa yang terjadi semoga saja Agatha tidak meragukan rasa sayangnya untuk wanita tersebut.
“John?” seru Bobby ketika melihat teman kerjanya tersebut jatuh ke dalam lautan lamunan yang ia ciptakan sendiri. Apa Jonathan sedang menciptakan semacam halusinasi yang menyakitkan? Kesimpulan tersebut tidak sembarang Bobby simpulkan. Pasalnya ia melihat dengan jelas gurat-gurat kesedihan yang terpancar di wajah Jonathan. Sepertinya otaknya sedang dilanda badai yang sangat besar.
“Ah, ya? Apa yang sedang kau katakan tadi?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Jonathan membuat Bobby benar-benar yakin jika tengah terjadi sesuatu pada sahabatnya tersebut. Tidak biasanya Jonathan memikirkan sesuatu hingga dirinya terjatuh dalam jurang lamunan yang terlalu dalam.
“Ada apa denganmu? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu? Coba katakan padaku, apa kau sedang memiliki sebuah masalah yang mengganggu hubunganmu dengan Agatha?” tanya Bobby, tanpa tahu menahu perihal masalah yang tengah terjadi. Soal urusan pribadi, Jonathan memang tidak banyak menceritakan kisahnya.
Apalagi masalah yang baru saja ia ciptakan dan masih membelenggunya hingga saat ini. Jonathan tidak mungkin membeberkan kesalahannya pada orang lain, walau itu sahabatnya sendiri. Jika bukan Jessica yang mengatakan, maka mungkin sampai detik ini juga Obie tidak akan tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat. Dan temannya yang berasal dari jalanan tersebut masih akan tetap berada di rumahnya.
Jonathan mengangkat tatapannya pada Bobby, ia menyunggingkan senyum tipis yang terlampau tipis. Hingga orang yang melihatnya tidak menyadari jika dirinya tersenyum. “Tidak sama sekali, aku hanya sedang merasa lelah,” alibinya.
“Lelah? Apa yang kau maksud dengan kata lelah ketika sejak pagi kita hanya duduk diam saja?” tanya Bobby merasa heran. Ia semakin merasa yakin ada sesuatu yang sedang melanda diri rekan kerjanya, tetapi Jonathan coba untuk tutupi.
Jonathan tersenyum tipis seraya merebahkan kepalanya pada sandaran kursi. “Kau lupa kalau aku juga bekerja di malam hari untuk sebuah restoran?”
Bobby akhirnya mengangguk mengerti, ia baru ingat jika sahabatnya tersebut juga bekerja pada malam hari. Jonathan memang pekerja keras, hingga ia mengambil kerja paruh waktu di malam hari. Padahal bekerja di toko elektronik ini saja sudah cukup melelahkan bila sedang banyak pelanggan.
“Kau memang sangat rajin bekerja John—“ Bobby mengatupkan bibirnya sebelum kalimatnya selesai. Hal tersebut dikarenakan ada teriakan yang menggebu di luar toko. Sepertinya teriakan tersebut diluapkan dalam balutan amarah yang sangat kentara.
“JONATHAN!!”
“KELUAR KAU b******k!!!”
Bobby dan Jonathan saling melempar pandangan setelah mendengar dua teriakan dari dua orang yang berbeda tersebut. Secepat kilat keduanya bangkit dan melihat siapa gerangan yang telah mengeluarkan suara yang tidak terdengar manusiawi. Ketika sampai di depan toko, Jonathan menegang mengetahui kedatangan dua orang yang sangat dikenalnya di masa lalu.
Jonathan menelan ludahnya dengan cara yang kasar. Otaknya mulai menduga-duga alasan yang membuat dua orang itu mendatanginya dalam keadaan marah.
“Callista ... Fahima?”