Sebuah lirik lagu pernah menyatakan bahwa sakitnya rasa disengat lebah itu lebih sakit daripada sakit hati. Tetapi bagi Agatha, sakit hati tiada duanya. Memikirkan bagaimana teganya Jonathan mengkhianatinya selama ini yang mana dengan bodohnya Agatha tidak pernah menaruh kecurigaan sedikit pun untuk hal tersebut.
Agatha terlalu mencintai dan menyayangi Jonathan hingga ia membutakan dirinya sendiri pada perubahan yang ada dalam diri mantan kekasihnya tersebut. Setelah apa yang terjadi padanya, barulah Agatha menyadari bahwa tidak pernah ada lagi tatapan penuh cinta yang dilayangkan oleh pria itu untuknya. Tidak ada lagi ucapan-ucapan manis yang disampaikan oleh mulutnya.
Dan itu semua jelas karena Jonathan yang tidak lagi mencintainya. Dan baru sekarang pula Agatha menyadari bila Obbie sering memberikan kode padanya akan perselingkuhan yang dilakukan oleh pria tersebut. Dan dengan bodohnya Agatha menutup mata untuk semua itu.
Agatha jadi teringat pada Fahima dan Callista yang selalu saja tidak menyukai Jonathan. Agatha tidak tahu alasan keduanya tidak menyukai Jonathan karena apa, mungkin Fahima dan Callista sudah mempunyai firasat tersendiri akan bagaimana tabiat Jonathan yang sesungguhnya.
Helaan napas kasar terdengar beberapa kali yang mana itu dikeluarkan oleh Agatha. Berulang kali ia memijat keningnya sendiri yang terasa berdenyut sejak pagi. Bagaimana tidak sakit kepala, semalaman Agatha tidak dapat tidur dan hanya menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib yang sekarang dijalaninya.
Sudah terhitung dua hari lamanya Agatha tinggal di sebuah rumah yang sangat mewah dan megah. Yang mana tentu saja rumah yang ditempatinya kini adalah milik James Hunt—suaminya.
Agatha belum bisa mendeskripsikan bagaimana kondisi rumah ini secara keseluruhan karena belum banyak ruangan yang ia pijak. Sejak kedatangannya, James tidak mengizinkan Agatha untuk keluar dari kamar yang sekarang menjadi tempatnya duduk. Pria sombong itu mengunci pintu kamar dan meminta salah seorang pengawalnya untuk berjaga di depan pintu.
James sendiri pergi entah ke mana, dan Agatha tidak mau pusing memikirkan itu semua karena pada dasarnya ia bersyukur jika James tidak ada di sekitarnya.
Kamar yang kini ditempatinya didominasi oleh warna putih. Harus Agatha akui James memberikan kamar yang sangat indah untuknya. Dekorasinya sangat indah dan menawan bagi siapa saja yang mendatanginya. Andai kata kamar ini tidak berada di dalam rumah milik James, mungkin Agatha akan sangat betah untuk berada di dalamnya.
Sebuah suara ketukan pintu mengalihkan Agatha dari pemikirannya. Tak lama pintu itu terbuka padahal ia sama sekali belum menjawab. Tampaklah seorang pengawal yang sejak kemarin menjaga pintu kamarnya masuk dengan nampan yang berisi makanan.
Awalnya Agatha berpikir jika James akan menyiksanya dengan tidak memberikan makan sama sekali, tetapi ternyata pria sombong itu tidak sejahat yang selama ini Agatha pikirkan. Setiap jam makan, maka akan ada makanan yang diantarkan ke kamarnya. Dan setiap makanan yang Agatha terima pasti sangat lezat dan beraneka ragam.
“Terima kasih,” ungkap Agatha ketika Vin—si pengawal meletakan makanan di meja yang terdapat di dalam kamar.
Vin menatap Agatha lebih lama dari biasanya, hal tersebut membuat Agatha tidak nyaman. Ia tahu jika Vin menatapnya bukan karena ia terlihat memesona. Justru sebaliknya, Agatha terlihat sangat mengerikan bagaikan tarzan yang hidup di dalam hutan. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan mungkin masih banyak hal buruk lainnya yang sangat pas untuk mendeskripsikan bagaimana keadaan Agatha sekarang.
“Apa kau baik-baik saja, Nyonya?”
Pertanyaan tersebut membuat Agatha terkesiap, bukan karena hal yang ditanyakannya melainkan karena kata ganti yang ditujukan untuknya. Nyonya? Sungguh Agatha tidak mengharapkan panggilan seperti itu. Tidak jika suaminya adalah James Hunt.
“Sebaiknya kau memanggil namaku saja. Itu akan terdengar lebih baik bagiku,” ujar Agatha seraya berjalan menuju sofa, ia ingin memakan makanannya dengan segera karena ternyata menangis semalaman sangat menguras emosi dan tenaga yang membuatnya sangat kelaparan. “Apa kau mau?” tanya Agatha sebelum memulai kegiatan makannya.
Kepala Vin kontan menggeleng, bukan tindakan sopan baginya untuk makan bersama dengan seorang majikan. Untuk memberikan ketenangan pada Agatha, Vin pamit undur dari dan ke luar dari kamar. Tepat beberapa detik setelah pintu kamar ditutup, Agatha mendengar suara kunci yang diputar, ternyata ia masih harus terkurung di dalam sangkar emas ini.
***
Agatha baru selesai berpakaian ketika seseorang menerobos masuk ke dalam kamarnya. Jelas itu bukanlah Vin yang melakukan karena pria itu masih mempunyai tata krama yang cukup untuk tidak melakukan hal yang demikian. Itu adalah James, pria sombong yang telah menikahinya dan sudah dua hari tak menampakkan batang hidungnya.
Pria itu tampak gusar dan emosi, kedua hal tersebut yang dapat Agatha tangkap dari matanya. Hal tersebut membuat Agatha harus memundurkan langkahnya ketika James mendekatinya dengan tatapan yang tajam, tak ubah layaknya singa yang siap menerkam rusa dalam keheningan yang alam ciptakan.
Agatha benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain mundur, bahkan kini tubuhnya sudah bertubrukan dengan kamar mandi. Merasa tidak ada ide, Agatha akan memilih untuk masuk ke dalamnya dan mengurung diri di sana.
“Aku akan ke kamar mandi dulu. Kau sebaiknya—“
Agatha tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat James yang menatapnya kian tajam. Ingatan akan apa yang telah dilakukan oleh James padanya ketika malam pertama mereka sebagai sepasang suami istri terngiang begitu saja. Dan hal tersebut sukses membuat Agatha merasa ketakutan. Setiap tindakan kasar yang James lakukan pada saat itu masih meninggalkan rasa sakit. Dan Agatha tidak mau mendapatkannya lagi. James benar-benar telah memberikan trauma tersendiri baginya.
“Apa begitu sambutanmu padaku?” desis James dengan nada yang rendah, seperti seekor harimau yang sedang mengintimidasi mangsanya.
Sebisa mungkin Agatha menghindari tatapan yang diberikan oleh suaminya dengan melarikan matanya ke sembarang arah.
“Apa kau tidak tahu bagaimana caranya untuk memperlakukan suamimu degan baik?”
Masih saja diam, Agatha enggan untuk mengeluarkan suara atau pun pergerakan lain untuk merespons suaminya.
“Apa aku harus mengajarimu bagaimana caranya memperlakukan suami?” desis James semakin tajam. Tangan besarnya tanpa sulit meraih pinggang Agatha dan membuat tubuh mereka rapat.
Setelah diperlakukan demikian pun Agatha masih saja tidak menunjukkan respons. James tersenyum miring melihatnya. Dengan kasar James menarik tubuh Agatha bersamanya dan mendaratkan tubuh mereka di tempat yang sama. “Baiklah, sepertinya kau benar-benar ingin kuajari bagaimana caranya menjadi istriku.”
***
Suasana panas di luar nyatanya tidak bisa masuk ke dalam. Rumah seorang pengusaha sukses seperti James Hunt itu dilengkapi dengan teknologi yang membuat suhu ruangan akan selalu normal tak peduli cuaca apa yang sedang berlangsung. Namun, meski suhu ruangan normal sebagaimana seharusnya, James tetap mengeluarkan beberapa tetes keringat di dahinya.
Bukan karena betapa panasnya udara yang ia rasa, tetapi karna sekarang dirinya tengah berada di ruangan olahraga yang ada di rumahnya. Sudah berbagai alat ia gunakan untuk menunjang aktivitasnya, sudah banyak peluh ia keluarkan, tetapi ia masih belum puas untuk menyalurkan hasrat berolahraganya.
Namun, kini ia terdiam sembari berselonjor kaki dan membiarkan tetesan keringat yang jatuh dari pelipisnya langsung membasahi lantai karena posisinya yang menunduk. James mencoba untuk mengatur napasnya dengan saksama dan perlahan. Hal tersebut ia lakukan untuk membuat paru-parunya bekerja dengan cara yang normal.
Alasan lainnya adalah agar ia dapat berpikir dengan normal. Tadi menjelang siang ketika ia mendatangi kamar yang ditempati oleh Agatha, awalnya James hanya berniat untuk berkunjung dan melihat keadaan istri yang tak diharapkannya tersebut. Namun, entah bagaimana niatnya bisa goyah dan berakhir dengan aksinya yang menggagahi Agatha.
James mengusap rambutnya kasar untuk menghentikan laju keringat yang berniat jatuh ke bawah. Jika dikatakan bahwa dirinya baik-baik saja, maka jawabannya adalah iya. Dia baik-baik saja. Hanya saja, sebagai seorang manusia ia tetap bisa untuk merasa tidak menerima apa yang telah terjadi padanya. Banyak hal runtut yang harus ia terima belakangan ini. Ingatannya berpulang ke kejadian dua minggu yang lalu ketika Emily Rose, wanita yang ia cintai mengungkapkan sebuah fakta yang mana membuat James sangat bahagia. Emily mengatakan bahwa dirinya tengah mengandung.
Pada saat itu, James sama sekali tidak berpikir untuk menanyakan siapa ayah dari janin tersebut karena ia merasa yakin jika janin yang dikandung oleh Emily adalah buah cinta mereka. James sama sekali tidak menaruh kecurigaan ataupun yang lain semacamnya kepada Emily.
Dengan teganya, Emily tidak menerangkan lebih lanjut mengenai kehamilannya. Bahkan ketika James berulang kali membicarakan perihal pernikahan pun Emily selalu menanggapinya dengan antusias. Hari-hari James terasa menyenangkan karena ia berpikir jika dirinya tengah menyongsong hari bahagia bersama kekasihnya.
Hingga pada suatu malam, tepatnya pada malam menjelang pernikahan James menerima kabar bahwa kekasihnya tersebut melarikan diri setelah meninggalkan sebuah surat yang berisikan informasi bahwa janin yang berada di dalam kandungannya bukanlah berasal dari benih yang James tanam.
Marah, James sangat marah hingga rasanya ia ingin berlari mengejar wanita yang teramat dicintainya dan mencekiknya dengan kuat hingga wanita itu meregang nyawa bersama bayi yang dibawanya. James bisa saja untuk melakukan hal tersebut, tetapi hatinya akan memberontak ketika melakukannya karena tidak bisa dipungkiri jika hatinya tak bisa melepaskan tautan begitu saja.
Akhirnya, James membiarkan Emily lari bersama selingkuhannya padahal ia bisa mencegahnya. Dan untuk menutupi rasa malu yang akan ditanggungnya bila ia membatalkan pernikahan, James memaksa Jessica Rose yang merupakan adik dari Emily untuk menjadi pengantin dan menggantikan kakaknya.
Namun, James pun kembali mendapatkan kejutan ketika ia menangkap sosok lain yang menjadi pengantinnya di atas altar. Sesuatu yang tidak disangkanya adalah: wanita yang bersedia untuk dinikahinya adalah Agatha Claire yang merupakan anak dari sepasang lansia yang telah James bunuh. Ternyata, wanita tersebut memiliki nasib yang malang.
“Sial! Mengapa aku merasa bersalah?” tanya James pada dirinya sendiri. Ia merasa telah melakukan dosa besar karena sudah dua kali mengambil haknya sebagai suami dengan cara yang kasar. Permainan yang dilakukan olehnya pasti sangat menyakiti Agatha.
James mengusap wajahnya gusar, apa yang telah dilakukan oleh Emily padanya adalah sebuah kejahatan. Tapi mengapa sampai sekarang ia masih merasa jika dirinya sangat mencintai Emily? Ini adalah sebuah kebodohan yang tidak boleh dilanjutkan.
Setelah membiarkan tetesan keringatnya jatuh dengan gratis ke lantai, James bangkit seraya mengusap rambutnya dan membuat telapak tangannya menjadi basah. Langkah kakinya membawa raganya ke luar ruangan luas yang amat disukainya ini.
Seperti biasanya, Hans menunggunya di luar ruangan. Pria yang berasal dari negara India itu berdiri dengan tegak. James sama sekali tidak meliriknya, ia melewati Hans begitu saja tanpa bercakap-cakap atau sebagainya. “Apa yang sedang dilakukan Agatha?” tanya James.
Setelah menggagahinya, James memang memberikan izin kepada istrinya tersebut untuk keluar dari kamar. Bukan untuk berbaik hati, sebuah pertanyaan tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Kenapa ia harus mengurung Agatha dan membuat wanita itu menjadi miliknya sendiri?
Bahkan mereka bisa sampai menikah saja itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak direncanakan. Dan secara kebetulan, mereka memiliki nasib yang sama yaitu: sama-sama diselingkuhi oleh pasangan. James dan Agatha pun sama-sama kehilangan pasangan karena masing-masing pasangan dari mereka lebih memilih orang lain.
“Nyonya Agatha sedang berada di ruang kerjamu, Tuan.”
Tanpa menghentikan langkahnya, James bertanya, “Untuk apa wanita itu berada di ruang kerjaku? Apa dia sedang tertarik untuk mempelajari bisnis atau yang lainnya?”
Hans menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang sangat ragu. “Aku tidak merasa yakin akan hal tersebut karena Nyonya Agatha hanya mengatakan bahwa ia ingin membaca buku.”
James menganggukkan kepalanya singkat. Perpustakaan memang dibuat menyatu dengan ruang kerjanya. Hal tersebut disengaja agar James tidak perlu kesulitan jika ingin membaca buku. Dan bukan merupakan suatu kebetulan, James adalah pria yang gemar membaca buku di banyak kesempatan. Kepintarannya tidak didapat hanya dengan duduk berleha-leha, maka dari itu James selalu ditemani buku di setiap waktu duduknya.
Namun, semua buku yang dikoleksinya adalah seputar bisnis, perusahaan, organisasi-organisasi dunia, dan beberapa buku yang James yakini tidak akan cocok untuk dibaca oleh Agatha. Tapi James jadi penasaran sekiranya buku apa yang dipilih oleh Agatha. Mungkin ia akan memastikannya sendiri nanti. Karena kini langkahnya membawa James masuk ke dalam kamar pribadinya.
Hans hanya berhenti di depan pintu masuk karena ia tidak berani untuk masuk ke dalam kamar pribadi milik tuannya. Hanya ada dua orang yang diberikan izin masuk ke dalam sana. Yang pertama adalah Emily dan yang ke-dua adalah seorang pelayan yang berusia paling tua di rumah ini. Itu pun hanya ketika kamar ini akan dibersihkan.
“Hans, masuklah!” titah James.
Awalnya Hans merasa ragu untuk masuk, karena tak biasanya ia diberikan izin untuk masuk ke dalam. Namun karena merasa yakin jika dirinya tidak salah mendengar, akhirnya Hans memberanikan diri untuk masuk.
“Ada yang bisa kulakukan untukmu, Tuan?’
“Ya, kemarilah. Aku ingin membahas sesuatu yang berkaitan dengan Emily.”