Apa hal yang membuatmu bahagia?
“Mencintaimu.”
Lalu, apa hal yang membuatmu paling sakit?
“Mencintaimu.”
*
Rasa bersalah kian menyeruak setelah kejadian di Apartemen ciuman yang disinyalir salah sasaran. Pasalnya saat itu pikiran Zoya sangat kacau hingga seperti melihat Enzo dalam diri Matthias. Saat ini Zoya seperti sedang memakan buah simalakama, dimana semua hal yang ia lakukan seolah terus-menerus menciptakan goresan luka di hati Matthias.
Apakah Zoya tidak mencoba untuk melupakan Enzo? Sudah, ia sudah berulang kali melakukannya. Sial baginya ketika ia membuang pria itu jauh-jauh dari hati serta pikirannya seluruh hal tentang Enzo semakin menggerus dalam hatinya hingga kepingan-kepingan yang telah coba ia singkirkan seolah kembali utuh.
Atau bahkan semakin kokoh hingga sulit dihancurkan.
Setelah merenung cukup lama Zoya kembali ke kamar. Ia melihat Matthias yang baru saja keluar kamar mandi dengan kimono handuk yang membalut tubuhnya. Keduanya sempat bertemu pandang namun Matthias segera memutuskan tatapan mata itu.
“Aku akan mengantarmu pulang setelah ini, aku ganti baju sebentar,” ucap Matthias singkat. Bergerak ke sisi lemari mengambil pakaiannya.
Zoya bisa melihat mata Matthias yang memerah, ingin mengucapkan maaf tapi rasanya terlalu basi. Sampai kapan ia akan terus meminta maaf? Apakah hubungan yang terus berdampingan dengan rasa maaf ini akan menemukan titik kebahagiaan?
“Jangan masuk ke kamar mandi dulu, belum aku bersihkan.” Matthias kembali berkata saat melihat Zoya hendak masuk ke kamar mandi.
Zoya mengerutkan keningnya, memandang Matthias dengan seksama hingga ia menemukan punggung tangan Matthias memerah seperti berdarah namun sudah tidak mengalir. Zoya menatapnya kaget, buru-buru mendekat meraih tangan pria itu.
“Kak Matty menyakiti diri Kak sendiri?” Zoya menatap pria itu dengan kesal. “Ini pasti sakit, sebentar aku ambilkan obat.” Diraihnya tangan Matthias agar duduk di sofa.
Zoya bergerak cepat membuka lemari di samping ranjang mengambil kotak P3K untuk mengobati tangan Matthias. Pria itu hanya diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya bola matanya yang terus bergulir mengikuti semua gerak tubuh Zoya.
Raut wajah Zoya yang sangat khawatir itu bukan membuat Matthias senang tapi malah semakin emosi. Dalam benaknya Zoya saat ini kemungkinan besar masih menganggap dirinya adalah Enzo. Ketika Zoya hendak memegang tangannya ia langsung menariknya dengan kasar.
“Tangan Kakak sakit,” kata Zoya masih dengan nada khawatirnya.
“Jangan peduli padaku jika pikiranmu aku adalah dia. Ini bukan masalah penting,” tukas Matthias dingin.
“Kak.” Zoya menggigit bibirnya berusaha menjelaskan tapi juga bingung apa yang harus dijelaskan.
Matthias memejamkan mata singkat sebelum akhirnya memeluk Zoya ke dalam pelukannya. Tak ingin amarah itu menjadi bara api yang akan ikut membakar Zoya yang tidak bersalah.
“Pulang dulu ya habis ini, besok kita bicara lagi,” tutur Matthias lembut.
Zoya tidak menjawab atau melakukan apa pun, hanya diam dengan hati yang memaki-maki tak karuan. Mungkin memang mereka berdua perlu waktu untuk ruang hati yang sangat mengganggu itu.
***
Sisa-sisa kehidupan seperti kembali hadir ketika pintu sel dibuka dari luar. Enzo yang sudah sadar dari pingsannya memandang ke arah cahaya yang baru saja masuk bersamaan dengan udara segar yang berhasil ia raih. Ia sudah nyaris mati di dalam sana dan baru dikeluarkan keesokan paginya.
“Tuan.”
Enzo menggertakkan giginya begitu kuat, menepis tangan seorang sipir yang hendak membantunya itu. Ia memilih bangkit meski tertatih-tatih, melangkah keluar dari sel tikus yang begitu menjijikan. Baunya saat ini sudah seperti baru keluar dari kandang ayam. Begitu pun kulitnya yang begitu kotor. Netranya yang tajam sempat melirik sipir itu sebelum akhirnya melangkah pergi.
Suara kebisingan sudah di dengar oleh Enzo, para tahanan sudah sibuk antri makanan. Enzo yang biasanya makan bagian terakhir menyeruak maju, mendorong beberapa tahanan yang ia nilai menganggu.
“s**t!”
Umpatan demi umpatan terdengar namun Enzo hanya memberikan lirikan tajam yang membuat para cecunguk itu diam. Ia mengambil piring, meminta kepada penjaga untuk memberikan nasi yang sangat banyak begitu pun lauknya. Begitu piring ktu sudah terisi penuh ia segera duduk di meja, lagi-lagi mengusir tahanan lainnya yang sudah lebih dulu duduk.
Perut Enzo begitu sakit sekarang, dan untuk pertama kalinya ia merasa begitu menjijikan sekarang. Sebelum makan Enzo sempat melirik ke arah salah seorang sipir dengan postur tubuh yang tinggi tegap, pria itu membuang muka saat Enzo melihatnya. Sesaat kemudian Enzo melihat ke arah CCTV yang terletak pada pojok ruangan.
Enzo memutar posisinya agar menghadap sempurna ke arah CCTV itu. Memandangnya sangat tajam seolah menantang seseorang yang mengawasi di sana. Begitu puas ia langsung makan dengan begitu rakus. Makanan itu tak berasa sama sekali namun perutnya sudah berteriak meminta diisi.
Manusia sampah!
***
Seperti lukisan yang tak utuh, seperti itulah kisah yang telah Zoya alami. Ia seperti hidup dalam dunia yang ramai namun dirinya seperti sepi, dengan rindu yang tak pernah tersampaikan dan luka yang tak akan bisa disembuhkan apalagi disembunyikan.
Setiap hari Zoya seperti melangkah di ladang ranjau yang dimana setiap pijakan yang disentuh kakinya akan menorehkan luka dan menciptakan rasa sakit bagi dirinya sendiri mau pun Matthias. Mau sehati-hati pun dirinya melangkah tetap saja ada rasa sakit yang tercipta.
Semakin lama perasaan Zoya sulit sekali dikendalikan, ia akhirnya mengambil cuti sejenak untuk menenangkan diri. Hatinya benar-benar sedang tidak baik-baik saja sekarang. Ia menghubungi Serena, mengajak wanita itu untuk bermain tenis, berharap hal itu bisa mengusir kegusaran.
30 menit bermain keduanya cukup lelah hingga akhirnya memutuskan istirahat sejenak untuk minum.
“Huah, kacau nih Tantenya Jourell. Staminanya nggak habis-habis,” seloroh Serena.
Zoya hanya tersenyum menanggapinya, ia justru sibuk menatap Serena yang dinilai semakin cantik sekarang. Padahal Serena sudah punya anak umur 2 tahun tapi masih seperti gadis. Serena adalah istri Xander—adik laki-laki satu-satunya Matthias. Wanita itu telah menikah 3 tahun silam dan dikaruniai anak laki-laki yang mempesona.
“Jourell kenapa tidak ikut kak?”
“Jourell itu sekarang lagi seneng banget ikut Neneknya Zoy,” sahut Serena.
“Oh sekarang Tante Kenanga tinggal sama Kakak?”
“Tidak, Mama masih tinggal bersama Matthias. Tapi sekarang kau tahu aku sibuk bekerja begitu pun Xander yang sudah mulai belajar bisnis bersama Matthias, daripada sewa pengasuh Mama Kenanga menawarkan supaya Jourell sama dia aja. Xander bilang tidak apa-apa, biar Mama juga ada kesibukan. Kau tahu sendiri bagaimana Mama setelah Papa Jay pergi,” jelas Serena.
Zoya mengangguk mengiyakan, lagi-lagi memandang Serena yang terlihat sibuk dengan ponsel. Sepertinya wanita itu tengah berkirim pesan dengan sang suami.
“Kak Seren bahagia banget ya sekarang?” ucap Zoya spontan begitu saja.
Serena melirik Zoya sekilas kemudian terkekeh pelan. “Kelihatan banget ya?”
“Ya, Kak Seren bisa hidup dengan pria yang Kakak cintai. Ah aku jadi ingin tahu bagaimana Kakak menaklukkan si kaku itu,” kelakar Zoya masih ingat betapa cueknya Xander jika membahas perasaan.
“Hahaha sekarang dia udah nggak kaku banget sih. Tapi ya emang gitu, mau mengharapkan apa dari Xander?” Serena justru tertawa antara kesal dan juga gemas jika membahas suaminya itu.
Xander benar-benar berbeda dengan Matthias yang hangat. Dia juga tidak pandai menebak apa yang wanita inginkan apalagi mempunyai ide memberikan kejutan. Jika pun Xander ingat hari-hari penting seperti Anniversary pernikahan atau ulang tahun Serena pria itu lebih memilih bertanya meminta kado apa. Serena pun tidak berharap lebih, karena baginya itulah keistimewaan Xander.
“Aku udah capek main kode-kodean sama dia, Zoy. Misal nih Valentine atau hari apa gitu dia pasti lupa kan. Aku langsung aja tuh ngirim foto barang yang aku mau dan kirim ke dia. Bilang aja, aku mau ini, bungkus dan kirim ke kantor,” ucap Serena tertawa kecil mengingat kerandoman yang sering terjadi dalam rumah tangganya.
Senyum itu menular pada Zoya, pastinya ia yang paling tahu bagaimana Serena memendam rasa untuk Xander selama bertahun-tahun. Akhirnya buah dari sabar itu begitu manis. Ia pun pernah bermimpi akan hal itu, mengharapkan Matthias yang ia kagumi diam-diam. Ia sudah pernah mengenggamnya dalam pelukan namun entah kenapa perlahan-lahan rasa itu semakin memudar.
“Kau juga seperti itu kan?”
“Hem?” Zoya bergumam lirih.
“Matthias, kau juga sebentar lagi akan menikah dengannya. Bukankah itu yang kau harapkan dulu?” Serena turut memperhatikan Zoya seksama. Ia tahu wanita yang bersamanya ini telah melalui hal besar yang membuat jati diri Zoya seperti hilang sepenuhnya. Serena nyaris tak mengenali Zoya sekarang.
Tidak ada lagi gadis pemberani yang berbicaranya selalu apa adanya. Gadis manja kesayangan semua keluarga itu seperti kehilangan cahayanya. Serena penasaran kenapa gadis ceria itu menjadi sangat murung?
“Aku pernah bercerita tentang ini 'kan Kak?” Zoya menunjukkan gelang yang ada di tangan sebelah kirinya.
“Kenapa dengan gelang itu?”
Zoya terdiam sejenak. “Kak Seren pasti ingat aku jatuh cinta dengan orang yang memberikan gelang ini. Aku pikir dia Kak Matty, ternyata bukan.”
“Lalu?”
Zoya menatap Serena dengan sendu lalu menunduk kembali. “Kak Seren pasti tahu, pria yang memberikannya adalah Vicenzo musuh keluarga kita.”
Serena mengangguk pelan, untuk masalah tentang Enzo ia pasti sangat paham karena masalah itu sudah pernah dibahas. Terakhir kali ia hanya ingat perang darah yang membuat Enzo tumbang, setelah itu ia tidak pernah tahu kabarnya lagi.
“Dan ternyata kau jatuh cinta padanya begitu?”
Zoya tidak menjawab namun Serena sudah mendapatkan jawabannya. Wanita itu diam, seperti berperang dengan pemikirannya sendiri.
“Aku sudah berusaha menerima Kak Matty lagi seperti dulu aku mengaguminya tapi aku tidak bisa menghapus nama Enzo padahal aku tahu dia sudah tidak ada lagi. Kak Seren, aku bingung sekarang .... ” Zoya tak bisa menahan perasaan itu, ia memeluk Serena dan meluapkan tangisnya dalam pelukan Serena. “Aku terus menyakiti Kak Matty, aku jahat Kak. Aku wanita yang jahat ... ”
“Ssssh jangan berkata seperti itu.” Serena mengelus punggung Zoya berharap bisa memenangkan.
“Aku harus apa Kak? Aku tidak mau Kak Matty semakin terluka,” ucap Zoya dengan isak tangis yang menyesakkan.
“Em, aku tidak tahu ini benar atau tidak. Saat dua orang yang tidak pernah bertemu namun selalu terikat itu karena salah satu di antara mereka masih sangat berharap.” Serena berbicara pelan, menyusun kata agar Zoya mencerna baik ucapannya. “Jika mungkin seperti itu, coba jangan pernah lagi semogakan harapan yang ada di hatimu.”
Zoya mengangkat pandangan seraya menggeleng pelan.
“Maksudku mungkin kau bisa membuang semua hal yang berkaitan dengan dia, Zoya. Itu memang menyakitkan dan mungkin juga akan sangat sulit.Sekarang jika kau memang ingin hidup dengan Matthias, bereskan urusanmu dengan dia. Jangan berdiri di tengah-tengah karena itu hanya akan menyiksamu dan juga dirinya.”
"Seperti dadu yang dilempar, hasilnya tak terduga. Tapi, meski naik turun, langkah harus terus maju. Cinta butuh pengorbanan total, tak ada setengah-setengah."
Bersambung~