Pemaksaan Pria Berkuasa

1583 Kata
Dengan sekuat tenaga, Antika menendang lutut Nagara hingga pria itu berdesis kesakitan, tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Momen itu cukup untuk membuat tangan Antika terlepas dari cengkeraman. Ia mendorong d**a pria itu sekuat yang ia bisa. “Bajingannnn!” teriaknya marah bercampur takut. PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Nagara, meninggalkan bekas merah. “Om sakit jiwa!” pekiknya lagi, sebelum melangkah cepat keluar dari ruangan itu, napasnya memburu, d**a naik-turun tak karuan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia bahkan hampir tersandung karpet di koridor sebelum akhirnya berhasil mencapai kamarnya. Pintu langsung dikunci rapat, klik! dan ia bersandar di sana, tubuhnya perlahan meluncur ke lantai. Tangannya menutupi wajah yang kini memanas, tapi bukan karena malu. Ketakutan. Jijik. Syok. Semuanya jadi satu. Air matanya nyaris jatuh, tapi Antika buru-buru mengusapnya kasar. Nggak boleh nangis. Jangan kelihatan lemah. Ia meraih ponsel di meja nakas, menekan nama kontak yang paling dirasa bisa memahaminya saat ini. Eyang Ratnawangi. Sekali panggil, tidak diangkat. Dua kali, masih sama. Ketika ia hendak menyerah, suara lembut di seberang sana akhirnya menjawab, terdengar mengantuk. “Halo… Antika, Nak? Sudah malam sekali. Ada apa, sayang?” Antika menelan ludah, mencoba bicara tenang meski suaranya bergetar. “Eyang… aku nggak mau di sini.” “Di mana maksudmu? Di rumah Nagara?” “Iya, Eyang… aku pengen pulang ke Rumah Eyang aja. Aku nggak nyaman di sini.” “Kenapa, sayang? Om-mu sudah menyiapkan semuanya. Kamu tinggal belajar dan dia akan mengarahkan kamu. Apa kamu berantem sama Tante Elise?” Antika menggeleng. “Bukan, Eyang… bukan itu. Om Nagara… dia—” napasnya tercekat. “Dia nyaris nyakitin aku.” “Maksudmu apa?” “Dia mabuk. Waktu aku lewat ruang kerjanya, dia narik aku, terus—” Antika berhenti sejenak, tenggorokannya tercekat. “Dia cium aku, Eyang. Dia melecehkan aku, Eyang. Aku hampir aja terluka karena dia. aku takut banget, untung aku tending dia dan bisa lolos. Kalau enggak, pasti dia melakukan hal yang sangat keji dan buruk sama aku, Eyang.” Keheningan singkat di seberang sana. Hanya suara napas Ratnawangi yang terdengar berat. “Hallo, Eyang?” “Antika…” suaranya pelan tapi mengandung nada marah. “Jangan bicara sembarangan begitu.” “Aku nggak bohong! Aku lihat sendiri dia mabuk! Aku yang mengalami, merasakan bagaimana dia melakukan hal tidak senonoh, terus—” “Cukup!” Suara Ratnawangi meninggi. “Nagara itu anak yang Eyang besarkan. Eyang tahu persis bagaimana wataknya. Dia bukan pria yang akan melakukan hal seperti itu. Eyang berani menitipkan kamu disana supaya kamu bisa dididik dengan benar, bukan menuduhnya seperti ini.” “Menuduh gimana, Eyang? Aku mengalaminya sendi—” “Kamu minum?” potong Ratnawangi cepat. “Kamu minum alkohol lagi ‘kan? Jam segini masih terjaga. Pasti kamu minum dan mabuk ‘kan? Itu sebabnya bicara sembarangan.” “Aku nggak minum, Eyang! Aku cuma pulang dari café sama temen-temen kampus! Aku sadar, aku tahu apa yang aku lihat dan rasain!” “Kamu sadar? Tapi kamu menuduh paman kamu sendiri di tengah malam? Antika, kamu sadar nggak ini sudah hampir dini hari?” Nada suaranya kini tegas dan dingin. “Eyang benar-benar kecewa kalau kamu mulai berani bicara hal-hal tidak pantas begini.” “Aku nggak bohong, Eyang! Demi Tuhan, aku nggak bohong! Aku cuma takut—” “Cukup sudah!” Ratnawangi kini terdengar benar-benar kesal. “Eyang tidak mau dengar omong kosong lagi. Kalau kamu ulangi tuduhan seperti ini, Eyang akan lapor ke Eyang Sura. Kamu tahu sendiri bagaimana dia kalau dengar kamu bicara sembarangan soal Nagara.” “Eyang, tolong dengar dulu, aku—” Tuut… tuut… Sambungan terputus. Antika menatap layar ponselnya, tak percaya. “Eyang…?” bisiknya pelan, tapi tak ada jawaban. Ia menggigit bibirnya keras-keras hingga terasa asin di lidah. Emosi dan ketakutan menumpuk di d**a. “Kenapa nggak ada yang percaya sama gue…” gumamnya lirih. **** Nagara telah kembali dengan kesadaran sepenuhnya. Semua berputar di kepala seperti mimpi buruk yang tak mau usai. Ia telah melampaui batas, melukai seseorang yang seharusnya ia jaga. Pagi harinya, ia mencoba berbicara, namun Antika menghindar tanpa satu kata pun. Tatapan dingin gadis itu cukup membuatnya lumpuh. Namun hari itu berjalan seperti hukuman panjang. Di rektorat yang biasanya menjadi tempatnya berpikir jernih, pikirannya justru berantakan. Lembar-lembar agenda rapat terasa seperti kabur di depan mata. Ia mencoba fokus pada pembahasan kerja sama antar fakultas, namun kalimat para dosen terdengar jauh, nyaris tak bermakna. Sesekali ia menatap layar ponselnya, menunggu balasan yang tak kunjung datang. Sudah berkali-kali ia mengirim pesan, menulis permintaan maaf. Teleponnya pun tak diangkat. Setiap detik hening dari sisi Antika seperti cambuk bagi nuraninya. Sore pun tiba tanpa sedikit pun kelegaan, hanya rasa bersalah yang menumpuk di d**a. “Pak, apa ada masalah? Sepanjang hari ini Bapak tidak konsentrasi sama sekali,” ucap Otto, asisten pribadinya, sambil meletakkan map di atas meja kerja. “Tidak ada apa-apa, Otto. Saya hanya... mungkin merindukan Elise.” “Kalau begitu, saya buatkan kopi hitam seperti biasa, Pak? Atau mungkin mau keluar sebentar, udara di luar lumayan segar sore ini.” Nagara hanya menggeleng. Ia mengalihkan pandangan ke jendela besar yang menampilkan langit Jakarta menjelang senja, jingga pudar dan lampu-lampu kampus mulai menyala satu per satu. “Agenda besok apa saja?” “Hanya satu agenda penting, Pak. Rapat koordinasi dengan pihak yayasan di luar kampus jam sembilan pagi. Sisanya kosong. Mungkin bapak akan masuk kelas?” “Lihat saja besok,” jawab Nagara singkat. Ia mengusap dagunya yang tertutup bulu halus, lalu kembali berkata pelan, “Kamu boleh pulang lebih dulu, Otto. Pastikan semua dokumen untuk rapat besok sudah dikirim malam ini ke email saya.” “Siap, Pak.” Otto menunduk sopan lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan hati-hati. Begitu ruangan kembali sepi, Nagara bersandar di kursinya. Hening. Hanya detik jam dinding yang terdengar. Ia menatap meja di depannya, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah Antika yang memalingkan diri darinya pagi tadi. Bagaimana caranya agar dia mau mendengarkan? pikirnya, hingga tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Ia berdiri, menyambar jas hitamnya yang tergantung di belakang kursi, lalu keluar dari ruang rektorat. Langkahnya cepat, tegap, khas dirinya yang selalu tenang tapi penuh kuasa. Nagara melangkah menuju ke parkiran mahasiswa. Matanya langsung mengenali satu mobil Honda Civic putih. Tanpa ragu, ia mengetuk kaca. Dari dalam, Bima tampak terkejut begitu menyadari siapa yang berdiri di luar. Ia buru-buru keluar, wajahnya sedikit gugup. “Pak Nagara? Astaga, saya kira... ada apa ya,Pak?” “Tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin berbicara dengan Antika nanti saat perjalanan pulang.” Ia mengeluarkan kunci mobil hitam miliknya, Range Rover, dan menyerahkannya ke Bima. “Kamu yang bawa mobil saya.” “Baik, Pak. Saya pamit dulu.” Setelah Bima berlalu, Nagara membuka pintu depan mobil dan duduk di kursi kemudi. Tangannya menggenggam setir, tapi matanya menatap ke arah gerbang fakultas, menunggu. Ia tahu ini bukan cara yang bijak. Tapi ia juga tahu, gadis itu tidak akan pernah mau mendengarkannya jika ia hanya menunggu kesempatan. Jadi, ia akan menciptakan kesempatannya sendiri malam ini juga. Hingga ketika matahari akhirnya benar-benar tenggelam, ia melihatnya. Antika. Gadis itu melangkah santai, masih mengenakan kemeja putih longgar, rok hitam selutut, rambut diikat setengah seperti biasa. Ia berjalan ke arah Civic tanpa menoleh, membuka pintu belakang dan langsung duduk tanpa sadar siapa yang ada di kursi depan. “Ke Baraya Café ya, Mang,” katanya sambil meraih ponselnya. “Kita bicara dulu, Antika. Saya tidak bisa menunggu.” Antika sontak mendongak, menatap ke arah kursi depan. Wajahnya langsung pucat. “Apa-apaan—” Ia buru-buru menarik gagang pintu. Terkunci. “Buka pintunya! Sekarang juga, Om Nagara!” “Tenang dulu. Saya hanya ingin bicara.” “Bicara? Are you insane?” Antika meninju pintu, lalu kaca. “Buka! Sekarang! Aku nggak mau denger apa pun dari kamu!” “Tidak, Antika,” suaranya dalam dan menekan. “Kita akan bicara. Sekali ini saja. Setelah itu kamu boleh benci saya seumur hidup.” “Aku udah benci!” pekik Antika dengan suara bergetar. “Aku benci banget sama Om! Buka pintunya sebelum aku—” “Cukup!” Suara Nagara meninggi sedikit, tapi tetap terkendali. “Saya minta maaf. Saya tahu saya salah. Tapi lari dan berteriak tidak akan menyelesaikan apa pun.” Antika menatapnya tajam dari kursi belakang, wajahnya memerah oleh marah. “You think sorry can fix everything? What you did was disgusting!” “Saya tahu. Kamu berhak marah. Tapi saya juga berhak memperbaiki apa yang sudah saya hancurkan. Jadi tolong... duduk diam, biar saya jelaskan.” “Explain what?!” Antika memukul kaca jendela dengan telapak tangannya. “You crossed the line! You think I’ll just sit here and pretend nothing happened?!” “Saya cuma ingin bicara. Bukan sebagai pamanmu. As a man who made a mistake.” “Kamu melakukan hal menjijikan. Paham?” “Saya sadar penuh sekarang,” ucapnya pelan, tapi mantap. “Dan saya tahu kamu tidak akan mendengarkan kalau saya tidak memaksa sedikit.” Tangannya memutar kunci, mesin mobil menyala dengan dengungan halus. “Mau dibawa kemana aku?” “Tenang, kita pergi ke suatu tempat dimana kita bicara. Saya bersumpah tidak akan melangkahi batas lagi, Antika.” “Kalau Om berani macam-macam, aku jerit!” “Silakan,” jawabnya tenang. “Saya tidak akan menyentuh kamu. Tapi tolong, biarkan saya bicara dulu. Just... listen.” “Fine,” katanya dingin. Dan dengan itu, mobil perlahan keluar dari area kampus. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya ke wajah mereka yang sama-sama menegang dalam diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN