Pernikahan Teman Jonathan

2166 Kata
Tidak seperti yang dikatakan oleh Obie kemarin bahwa dirinya dan Jonathan berniat untuk menginap. Karena pada faktanya hingga Agatha menemui pagi kembali, pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya sedikit pun. Hanya Obie dan Opie yang menginap di dalam gubuknya. Yang mengherankan adalah Jonathan yang tidak memberikan kabar, baik itu kepada Agatha atau kepada Obie. Mencoba untuk berpikir positif, Agatha meyakinkan dirinya bahwa pria berusia 25 tahun tersebut kelelahan dan memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Tapi tak dapat dipungkiri, ada perasaan khawatir yang mulai merambat dari ulu hati sampai ke kepalanya. Agatha takut telah terjadi sesuatu yang buruk pada Jonathan. Apalagi mengingat jam pulang kerja Jonathan yang larut malam, rawan kejahatan di setiap sudut jalanan. Agatha menggeliat, sudah terbangun dari tidur nyenyaknya sejak satu jam yang lalu walaupun matahari belum mau meninggi. Di dekat tungku api ada Obie dan Opie yang masih tertidur pulas. Mengingat hanya ada dua ruangan di dalam gubuknya, Agatha terpaksa tidur di ruangan yang sama dengan mantan anak jalanan tersebut karena tak mungkin dirinya meminta Obie untuk tidur di dalam kamar mandi. Ia masih memiliki naluri kemanusiaan yang tinggi. Hari memang sudah beranjak pagi, tapi dunia masih diliputi kegelapan walaupun ada semburat merah yang menggores langit. Agatha memutuskan untuk berdiam diri di depan gubuknya, menikmati hawa pagi khas hutan yang sangat segar dan menenangkan. Jika Agatha adalah wanita penakut maka ia tidak akan berani untuk melakukan ini, memandang sekitarnya yang hanya mendapati rindangnya pepohonan. Menunggu matahari memunculkan kegagahannya, Agatha menatap langit yang dihiasi garis-garis merah kekuningan yang mulai memudar. Fajar akan segera berakhir dan sebentar lagi sang surya akan menampakkan dirinya. Ketenangan yang tercipta hancur begitu saja ketika terdengar suara motor yang mendekat. Tapi hal tersebut membuat Agatha langsung berdiri dengan senyum hangat menyambut sang pengendara motor. Itu adalah Jonathan Carlblood, kekasihnya. Senyuman Agatha semakin merekah ketika Jonathan membuka helm yang dikenakannya. Perasaan lega bersamaan dengan hilangnya rasa khawatir yang sempat menguasainya membuat Agatha bergerak cepat untuk menghampiri sang kekasih yang masih enggan untuk turun dari motornya. “John, kenapa kau tidak datang semalam? Kau tahu aku dan Obie mengkhawatirkanmu,” ujar Agatha seraya memeluk singkat tubuh prianya. Jonathan mengangkat sebelah alisnya sembari tersenyum tampan. Benar-benar tampan di mata Agatha. Lalu pria itu memicingkan matanya seraya berkata, “Mungkin aku percaya jika kau mengkhawatirkanku, Honey. Tapi Obie? Aku yakin dia akan lebih mengkhawatirkan kucingnya yang kumuh daripada aku.” Agatha terkekeh, ia memang melebih-lebihkan soal Obie yang merasa khawatir. Sejak semalam pria itu bersikap cuek dan sama sekali tidak memikirkan Jonathan yang tidak kunjung datang. Dan benar apa yang dikatakan Jonathan, Obie sangat mengkhawatirkan kucingnya hingga ia hanya tertidur setelah memastikan jika Opie telah tidur lebih dulu. “Jadi katakan padaku mengapa kau tidak datang semalam? Apa kau kelelahan dan memutuskan untuk pulang ke rumahmu karena terlalu jauh jika kau harus menuju ke sini? Ah, ya! Sudah pasti itu alasannya. Aku benar bukan?” Agatha berspekulasi dengan sendirinya. Terlihat Jonathan yang menundukkan wajah sejenak dengan helaan napas kasar. Ia menipiskan bibirnya lalu berkata, “Aku mempunyai sebuah urusan.” Agatha mengernyit heran. “Urusan apa? Tapi jangan dulu dijawab, sebaiknya kau turun dan masuk terlebih dahulu. Di sini sangat dingin, atau setidaknya kita bisa duduk di depan gubuk dan memandangi hutan serta langit. Kau tahu, kegiatan sederhana seperti itu sangat menyenangkan ketika dilakukan.” Jonathan tersenyum sangat tipis, lagi-lagi ia menghela napas dalam namun kali ini seraya mengusap wajahnya kasar. Jonathan menatap Agatha dengan pandangan yang berbeda dari biasanya, dan berkat tatapan itu kini Agatha menyadari bahwa pria tersebut sedang mengalami sesuatu yang berat. Pasti ada yang membebani pikirannya. “Apa ada sesuatu yang sedang membebani dirimu, John? Katakan saja, kau tidak akan bisa membohongi diriku mengenai dirimu,” ujar Agatha dengan penuh perhatian, ia bahkan melarikan tangannya untuk mengusap wajah pria di hadapannya dengan lembut. “Agatha, aku ingin mengajakmu pergi hari ini,” tutur Jonathan, berusaha keras untuk mengembalikan senyum di bibirnya. Walaupun rasanya sangat sulit untuk berpura-pura di tengah otaknya yang tengah berkecamuk. Jonathan memejamkan matanya, ia harus menguatkan tekadnya untuk melakukan ini semua di mana sekarang ia menganggap bahwa apa yang tengah dilakukannya adalah yang terbaik ... untuknya. Agatha mengernyit walaupun sebuah senyuman muncul di wajahnya. “Mengajakku pergi? Ke mana?” “Ada temanku yang akan menikah, dan aku ingin kau ikut bersamaku untuk menghadiri pestanya.” Agatha benar-benar merasa senang berkat ajakan tersebut. Ia menganggukkan kepalanya dengan cepat berkat rasa antusias yang tiba-tiba memuncak dalam hatinya. Agatha tidak pernah menghadiri pesta pernikahan siapa pun selama ini. Maka hari ini adalah pengalaman pertamanya. Dirinya jadi merasa tidak sabar karena membayangkan bagaimana dekorasi indah yang ada, Agatha juga akan memperhatikan bagaimana gaun pengantin yang dikenakan oleh si mempelai wanita dan jika bagus, maka akan Agatha jadikan referensi untuk gaun pernikahannya kelak. Dan yang paling membuat Agatha antusias adalah membayangkan makanan-makanan enak yang akan terhidang serta bebas untuk ia makan sepuasnya. Tapi Agatha tidak mempunyai pakaian yang layak untuk menghadiri pesta apa pun. Itu adalah sebuah masalah baginya. “John, aku sangat ingin ikut denganmu menghadiri pesta pernikahan temanmu itu. Tapi kurasa aku tidak mempunyai pakaian yang layak untuk aku kenakan. Aku tidak ingin membuatmu malu karena membawaku sebagai pasanganmu.” Melihat wajah Agatha yang murung membuat Jonathan merasa sedih. Dengan segera ia menangkup wajah cantik kekasihnya tersebut dan menatap wajah itu dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang. “Aku tidak pernah akan malu ketika membawamu sebagai pasanganku, tak peduli apa yang kau kenakan.” Agatha tersenyum tipis, walaupun Jonathan tidak malu tapi tetap saja ada perasaan malu yang akan menyambangi diri Agatha nantinya. Dia akan merasa rendah diri ketika melihat wanita-wanita lain yang hadir di pesta pernikahan yang akan ia datangi. Mereka pasti tampil cantik dengan pakaian yang sangat indah. “Kau tidak perlu khawatir, Agatha. Aku akan membawamu ke salon dan kita akan membeli pakaian yang pantas untukmu. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah cepat naik ke belakang tubuhku dan kita akan segera pergi,” ujar Jonathan. Agatha mengangguk antusias, tawaran yang diberikan oleh Jonathan sangat menggiurkan. Tapi kemudian Agatha mengingat keberadaan Obie yang masih tertidur di dalam gubuknya. “Bagaimana dengan Obie? Dia masih berada di dalam.” Jonathan berdecak kesal setelah mendengar penuturan Agatha. Kekasihnya itu terlalu akrab dengan Obie. “Kau tidak perlu memikirkannya. Lama-lama aku mulai merasa cemburu pada pria gelandang itu!” “Jadi kau cemburu?” “Tidak!” *** Sebuah salon menjadi destinasi Agatha dan Jonathan untuk pertama kali. Sebelumnya, baik Agatha sebagai seorang wanita ataupun Jonathan tidak pernah mengunjungi tempat untuk merawat tubuh mana pun. Agatha sudah merasa berkali-kali lebih bugar dari sebelumnya. Dirinya sudah mandi di salon menggunakan sabun yang baru ia temui. Sepertinya Jonathan membawa Agatha ke salon yang cukup mahal di kota. Karena semua fasilitas yang ada di sini sangat lengkap dengan pelayanan yang sangat baik. Bahkan, di salon ini juga ada butik kecil hingga Agatha bisa memilih pakaian yang ingin ia kenakan. Merasa tidak enak karena Jonathan pasti merogoh kocek yang dalam untuk semua ini, Agatha memilih sebuah gaun paling sederhana dengan harga yang paling murah. Warna dari gaun tersebut pun terbilang tidak indah di mata Agatha karena merupakan gradasi warna dari hijau muda terang ke hitam. Entahlah, tapi Agatha tidak menyukai warna-warna yang terang benderang. Namun, pilihan gaunnya tidak disetujui oleh Jonathan. Pria tampan itu memilihkan gaun lain untuk Agatha. Gaun yang sangat mewah dan indah. Berwarna putih polos dengan banyak kerlip di bagian d**a hingga punggung. Gaun ini sangat mewah dan menjuntai hingga ke lantai. Sangat berlebihan jika digunakan oleh seorang tamu undangan. “Jonathan? Gaun ini terlalu berlebihan, ini lebih cocok dipakai untuk hari pernikahan kita nanti daripada dipakai untuk menghadiri pernikahan temanmu,” ujar Agatha ketika keluar dari ruang ganti. Ia memutar tubuhnya di hadapan cermin. Pakaian yang digunakannya kini benar-benar tidak ada bedanya dengan gaun yang biasa dipakai pengantin. Atau mungkin ini memang gaun pengantin? Berhenti mematut dirinya di depan cermin, Agatha berbalik dan menatap sang kekasih yang tengah duduk di atas sofa dengan tatapan penuh sorot kekaguman yang dilayangkan ke arahnya. Bolehkah Agatha berbangga hati mengenai hal itu? Jonathan bangkit dan berdiri di hadapan Agatha, pria itu langsung meraih pinggang Agatha. “Kau sangat cantik, dan gaun ini sepertinya memang tercipta untukmu.” Memutar bola matanya malas karena mendengar rayuan tersebut, walaupun tetap saja rona merah muncul tanpa izin di kedua pipinya. “Kau memang perayu! Benar apa yang kau katakan, gaun ini diciptakan mungkin untukku. Tapi tidak untuk dikenakan sekarang John!” Jonathan melepaskan tubuh Agatha terlebih dahulu sebelum kemudian membawa tubuh Agatha kembali menghadap cermin, hingga kini keduanya dapat melihat bayangan mereka berdua di kaca. “Kau lihat? Gaun ini sangat cocok dan pas di tubuhmu,” ungkap Jonathan dengan jujur. “Tapi jika aku datang ke pesta pernikahan temanmu menggunakan gaun ini, para tamu undangan akan kebingungan untuk menentukan yang mana pengantin wanita. Bahkan mungkin saja gaun yang kugunakan lebih indah dari pengantin aslinya. Aku tidak mau, itu sama saja mempermalukan diriku!” Jonathan mendesah dengan melas. “Ayolah, Honey. Aku sangat menyukai kau memakai gaun ini. Tidak peduli jika nantinya kau akan menyaingi pengantin wanita, karena aku benar-benar ingin kau memakainya.” Agatha menatap gemas sang kekasih yang tengah memelas dengan gaya yang lucu di matanya. Lalu Agatha kembali mematut dirinya di cermin, tetap saja Agatha merasa jika gaun yang dikenakannya terlalu berlebihan untuk digunakan ke pernikahan orang lain. Akan tidak sopan jika ia tampak lebih bersinar dari sang mempelai. Ketika nanti ia hadir di sana, pasti banyak orang akan mengira jika dirinya adalah sang pengantin wanita. Lantas Agatha kembali menoleh pada Jonathan yang masih saja menunjukkan wajah melas, karena tidak tega pada akhirnya Agatha mengangguk. Tidak apa-apa ia harus menanggung malu karena gaun ini. Yang terpenting Jonathan suka dan senang untuk melihat ke arahnya. “Baiklah, aku setuju untuk memakai gaun ini. Tapi, gaun ini sangat mahal, John.” “Kau tidak perlu memikirkan itu, sekarang kau pergi pada pegawai yang menemanimu tadi dan minta ia untuk merias wajahmu. Oh ya, jangan lupa sanggul juga rambutmu. Kau harus tampil sangat memesona hingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke mana pun.” Agatha tertawa kecil mendengar penuturan kekasihnya, lantas ia mengangguk dan menghampiri seorang pegawai yang menemaninya sejak kedatangannya ke salon ini. Namanya Lyn, menurut ceritanya ia adalah seorang pendatang karena negara tempat kelahirannya adalah Australia. “Apa kau sudah selesai memilih pakaian, Nona?” tanya Lyn ketika Agatha tiba di hadapannya. Ia mengernyit heran ketika melihat gaun yang sudah melekat di tubuh Agatha. Itu adalah gaun pernikahan yang dirancang oleh seorang perancang di salon ini. “Aku akan memakai gaun ini, sekarang tolong rias wajahku dan aku ingin agar rambutku disanggul,” ujar Agatha seraya berjalan mendahului Lyn ke sebuah ruangan di mana terdapat banyak kursi yang berhadapan langsung dengan cermin persegi dengan lampu LED di setiap bingkainya. Tubuh Agatha telah sempurna menduduki salah satu kursi meski ia sempat merasa kesulitan karena gaun yang dikenakan. Memangnya siapa bilang menggunakan gaun indah menjuntai itu mudah? Atau Agatha kesulitan karena sebelumnya tak pernah memakai pakaian seperti ini? Entahlah, Agatha tidak mau berpikir keras untuk hal seperti itu. “Nona, apa kau akan menikah hari ini?” tanya Lyn dengan hati-hati. Kedua tangannya mulai menyisir rambut Agatha dengan pelan. Ia harus mengikat rambut kliennya tersebut sebelum mulai merias wajah cantik Agatha. Melalui cermin Agatha menatap Lyn, pegawai itu mengernyitkan dahinya heran membuat Agatha terkekeh dibuatnya. “Kau pasti mengira aku akan menikah karena gaun yang kukenakan?” Tebakan Agatha tepat sasaran, terbukti dari anggukan kepala yang diberikan oleh Lyn. “Tidak, itu tidak benar. Aku bukan akan menikah hari ini, aku hanya akan menghadiri pernikahan seseorang. Tapi kekasihku memilihkan gaun ini untukku, jadi aku hanya ingin membuatnya senang.” Lyn menatap Agatha dengan antusias walaupun kedua tangannya sibuk mengikat dan menggulung tiap helaian rambut Agatha. “Benarkah kekasihmu itu yang memilihkannya? Nona, tidakkah kau berpikir jika kekasihmu itu akan memberikan sebuah kejutan?” “Kejutan?” “Ya! Sebuah kejutan! Mungkin saja dia berniat menikahimu hari ini tapi mau memberitahumu dulu. Dia akan mengajakmu langsung ke atas altar untuk melakukan janji suci. Jika ya, maka sebenarnya dia pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.” Agatha bungkam setelah mendengar penuturan Lyn. Sebuah harapan muncul dalam hatinya. Benarkah Jonathan akan memberikan kejutan padanya? Pria itu akan menikahinya? Hari ini? Agatha menunduk untuk kembali menatap gaunnya, sangat indah. Inikah alasan Jonathan memaksanya untuk memakai gaun ini? Yaitu karena pria tersebut berniat menikahinya hari ini? Itu artinya ... mereka bukan akan menghadiri pernikahan teman Jonathan, tapi mereka akan menghadiri pernikahan mereka sendiri. Agatha kembali mengangkat wajahnya yang jelas sekali bahagia. Ini baru sebuah praduga, Agatha harus menyiapkan mental jika mereka memang hanya akan benar-benar menghadiri pernikahan salah satu teman Jonathan. “Tentu kekasihmu tidak buta, dia pasti tahu jika gaun yang dipilihnya adalah sebuah gaun pengantin,” lanjut Lyn. Dan Agatha menyetujui hal itu. Selain harus mempersiapkan mental, Agatha juga harus menyiapkan penampilannya jika saja dugaan Lyn dan dirinya itu menjadi kenyataan. Dengan riang Agatha berkata, “Lyn, tolong rias aku dengan sangat cantik.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN