PROLOG: PRIA PERKASA

1443 Kata
“Nagara, kamu paham ‘kan apa yang Ayah bicarakan?” Suara berat Suradipraja memecah keheningan di ruang keluarga yang dipenuhi aroma kayu manis dari dupa di pojok ruangan. Lelaki tua itu duduk bersandar di kursi rotan, menatap putra angkatnya dengan pandangan serius. Baru saja ia menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan cucunya dari London, Larasantika, atau biasa dipanggil Antika. Gadis itu terlalu berbeda dai kakaknya, Pitaloka. Terlalu liar, terlalu bebas, terlalu sulit dikendalikan. Santosa dan Diana, akhirnya menyerah. Mereka memutuskan mengirim si bungsu ke Indonesia, ke rumah orangtuanya agar belajar sopan santun dan, mungkin, sedikit waras. “Saya paham, Ayah,” jawab Nagara tenang, seperti biasa. “Hanya saja malam ini saya tidak bisa menjemput ke bandara. Ada rapat dengan pihak Universitas Garendra, membahas kerja sama riset antar fakultas. Saya akan meminta supir menjemputnya.” “Lakukan saja, asal jangan buat dia kesal menunggu. Dia itu pemarah. Kamu ingat ‘kan?” “Hmm…., terakhir kali saya menemuinya saat dia berusia 12 tahun, dia masih sangat pengertian dan baik waktu itu.” Kemudian suara lain menimpali. “Dia sudah berubah, Nagara. Ini dia alasan kenapa kamu harus ikut ke London setiap tahun, melihat perkembangan keponakanmu, bukan sibuk dengan Universitas saja,” ujar Ratnawangi, sang Ibu meletakkan nampan di meja dan menatap putra angkatnya dengan lembut. “Ayah dan Ibu sudah sangat lelah mempertahankan Yayasan keluarga, jadi saya harus lebih baik dalam menjaganya.” “Jangan terlalu kamu anggap ini beban, Nak,” ucap sang Ibu pelan. “Kamu anak kami, bukan robot yang dipekerjakan. Istirahatlah sejenak, bersenang-senanglah. Dan tentang Antika, di aitu sangat sulit, tapi dia tetap keluarga. Anggap saja dia adikmu sendiri. Kalau dia bandel, tegur. Kalau dia salah, marahi.” “Saya mengerti, Ibu. Hanya saja… saya bukan orang yang pandai menghadapi anak seusianya. Tapi akan saya coba.” “Kamu pernah menghadapi mahasiswa yang lebih keras kepala darinya, bukan? Masa menghadapi keponakan sendiri kamu merasa kalah duluan?” Tanya Ratnawangi. Suradipraja terkekeh lirih. “Kamu ini terlalu serius, Nagara. Kadang lupa kalau di balik jas dan jabatan rektor itu, kamu tetap anak yang dulu kami temukan di panti asuhan, menggenggam buku lusuh tapi matamu menyala-nyala.” Nagara menunduk mengingat masa itu, usia tujuh belas, tubuh kurus, dan pandangan dunia yang sempit di balik pagar panti asuhan. Hidupnya berubah ketika keluarga Wangsadipraja datang berkunjung dalam acara sosial. Ratnawangi-lah yang pertama kali menatapnya dengan mata lembut seorang ibu, dan tanpa banyak pikir, ia mengulurkan tangan serta berkata, “Mulai hari ini, kamu ikut kami pulang.” Sejak itu, Nagara menjadi bagian dari keluarga ini. Ia diberi pendidikan terbaik, hingga akhirnya kini di usia tiga puluh tahun menjadi rektor termuda di bawah yayasan milik keluarga angkatnya. “Anak itu butuh figur, Nagara,” ucap Suradipraja. “Ayahnya sibuk, ibunya orang London yang tidak paham adat kita. Kami sudah tua. Jadi… hanya kamu yang bisa membentuknya.” “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Ayah.” “Nah, sekarang minum dulu tehnya. Kamu paling suka teh buatan Ibu, ’kan?” Rumah keluarga Wangsadipraja berdiri di daerah Sentul Selatan, jauh dari hiruk pikuk kota namun masih mudah dijangkau dari Jakarta. Sebuah rumah kayu besar bergaya colonial dengan atapnya yang tinggi, jendela-jendela lebar menghadap ke halaman yang ditumbuhi pohon kamboja dan flamboyan. Udara di dalam rumah selalu harum oleh aroma kayu jati dan melati kering. “Teh Ibu memang selalu punya rasa yang sama. Enak sekali,” ucapnya pelan. Suradipraja terkekeh. “Itu artinya kamu masih waras setelah rapat berhari-hari. Jangan sampai Yayasan bikin kamu jadi mati rasa, Nak.” Mereka bertiga tertawa kecil. Obrolan mengalir ringan tentang dosen-dosen baru, peraturan akademik, dan rencana pengembangan universitas keluarga mereka, Universitas Wangsadipraja Dharma. “Universitas itu sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun,” kata Suradipraja dengan nada bangga. “Tapi baru sejak kamu menjabat rektor, nama Wangsadipraja Dharma benar-benar diperhitungkan. Kalau almarhum kakekmu masih hidup, pasti dia bangga.” “Saya hanya meneruskan apa yang sudah Ayah jaga. Yayasan itu warisan, tapi juga tanggung jawab. Selama saya bisa menjaga integritasnya, berarti saya sudah melakukan bagian saya.” Ratnawangi menatap anak angkatnya itu penuh sayang. “Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Tapi jangan lupa, kamu juga manusia. Kadang Ibu khawatir kamu terlalu menekan diri sendiri.” Nagara hendak membalas, tapi dering ponselnya memotong percakapan. Ia merogoh saku celana dan melihat nama yang muncul di layar, Elise. Istrinya. “Ya, Sayang? Saya sedang di rumah Ayah dan Ibu… bagaimana di studio?” Hening sejenak. “Oh, begitu. Jadi… tidak bisa kesini? Baiklahh, tidak apa.” Mereka berbincang sebentar sebelum Nagara menutup panggilan. “Ada salam dari Elise, dia minta maaf tidak bisa berkunjung.” “Masih sibuk, ya?” tanya Ratnawangi. “Iya, Bu. Pemotretan kampanye parfum baru.” Suradipraja menghela napas panjang. “Ayah tidak habis pikir, Nagara. Dulu kami menjodohkan kalian supaya kamu punya pendamping yang bisa menemani, bukan yang sibuk keliling dunia dengan kamera di depannya.” “Sudahlah, Kang,” sela Ratnawangi, menatap suaminya dengan lembut. “Elise anak baik. Dia hanya belum bisa meninggalkan dunia yang sudah membesarkannya.” “Tetap saja. Seorang istri seharusnya tahu kapan harus berhenti mengejar sorotan. Rumah tangga bukan panggung,” gerutu Suradipraja pelan. “Itu membuatku menyesal menikahkan kalian dulu. Harusnya dijodohkan dengan wanita yang lebih betah dirumah.” “Saya tidak menyesal, Ayah. Saya menikah dengan orang yang saya cintai, meskipun dijodohkan. Elise adalah bagian hidup saya, dan kalau dia masih ingin mengejar mimpinya, saya tidak akan menghalangi. Suatu hari nanti dia akan tahu sendiri kapan waktunya pulang.” **** “Dengan Non Antika?” tanya seseorang dengan suara pelan, membuat gadis itu mendongak dari ponselnya. “Lama banget! Pesawat yang aku tumpangi udah mendarat darii setengah jam lalu, kalian pikir aku turis yang bisa sabar berdiri di sini?” Nada suaranya tinggi, penuh kesal. “Maaf, Non. Jalanan macet dari tol, dan tadi bandara juga sempat padat.” “Alasan.” Antika menyambar kopernya, menyerahkannya dengan gerakan kasar. “Bawa ini ke mobil. Jangan banyak bicara.” Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan cepat dengan langkah sepatu berhaknya yang berdetak nyaring di lantai bandara. Malam sudah larut, hampir tengah malam. Lampu-lampu di luar jendela mobil berpendar seperti garis cahaya yang menari di kaca, sementara wajah Antika tampak lelah, tapi tatapannya tetap tajam. Sang sopir mencoba mencairkan suasana. “Saya Bima, Non. Sopir di rumah Pak Nagara. Saya juga akan menjadi sopir pribadi Non selama di sini.” “Aku nggak peduli. Nyetir aja yang bener.” “Baik, Non.” “Pak Nagara sebenarnya ingin menjemput Non sendiri, tapi beliau ada rapat penting di kampus. Ibu Elise juga sedang sibuk untuk pekerjaan, jadi—” “Aku bilang aku nggak peduli,” potong Antika datar, menatap keluar jendela. “Kalian ini suka sekali menjelaskan hal yang tidak aku tanyakan.” Bima langsung diam. Suasana di mobil kembali hening, hanya tersisa radio yang pelan memutar lagu lawas. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar berpagar besi hitam, jam digital di dashboard menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh tiga menit. Rumah tiga lantai dengan dinding kaca dan taman kecil di depannya tampak elegan, modern, bersih, berkilau di bawah lampu taman. Antika turun tanpa menunggu, menyambar kopernya sendiri. “Aku bisa bawa sendiri,” ujarnya ketus ketika Bima hendak menolong. Pintu utama terbuka. Seorang pelayan paruh baya muncul dengan senyum gugup. “Selamat malam, Non Antika. Saya Yuni. Mari, saya antar ke kamar.” “Gak usah. Di mana kamarnya?” “Lantai tiga, Non. Di ujung kanan.” “Kamu buatin aku camilan aja.” “Baik, Non.” Antika melangkah ke arah lift, menyeret kopernya yang berisik menabrak lantai marmer. Lift berhenti di lantai tiga, mendapati koridor panjang dengan pencahayaan hangat keemasan. Rumah itu terasa dingin tapi mahal. Tidak buruk, pikirnya, sambil menatap dinding yang berisi pigura berlapis kaca dan deretan buku di rak kayu walnut. Namun langkahnya terhenti. Ada suara. Suara berat seperti helaan napas panjang yang tertahan. “Shhh… ahhhh….” Antika mengerutkan kening, menajamkan telinga. Suara itu datang dari arah kanan, dari salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Rasa ingin tahunya mengalahkan sopan santun. Ia melangkah perlahan dan mencondongkan tubuh, mengintip melalui celah pintu. Nagara, Pamannya. Namun yang membuatnya terdiam bukan sekadar siapa yang ada di sana, melainkan apa yang sedang terjadi. Pria itu duduk di kursinya, kepala tertunduk dalam temaram kamar yang hanya diterangi lampu meja berwarna kuning keemasan. Bayang tubuhnya memantul di kaca jendela yang gagah, berotot, dan berurat hingga tampak hidup di antara remang malam. Tangan kanannya bergerak pelan, berirama, mengocok perlahan di antara helaan napas berat yang sesekali tercekat. Bahunya naik turun, keringat dingin mulai menitik di pelipis. Antika menelan ludah. “Sialan… dia lagi nyolo?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN