Pernikahan Asti dan Nathan

1343 Kata
Mata Juwita menatap sendu ke arah altar megah yang dihiasi bunga lili putih dan mawar merah. Di depan sana, Nathan berdiri gagah dalam setelan jas hitam, sementara Asti, adik Juwita, tampak anggun dalam gaun pengantin putih berenda. Suasana di dalam gereja dipenuhi haru dan kebahagiaan, namun bagi Juwita, hari ini bukanlah momen bahagia. Ini adalah hari ketika hatinya hancur berkeping-keping. Tangannya yang terkepal erat gemetar, berusaha keras menahan rasa sakit yang terus mendera. Berkali-kali ia menghapus air mata yang mengalir tanpa henti. Seharusnya dia yang berdiri di sana, mengucapkan janji suci dengan Nathan, bukan Asti. Selama dua tahun terakhir, Nathan adalah segalanya bagi Juwita—cinta pertama yang ia rawat dengan penuh harapan dan kasih sayang. Tapi kenyataan pahit ini datang tanpa ampun. Asti, adik yang selama ini selalu Juwita lindungi, ternyata menginginkan Nathan untuk dirinya sendiri. Dengan wajah cantik yang tak pernah gagal menarik perhatian, Asti membuat Nathan mau menerima perjodohan ini. Juwita tidak tahu kapan tepatnya Nathan mulai menjauh setelah mengucapkan janji di taman mengajaknya selingkuh, malahan Nathan menjadi hari esoknya, namun ia merasakan perubahan itu dengan jelas. Dan ketika Nathan akhirnya mengumumkan pernikahannya dengan Asti, dunia Juwita runtuh. Zahra, sahabat Juwita sejak kecil, mendekatinya dengan wajah penuh simpati. Ia memegang tangan Juwita yang dingin, lalu berbisik lembut, “Sabar, Juwita. Jangan menangis. Kamu harus kuat.” Juwita tertawa kecil, getir. “Jangan menangis?” gumamnya lirih. “Bagaimana aku tidak menangis, Zahra? Kekasih hatiku menikah dengan adikku sendiri. Dua tahun aku mencintainya, dan sekarang aku harus melihatnya berjanji sehidup semati dengan orang lain. Apa kamu pikir itu mudah?” Zahra menghela napas, lalu memeluk Juwita erat. “Aku tahu ini sulit. Tapi kamu tidak sendirian. Aku ada di sini.” Juwita merasakan kehangatan dari pelukan Zahra, namun hatinya tetap terasa dingin. Ia menatap ke altar, menyaksikan Nathan mengucapkan janji setianya. Suaranya terdengar mantap, penuh keyakinan. Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan seperti belati yang menusuk hati Juwita. “Apakah dia pernah mencintaiku?” tanya Juwita, suaranya hampir tak terdengar. “Atau selama ini hanya aku yang mencintai sendirian?” Zahra menggenggam tangan Juwita lebih erat. “Aku yakin dia pernah mencintaimu. Tapi cinta itu berubah, Juwita. Terkadang, kita harus merelakan sesuatu yang tidak bisa kita miliki.” Air mata Juwita kembali mengalir. “Aku tidak tahu bagaimana cara merelakan, Zahra. Aku mencintainya terlalu dalam.” Upacara pernikahan terus berlanjut. Nathan menyematkan cincin di jari Asti, dan Asti melakukan hal yang sama. Semua orang bersorak bahagia, tetapi Juwita hanya bisa duduk membisu, merasakan kekosongan yang begitu dalam. Di dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin lari sejauh mungkin, tetapi kakinya terasa berat. Setelah upacara selesai, para tamu bergembira, mengucapkan selamat kepada pengantin baru. Zahra menarik Juwita ke luar gereja, mengajaknya duduk di taman kecil di samping gereja. “Aku tidak bisa berada di sana,” kata Juwita dengan suara bergetar. “Melihat mereka bersama seperti ini... terlalu menyakitkan.” Zahra mengangguk. “Kamu tidak harus kuat sepanjang waktu, Juwita. Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik.” Dan kali ini, Juwita membiarkan dirinya menangis. Ia menangis untuk semua mimpi yang hancur, untuk cinta yang tak terbalas, dan untuk luka yang ditinggalkan Nathan. Zahra tetap di sisinya, tidak berkata apa-apa, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Setelah beberapa saat, Juwita mengusap wajahnya yang basah. “Aku ingin pergi jauh dari sini,” katanya. “Aku butuh waktu untuk melupakan.” Zahra tersenyum lembut. “Kalau begitu, ayo kita pergi. Aku akan menemanimu.” Juwita menatap sahabatnya dengan mata yang masih sembab, tapi ada sedikit harapan yang mulai muncul di sana. “Terima kasih, Zahra. Kamu selalu ada untukku.” Zahra merangkul Juwita. “Itu tugas sahabat. Kamu akan menemukan kebahagiaanmu, Juwita. Ini bukan akhir, ini hanya awal yang baru.” Mereka duduk di sana, di bawah langit yang mulai memudar jingga, menikmati ketenangan sejenak. Meski luka Juwita belum sembuh, ia tahu ada jalan panjang yang menantinya—jalan menuju penyembuhan, kebebasan, dan mungkin, cinta yang baru. *** Ombak berkejaran di bibir pantai, membawa buih putih yang perlahan menghilang di pasir. Angin laut berhembus lembut, menyapu wajah Juwita yang duduk diam di tepi pantai. Gaun putih yang dikenakannya kini kotor oleh pasir, namun ia tidak peduli. Matanya bengkak, sembab karena air mata yang terus mengalir sejak pagi. Di sampingnya, Zahra duduk dengan wajah penuh simpati, menatap sahabatnya yang tengah terjebak dalam kepedihan. Juwita menghela napas panjang, seolah ingin mengusir rasa sesak yang mendera dadanya. Namun rasa sakit itu tetap ada, mengendap, menolak pergi. Berkali-kali, ia memukul dadanya sendiri, berharap rasa sakit itu mereda. Tapi sia-sia. Sesak di hatinya seolah mencekik, mengunci semua harapan dan kebahagiaan. Zahra hanya diam, menunggu Juwita bicara. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang mampu langsung menyembuhkan luka sebesar ini. Luka yang ditinggalkan oleh cinta yang direnggut, oleh pengkhianatan yang terasa begitu menyesakkan. Akhirnya, Juwita menoleh ke arah Zahra, matanya yang merah dan lelah menatap lirih. Suaranya terdengar parau, hampir seperti bisikan. "Zahra... seharusnya aku yang menikah dengan Nathan, bukan Asti." Suaranya terputus-putus, lalu ia tertawa pahit. "Kamu tahu, mereka dijodohkan oleh orang tuaku. Perjodohan itu dipaksakan, Zahra. Sebegitu tidak berharga kah aku di mata mereka? Apa aku ini tidak cukup layak untuk bahagia?" Zahra menghela napas dalam, lalu meraih tangan Juwita yang dingin dan gemetar. “Juwita, jangan berkata seperti itu. Kamu berharga. Kamu sangat berharga.” Matanya yang lembut menatap dalam ke mata Juwita. “Bukan karena Nathan meninggalkanmu, atau karena orang tuamu membuat keputusan itu, lantas kamu menjadi tidak berharga. Kamu lebih dari itu.” Juwita menggeleng perlahan. "Tapi mengapa aku merasa seperti ini, Zahra? Seperti aku tidak pernah cukup. Aku memberikan segalanya, tapi tetap saja tidak dianggap. Bahkan keluargaku sendiri memilih Asti. Apa aku tidak layak dicintai?" Zahra memeluk Juwita erat. Pelukan itu hangat, penuh kasih, seperti jaring pengaman yang menahan Juwita dari tenggelam dalam kesedihan yang lebih dalam. "Dengar aku, Juwita," bisik Zahra lembut. "Suatu hari nanti, kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Bukan hari ini, mungkin bukan besok, tapi itu akan datang. Kamu hanya perlu percaya, meskipun sekarang rasanya sakit tapi nanti pasti akan bahagia." Juwita tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan guratan keputusasaan. "Kebahagiaan?" katanya lirih. "Masih ada, Zahra? Rasanya aku sudah terlalu lelah berharap. Semua yang aku cintai diambil dariku. Apa kebahagiaan itu nyata?" Zahra menggenggam tangan Juwita lebih erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan. "Kebahagiaan itu nyata, Juwita. Mungkin bukan dalam wujud Nathan, mungkin bukan dalam apa yang kamu bayangkan. Tapi hidup selalu punya cara untuk memberikan kejutan. Kamu hanya perlu bertahan." Angin pantai membawa keheningan sejenak di antara mereka. Juwita menatap cakrawala, melihat matahari perlahan tenggelam ke dalam lautan, memancarkan cahaya oranye keemasan yang indah. "Aku ingin pergi jauh dari sini," bisiknya. "Meninggalkan semuanya. Melupakan Nathan, Asti, dan rasa sakit ini." Zahra tersenyum lembut. "Kalau itu yang kamu butuhkan, aku akan menemanimu. Kita bisa pergi ke tempat di mana tidak ada yang mengenal kita, memulai semuanya dari awal." Juwita menatap Zahra dengan mata yang masih sembab, tetapi ada kilatan harapan kecil di sana. "Kamu akan benar-benar pergi bersamaku?" Zahra mengangguk mantap. "Aku akan selalu ada untukmu, Juwita. Apa pun yang terjadi." Mata Juwita kembali berair, tetapi kali ini bukan hanya karena kesedihan. Ada kehangatan yang mulai meresap di hatinya. "Terima kasih, Zahra. Kamu adalah satu-satunya yang tidak pernah meninggalkanku." Zahra mengusap lembut pipi Juwita. "Kita akan melewati ini bersama. Kamu tidak sendiri." Matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, meninggalkan jejak keemasan di langit. Dalam keheningan malam yang mulai menyelimuti, Juwita merasakan beban di dadanya sedikit lebih ringan. Mungkin, kebahagiaan itu memang masih ada, meski tersembunyi di balik luka yang dalam. Dan kali ini, dengan Zahra di sisinya, ia berjanji akan mencari kebahagiaan itu—pelan-pelan, langkah demi langkah. Malam itu, di bibir pantai yang sepi, Juwita untuk pertama kalinya merasa bahwa meskipun hatinya hancur, ia masih memiliki kekuatan untuk bangkit. Kebahagiaan mungkin jauh, tetapi ia akan terus mencari, karena dalam perjalanan itulah, ia akan menemukan dirinya sendiri. Juwita ingin pergi menenangkan dirinya sejenak dari sini. Setelah melihat bagaimana status Nathan berubah menjadi suami Asti. Tangan Juwita terkepal dan menatap datar ke depan. Rasa sakit di hatinya begitu besar sekali sekarang. Asti… merebut Nathan darinya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN