Pembunuhan Fred dan Elena

1362 Kata
“Apa katamu?” geram Agatha. Ia menatap wajah James dengan garang. Tangannya terasa gatal untuk mencekik leher berurat pria itu. “Dad mohon, Agatha, pergilah,” lirih Fred lagi. Agatha kembali menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Katakan padaku, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian ketakutan? Dan siapa pria ini?” “Aku James Hunt, majikan ayahmu yang tidak tahu malu itu!” ungkap James. “Jangan menghina ayahku!!!” “Tapi memang begitu kenyataannya, ayahmu ini sudah berhutang sangat banyak padaku. Padahal aku membayar gajinya dengan baik setiap bulan, tapi dia terus meminjam uang dan tak pernah mengembalikannya sepeser pun.” “A—apa?” Agatha tercengang. Ia tidak tahu jika Fred berhutang. Meski mereka adalah keluarga miskin, namun mereka tak pernah berusaha meminta belas kasihan orang lain. “Dan dia bahkan mencuri seratus kilo jagung dari kebunku! Aku tidak suka pada orang miskin yang kurang ajar seperti Pak tua yang kau bilang ayahmu itu!” James tersenyum manis namun mengerikan pada Agatha, tangannya mengelus sebelah pipi Agatha namun wanita itu langsung menepisnya. James kembali menatap tajam Fred. “Dan manusia seperti itu tidak layak hidup,” ucapnya misterius dengan nada rendah. Tangannya mengambil sesuatu di dalam saku celana, sebuah pistol berukuran kecil kini berada dalam genggamannya. “Apa ada yang ingin kau katakan?” Fred mendongak untuk menatap James, kedua telapak tangannya bersatu dan ia posisikan di depan d**a. “Aku mohon, jangan sakiti Agatha,” mohonnya. DOR! Tepat setelah kalimatnya selesai, tubuh Fred ambruk karena sebuah peluru bersarang di kepalanya. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan tidak ada yang menyadari jika James memegang sebuah senjata. “FRED!” “DAD!” Agatha dan Elena berteriak bersamaan, keduanya langsung menghampiri tubuh Fred. Sayang sekali mata pria tua itu tak lagi terbuka, jantungnya tak lagi berdetak, dan napasnya tak lagi terdengar. Elena histeris, ia mengguncang tubuh Fred dengan kuat agar suaminya itu terbangun. “Fred! Kumohon bangunlah! Aku tidak ingin kau tinggalkan! Bangunlah Fred!” tangis Elena seraya terus mengguncang tubuh Fred. Agatha tak kalah histeris, ia menangis kencang sambil memeluk kepala ayah angkatnya yang kini berlumuran darah. “Dad, please.” “Kau tenang saja Elena, aku tidak cukup tega untuk menjadikanmu janda tua dengan beban seorang anak,” ujar James dengan ekspresi datarnya, ia kembali mengangkat pistolnya dan ... DOR! Satu tembakan kembali dilepaskan, kali ini d**a Elena sebagai targetnya. Dan tepat sasaran. Elena langsung tersungkur sambil memegangi dadanya dan meringis kesakitan. Agatha terdiam. Ia memandang Elena yang kini sedang merintih. Pikirannya seakan kosong, dadanya berdenyut sakit. “Agatha,” lirih Elena. Tangannya berusaha menggapai tubuh Agatha yang masih mematung. Setelah mendengar lirihan pelan dari ibunya, barulah Agatha menyadari jika Elena kini sekarat. Dengan derai air mata yang mengalir semakin deras di pipinya, Agatha beranjak mendekati Elena. “Mom, kau ... jangan tinggalkan aku. Aku mohon, a—aku akan membawamu ke rumah sakit.” Dalam kepanikannya Agatha berusaha mengangkat tubuh Elena yang lemah, namun ia tak berhasil. Tenaganya tak cukup untuk melakukan itu. “Semoga kau baik-baik saja, Agatha.” Elena bersusah payah untuk mengucapkan suatu kalimat. Tangannya memeluk leher Agatha sebelum kemudian melonggar bersamaan dengan matanya yang terpejam dan napasnya yang berhenti. “MOM!!!” teriak Agatha. Tubuhnya ambruk di atas tubuh Elena yang tak lagi bernyawa. Ia menangis histeris sambil memeluk Elena yang telah meregang nyawa beberapa detik yang lalu. Hatinya hancur melihat dua orang manusia berjasa dalam hidupnya tewas di waktu yang bersamaan tepat di hadapannya. Semua kejadian itu tak luput dari pandangan James. Ia menatap adegan menyedihkan di hadapannya dengan senyum penuh kepuasan. Tak ada belas kasihan dalam hatinya. Tiba-tiba Agatha bangkit, ia menatap tajam James dengan air mata yang masih saja keluar. Tangannya mengepal, tanpa perhitungan Agatha berlari dan menerjang tubuh James. Meski Agatha sudah menubruknya dengan sangat keras, tubuh James tidak bergeser sedikit pun. Pria itu tetap berdiri dengan tegak di tempatnya. Emosi Agatha sudah berada di ubun-ubun. Ia memukul tubuh James dengan membabi buta. Tak ada perlawanan dari James, pada awalnya. Namun karena merasa tidak diperlakukan dengan hormat, James memegang kedua tangan Agatha dengan kuat. Membuat Agatha merasa kesakitan namun ia enggan untuk meringis. Air mata masih terus membasahi pipinya. “Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan, Tuan?” “Sangat sadar, aku baru saja membunuh sepasang manusia,” jawab James dengan santai, namun tidak dengan tangannya yang kini memelintir tangan Agatha agar wanita itu berputar dan tak lagi menatapnya. Kedua tangan Agatha yang kini sudah terkilir masih dipegang dengan kuat oleh James. “Kau lihat jasad keduanya, seandainya kau tidak begitu memaksakan diri untuk kuliah mungkin ayahmu itu tidak akan berhutang!” *** Jumlah manusia yang berada di gubuk lebih banyak dari biasanya, namun suasana yang tercipta justru sebaliknya. Jika biasanya gubuk tua itu diisi oleh tiga orang manusia saja, kehangatan selalu terasa di dalamnya, canda tawa pun selalu hadir di tengah gelapnya malam. Namun kali ini, ada sekitar enam orang yang menempati gubuk. Tapi tidak ada suara ramai di sana. Elva, Callista, dan Fahima datang bersamaan ke gubuk Agatha setelah mendapat kabar dari Agatha. Disusul oleh kedatangan Jonathan dan Obie. Atas bantuan mereka semua, jasad Fred dan Elena dimakamkan di sebelah gubuk. Agatha yang memintanya, ia tidak ingin berjauhan dengan Fred dan Elena. Callista dan Fahima bersikap lebih tenang kali ini, keduanya tidak berdebat dan berusaha untuk tidak mempermasalahkan keberadaan Jonathan yang sesungguhnya membuat mereka tak nyaman. “Agatha, makanlah sesuatu. Ini sudah malam dan kau belum makan,” bujuk Elva untuk ke sekian kalinya. Ia merasa khawatir pada Agatha yang tampak pucat dan terus melamun. “Apa yang dikatakan Elva benar, kau harus makan sesuatu Agatha. Jangan sampai kau jatuh sakit,” timpal Callista. Agatha kini memang dikerubungi oleh tiga sahabatnya. Sedangkan Jonathan dan Obie berada sedikit jauh dari mereka. “Aku tidak ingin,” balas Agatha lemah. Wajahnya masih sembab. Jika tidak ada mereka maka Agatha pasti masih menangis sekarang. Ia merasa sangat hancur hari ini. Apalagi setelah tahu jika Fred berhutang pada majikannya untuk membiayai kuliahnya. Jika Agatha tahu Fred sampai berhutang, maka Agatha akan mengubur impiannya untuk kuliah. Ia tidak akan memaksakan kehendak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak apa-apa ia hanya menjadi lulusan sekolah menengah atas daripada harus kehilangan orang tuanya. Agatha seharusnya sadar jika Fred merasa terbebani atas biaya kuliahnya meski hanya setengah dari keseluruhan. Tapi Agatha dengan egoisnya menutup mata akan semua itu. Cita-citanya adalah bekerja pada perusahaan besar agar mendapat gaji yang tinggi untuk membahagiakan Fred dan Elena. Tapi kini keduanya lebih dulu tiada sebelum keinginan Agatha tercapai. Jonathan yang turut merasakan kesedihan Agatha kini mendekat, mengabaikan Callista dan Fahima yang menatapnya tak suka. Keadaan Agatha sangat memprihatinkan, Jonathan tidak sanggup untuk tidak memeluk tubuh ringkih itu. “Honey, makanlah sesuatu. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Ayah dan ibumu tidak akan menyukainya jika mereka tahu.” Tangisan Agatha kembali pecah dalam pelukan kekasihnya. Ia memeluk tubuh Jonathan dengan erat. “Tapi mereka tidak akan tahu, John. Mereka sudah tidak ada.” Jonathan memejamkan matanya, ia merasakan kesedihan yang luar biasa dalam hatinya. Apalagi melihat wanita yang ia sayangi menangis tersedu seperti ini. Rasanya Jonathan baru saja jatuh dari ketinggian, sakit sekali. Pelukan keduanya terlepas setelah Jonathan melerainya. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menangkup wajah Agatha. Sebuah senyuman berusaha ia munculkan meski sangat sulit. “Mereka tetap ada di sini,” tunjuknya tepat di d**a Agatha. “Di dalam hatimu,” lanjutnya. “Kali ini aku setuju pada John. Orang tuamu akan abadi berada di dalam hatimu,” sahut Obie yang berada di dekat pintu masuk. Agatha terdiam seraya memegangi dadanya sendiri. Benar apa yang dikatakan oleh Jonathan dan Obie. Fred dan Elena mungkin kini tak lagi hidup bersama dengannya. Tapi keduanya akan abadi di hati Agatha. Setiap kebaikan yang telah mereka lakukan, setiap kasih sayang yang telah mereka berikan, dan setiap kenangan indah yang mereka torehkan akan Agatha ingat baik-baik dalam kepalanya dan akan ia simpan di dalam hatinya. Bukankah tidak akan ada manusia yang abadi? Lambat laun satu persatu manusia akan mati dengan cara yang berbeda-beda. Hanya saja bagaimana Fred dan Elena meregang nyawa meninggalkan sebuah luka menganga dalam hati Agatha. Ia akan mengingat pria sombong yang telah menembak Fred dan Elena seumur hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN