“Anak nggak tahu diuntung! Bisanya bikin onar! Bikin malu! Lihat kakak kamu! Prestasinya luar biasa, kamu bisanya cuma buat Papa malu aja!”
“Mama nggak tahu harus ngomong apa lagi sama kamu, Antika. Kamu memperjelas perasaan Mama, kalau kamu memang bukan anak yang diinginkan.”
Seketika manik biru itu terbuka, napasnya memburu. Antika terduduk di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Hatinya masih berdegup kencang akibat mimpi itu lagi, potongan yang terus menempel di kepalanya. London, dengan langit kelabunya, dengan semua kenangan buruk yang tidak mau pergi.
Di rumah itu, Antika selalu menjadi bayangan dari Pitaloka. Kakaknya yang lembut, cerdas, pandai bicara, dan selalu jadi kebanggaan keluarga.
Sementara dia?
Anak yang katanya sulit diatur. Anak yang hanya bisa membuat malu. Bahkan saat kecil, ia tahu kasih sayang di rumah itu tidak pernah terbagi rata. Pitaloka selalu mendapatkan pelukan. Antika hanya dapat tatapan jengkel dan kalimat panjang penuh keluhan.
Ia mengusap wajahnya perlahan, mencoba menenangkan napas. Lalu matanya menyadari bahwa dirinya bukanlah di London, melainkan di Jakarta. Bau wangi eucalyptus samar tercium dari diffuser di sudut ruangan. Sebuah jendela kaca besar menampilkan pemandangan kolam renang berbentuk persegi panjang yang berkilau di bawah cahaya matahari pagi.
“Right. Welcome to Jakarta, Antika,” gumamnya pelan sambil berdiri.
Ia berjalan ke kamar mandi. Saat ia membuka air hangat, kabut tipis mulai memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang. Tapi di kepalanya, suara dari masa lalu belum sepenuhnya hilang.
Setelah beberapa menit, ia keluar dengan rambut lembap dan bathrobe yang menyelimuti. Ia berhenti mendadak. Ada seseorang di sana.
“Hi!” suara ceria itu terdengar sebelum Antika sempat bereaksi.
“Tante?” Antika mengerjap. “Oh my God, katanya tante lagi ada kerjaan. Kkapan datang?”
Elise tertawa kecil dan berjalan menghampiri. “Baru tadi dini hari. Aku langsung ke rumah begitu selesai syuting. Welcome home, darling.” Ia membuka tangan. “Thank you, ya, sudah mau datang dan tinggal di sini. Rumah ini jadi terasa lebih hidup.”
“Hahaha, hidup gimana. Aku juga baru datang.”
“Tapi ke depannya bakalan rame loh, An. Oh iya, aku bawain kamu sesuatu. Ini beberapa baju yang udah nggak Tante pakai, tapi masih bagus banget.”
Elise meletakkan beberapa kotak di tempat tidur. Di dalamnya, beberapa dress dan blus berwarna feminime, semuanya cantik dan terlihat mahal.
“Tapi… ini bukan warna aku banget, Tante.”
“Come on, just try it. You’ll need something nice for campus.” Elise menatapnya dari kepala hingga kaki dengan senyum geli. “Kamu cantik, tapi gaya kamu kayak anak yang mau balapan, bukan mau kuliah.”
“Aku emang suka yang simple, Tante. Jeans, kaus, sneakers. Lebih nyaman.”
“Tapi coba deh, satu ini.” Elise mengeluarkan gaun selutut berwarna beige muda. “Cuma dress sederhana kok, tapi kamu bakal kelihatan classy. Sedikit make-up, rambut di-blow dikit. Trust me, you’ll look adorable.”
Antika ingin menolak, tapi dia merasa harus sopan pada tuan rumah ini. Akhirnya membiarkan Elise melakukan apa yang dia mau. Mulai dari menata rambutnya, memilihkan pakaian sampai dengan memoles dengan make-up yang dimiliki Elise.
“Tante sering pergi kerja, rumah ini… terlalu sunyi. Jadi, bantu Tante ya, buat rumah ini terasa hangat lagi. Kasihan Om kamu itu kesepian, kamu ajak ngobrol dia deh, atau gimana deh,” ucapnya sambil memoleskan lisptik.
Antika terkekeh. “Oke, aku bakal coba. Asal Tante kasih aku uang jajan yang cukup, ya.”
“Deal! You’re really something, kid.”
“Aku bukan kid, Tante. Aku udah dua puluh.”
“Right, right.” Elise memutar bola matanya sambil tersenyum. “Nah, udah selesai!”
Antika menatap pantulan dirinya sendiri. Oh, sangat bukan typenya, tapi mau bagaimana lagi. dia hanya tersenyum dengan hambar, berusaha menyenangkan Elise.
“Suka ‘kan?”
“Suka, Tante.”
“Nah ayo sekarang kita turun. Om kamu pasti sudah menunggu di ruang makan.”
Mereka turun dari lantai tiga menggunakan lift. Ruang makan berada di lantai satu. Letaknya berdampingan langsung dengan halaman belakang yang terbuka melalui deretan pintu kaca. Sinar matahari pagi menembus masuk, memantul di permukaan kolam renang biru jernih, dan di kejauhan tampak kebun kecil dengan berbagaui bunga.
Suasana terasa damai kalau saja tidak ada hawa dingin dari sosok yang duduk di ujung meja. Di sana, Nagara tengah menikmati sarapannya. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan sedikit tergulung, sebuah iPad di tangan kirinya, dan secangkir kopi di sisi kanan.
“Sayang…. udah sarapan duluan?”
Nagara hanya melihat sekilas.
“Morning, Sayang,” katanya lembut. “I’m sorry, aku pulang telat semalam.”
Nagara tidak menanggapi. Ia hanya menutup iPad-nya perlahan membuat Elise menelan ludah kecil, lalu menepuk tangan Antika yang berdiri sejak tadi. “Duduk, sayang. Ayo sarapan.”
Antika hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari Nagara. Jijik, pikirnya saat mengingat kejadian semalam. Lelaki ini benar-benar kesepian sampai harus…. Ia menggeleng pelan, mencoba menghapus gambaran itu dari pikirannya.
“Bagaimana tidurnya?” Tanya Nagara tiba-tiba.
“Ya? Baik, Om.”
“Kalau perlu apa-apa, termasuk merombak kamar, kamu tinggal bilang saja pada pelayan disini.”
Antika mengangguk.
“Saya sudah berbicara dengan kepala prodi. Kamu akan langsung masuk kelas mulai hari ini. Masa orientasi sudah selesai dua minggu lalu. Jadi aka nada sedikit ketertinggalan.”
“Iya, Om.”
“Kamu akan diantar Mang Bima. Langsung ke kepala prodi. Di sana kamu akan diarahkan.”
Antika mengangguk.
Elise melirik ke arah keduanya, berusaha tersenyum meski suasana di meja itu terasa seperti udara dingin dari pendingin ruangan yang terlalu kuat. Tentu saja sang suami marah padanya. “Mas, kenapa gak kamu aja yang antar Antika? Biar orang-orang juga tahu kalau dia cucu pemilik Yayasan dan keponakan kamu.”
“Tidak usah, dia harus belajar mandiri. Fakta itu tidak akan membuatnya special,” jawab Nagara sambil menyeka bibirnya dengan tissue. “Saya ke kampus dulu.”
Tanpa menunggu balasan, pria itu melangkah keluar. Membuat Elise menghela napasnya dalam. “Om kamu masih marah sama Tante.” Elise tertawa pelan. “He’s just… like that. You’ll get used to him.”
Antika mengangkat alis, tersenyum tipis. “We’ll see about that.”
****
Tidak ada yang tahu kalau dirinya adalah cucu dari pemilik Yayasan dan keponakan dari sang Rektor.
Antika menjalani hari pertamanya di Universitas Wangsadipraja Dharma seperti mahasiswa biasa. Ia tidak mendapatkan perlakuan istimewa.
Mahasiswa di Fakultas Ekonomi kebanyakan pendiam, berpenampilan rapi, dan jarang tertawa keras. Tidak ada yang benar-benar berani memulai obrolan dengannya selain basa-basi singkat soal tugas. Jadi ketika jam kuliah berakhir, Antika minta sang sopir mengantarkannya ke café pilihannya. Bosan kalau di rumah.
Waktu berjalan lambat. Ia memesan pasta, dessert, dan menatap pemandangan jalanan yang mulai ramai. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tertawa, beberapa pasangan sibuk berfoto. Sementara ia sendirian, lagi.
Sampai sebuah suara memecah lamunannya. “Antika, ya?”
Antika menoleh. Di depannya berdiri seorang gadis berambut pendek dengan kacamata bundar dan tote bag besar di bahu. “Iya?”
“Gue Cici, temen sekelas lo. Tadi nggak sempet ngobrol di kelas, lo keburu keluar.”
“Oh ya?” jawab Antika santai, setengah malas.
“Boleh gabung nggak? Penuh banget nih, dan gue bawa temen-temen gue. Siapa tahu bisa sekalian kenalan.”
Antika melirik ke arah pintu. Dua pria dan satu perempuan baru saja masuk, semuanya berpenampilan modis tapi santai. Dari cara mereka tertawa, tampak jelas bukan tipe yang membosankan. “Sure,” katanya akhirnya sambil menggeser tasnya ke samping kursi.
Mereka duduk, memesan minuman, dan obrolan mulai mengalir tanpa terasa. Topiknya ringan tentang dosen killer, film, musik, lalu entah bagaimana beralih ke otomotif. Ternyata mereka sama-sama suka mobil sport dan balap sirkuit. Antika bahkan tertawa beberapa kali, sesuatu yang jarang ia lakukan sejak tiba di Jakarta.
“Gila, lo keren banget bisa bongkar mesin sendiri,” kata salah satu pria, Banyu. “Cewek kayak lo jarang banget.”
Antika terkekeh, menyandarkan tubuh di kursi. “London taught me survival skills.”
“Kayaknya gue bakal sering minta lo bantuin reparasi mobil gue, deh,” sambung pria satunya, Rafi.
Waktu bergulir cepat tanpa terasa hingga telpon masuk dari sang sopir dan Antika sadar jarum sudah menunjuk pukul sebelas lewat sedikit. “Oh damn.”
“Kenapa, An?”
“Balik.”
“Lah anjirr, katanya anak mobilan? Jam segini udah balik?”
“Hari pertama gue dirumah Om, harus jaga image dikit lah,” ucapnya malas.
“Besok nongkrong lagi ya?” seru Cici.
Antika hanya mengangguk dengan senyum tipis. “We’ll see.”
“Nanti gue hubungin lo.”
Antika hanya mengangguk dan keluar dari café. Di parkiran, Mang Bima sudah berdiri menunggu di samping mobil. “Maaf, Non, ganggu waktunya. Udah malam banget.”
Antika mendengus pelan, membuka pintu belakang. “Nggak apa. Jalan aja.”
Seperti biasa lantai tiga selalu temaram jika malam, heran Antika dibuatnya. Lampu di koridor menyala setengah, bayangannya sendiri memanjang di dinding. Ia menggigit bibir penasaran. Sepertinya sang Tante memang tidak pulang lagi malam ini, sebab bau alkohol dari ruang kerja sang paman itu terlalu kuat. Antika tersenyum miring. Pria kesepian itu, mabuk lagi rupanya.
Langkahnya pelan menuju pintu ruang kerja yang sedikit terbuka. Dari sela celah, cahaya lampu meja menyorot berkas-berkas yang berserakan. Tapi… tak ada siapa pun di sana.
Antika memberanikan diri masuk. Ruangan itu luas dan dingin, penuh rak buku tinggi, aroma kayu cendana bercampur alkohol. Ia mengamati meja kerja dengan laptop terbuka dan segelas whiskey yang hampir habis. “Dia ke mana?” pikirnya, ketika tiba-tiba— BRUK!
Tubuhnya ditarik keras, punggung menghantam dinding dingin. Napasnya tertahan.
“...Elise?” Suara berat itu serak, berbau alkohol.
“Aku bukan el—hmphhh!”
Nagara, dengan mata separuh tertutup mabuk, langsung menunduk dan membungkamnya dengan ciuman. Bukan ciuman lembut, tapi kasar, seolah mencari seseorang lain dalam dirinya. Lidahnya memaksa masuk, tangannya menahan kedua pergelangan Antika di atas kepala. Tubuhnya menghimpit rapat, aroma alkohol menyengat di antara napas mereka. Antika menendang, berontak, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Bibirnya diobrak-abrik hingga nyaris kehilangan napas.
“Om… lepasin!” ia berusaha bicara, tapi suaranya tenggelam oleh desah berat pria itu.
Hening hanya sesaat, lalu Napas Nagara memburu di lehernya, berat dan tersengal, membuat bulu kuduk Antika berdiri. Suara perapian berderak, lidah api menari di antara bayangan mereka di dinding. Ciuman itu belum berhenti.