Bab 11. Hi Heart, How Are You?

1134 Kata
Zoya belum mengucapkan apa pun namun Matthias sudah lebih dulu menundukkan wajahnya. Ia reflek menahan bahu pria itu, beberapa detik setelahnya terdengar kekehan yang membuat ia membuka mata lebar-lebar. Ia kaget melihat Matthias yang tersenyum, tertawa malahan. Kenapa dia malah tertawa? Matthias masih tertawa kecil seraya mencubit pipi Zoya seolah sangat gemas. “Kau seperti orang yang baru mengenalku, Ndut. Kenapa kau jadi kaku seperti ini?” celetuk Matthias. “Ah sudah, kau belum makan apa pun sejak tadi. Aku akan menyiapkan air hangat untukmu, mandilah. Aku akan menyiapkan makanannya,” ujar Matthias menggulingkan tubuhnya yang semula menindih Zoya. Zoya melirik Matthias di sampingnya, ia mengulum bibir seraya menghembuskan napas lega karena tadi sudah berpikir jika Matthias akan bertindak lebih. Ia tahu itu wajar saja mengingat hubungan mereka, namun hatinya seperti enggan dan tak ingin membuat Matthias kecewa anak hal itu. “Ehm, Kak.” Zoya menahan tangan Matthias saat pria itu akan beranjak. “Kenapa, Ndut?” “Tidak perlu menyiapkan air untukku. Aku akan melakukannya sendiri, Kak Matty juga pasti lelah 'kan?” Matthias menyeringai, kembali mengusap pipi Zoya perlahan. “Lelahku bukan berarti akan mengabaikan wanitaku. Duduk saja disitu, aku siapkan airnya.” Zoya mengulum bibirnya karena sikap Matthias yang begitu manis. Ah pemikirannya selama ini mungkin terlalu jauh. Matthias memang pria yang manis dan hangat sejak dulu. Siapa pun yang menjadi pendampingnya pasti merasa sangat beruntung. Dan orang yang mengabaikan kebaikan Matthias adalah orang yang tidak tahu diri. Termasuk dirinya. Helaan napas Zoya terasa berat, ia mengingat kembali dengan mimpi yang tadi sempat hadir. Entah ia yang memang sedang berusaha menekan sehingga perasaan itu kembali muncul. Namun nestapa rindu dalam hatinya tak bisa dibohongi, ia menginginkan pria yang tak disampingnya. “Airnya sudah siap, Ndut. Bersihkan dirimu, ini sudah hampir pagi.” Suara Matthias membuat Zoya keluar dari lamunannya. Ia mengiyakan tanpa banyak bicara, sempat melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 2 pagi. Sebelum pergi ke kamar mandi Zoya sempat melihat ponsel yang tidak ada notifikasi apa pun. “Aneh, kenapa Ayah tidak mencariku?” Zoya mengernyit, heran juga kenapa Ayahnya yang amat protektif bisa membiarkan Matthias bebas membawanya ke Penthouse? Zoya mengerutkan bibirnya lalu menggeleng pelan. Tak ingin banyak berpikir juga karena tubuhnya sudah sangat lelah. Segera membersihkan diri untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Tak sampai 30 menit Zoya sudah selesai dengan aktivitasnya. Ia memakai kaos kedodoran milik Matthias lalu menyusul pria itu yang ada di dapur. Ia melihat Matthias tengah sibuk di meja bar, menata mie instan yang baru dimasak. Akan tetapi pria itu juga menerima telepon. Zoya menghentikan langkahnya sejenak, memandang Matthias yang dengan telaten menyiapkan makanan untuknya. Di jam segini seharusnya pria itu tidur karena besok bekerja, tetapi Matthias malah sibuk mengurus dirinya. Zoya yakin tidak akan ada pria seindah ini di belahan bumi mana pun dan seharusnya ia bersyukur bisa memilikinya. Namun, kenapa hatinya terus memikirkan pria lain? Zoya belum ingin mendekat karena pikiran dan hatinya sangat kalut tiba-tiba. Ada rasa rindu yang sulit sekali ia tahan. Dan entah kenapa ia seperti melihat Enzo di sana, pria itu sedang menatapnya dengan senyum tipis yang khas. “Enzo,” lirih Zoya yang perlahan mengulas senyum saat bisa melihat sosok yang ia rindukan. “Sudah selesai, Ndut? Kemarilah.” Matthias yang menyadari kedatangan Zoya segera memanggil wanita itu. Zoya mendengarnya namun yang ia lihat malah Enzo yang memanggil namanya seperti biasa. Perlahan langkah kakinya mendekat, sedikit terburu-buru malahan. Mendekat ke arah Matthias yang ia lihat sebagai Enzo. Tanpa peringatan ia memeluk pria itu sangat erat serta menciumi dadanya berkali-kali. Matthias yang melihat sikap Zoya kaget pastinya. Ia meletakan teflon yang ia pegang lalu mengelus rambut Zoya lembut. “Apa ini, Ndut?” Matthias tertawa kecil, merasa senang Zoya kembali bermanja padanya. Zoya tidak menjawab apa pun, hanya mengeratkan pelukannya pada tubuh tegap yang sangat ia rindukan. Sudut matanya perlahan basah, mengingat pelukan erat yang terakhir kali Enzo berikan 4 tahun lalu. Zoya memeluk tubuh itu lagi, lebih erat tanpa ingin dilepas. “Aku merindukanmu,” bisik Zoya, tercekat suaranya karena perasaan haru yang tak terkira. Matthias yang tidak tahu apa yang dipikirkan Zoya semakin senang, membalas pelukan Zoya lebih erat lagi hingga kedua kaki wanita itu sedikit terangkat. Ia menunduk mencium rambut wanita itu seraya balas berbisik. “Aku juga merindukanmu, Cassandra.” Begitu yang didengar oleh Zoya hingga wanita itu mengangkat pandang. Air mata Zoya sudah berjatuhan, memandang Enzo dengan perasaan yang tak karu-karuan. Tanpa menunggu lagi ia segera mendekatkan wajahnya, menjinjit mencium bibir Matthias yang ia kira Enzo sangat dalam. Kedua tangannya memeluk tubuh itu semakin erat, meluapkan rasa rindu yang menggila setiap saat. Matthias cukup kaget dengan sikap Zoya kali ini. Ciuman itu sangat agresif dan menuntut, ia sempat bingung kenapa Zoya menangis berusaha menahan bahu wanita itu namun Zoya menggigit bibirnya seolah memanggil agar ia segera membalasnya. Matthias memegang kedua sisi kepala Zoya, menyusupkan lidah hingga ciuman itu semakin intim. Zoya mungkin benar-benar sudah gila sekarang, ia seperti sedang bersama Enzo saat ini. Saling berpelukan serta berbagi napas bersama. Saling meluapkan rasa dengan ciuman erotis yang begitu panas. Kedua tangan Zoya tanpa sadar menarik kemeja Matthias hingga beberapa kancingnya lepas, mencengkram d**a hangat pria itu. Matthias mendesah disela-sela ciumannya, kini pikirannya semakin liar. Ia memeluk pinggang Zoya semakin kuat lalu mengangkat wanita itu ke atas meja yang cukup tinggi. Di saat itu ciuman harus terhenti sejenak untuk mengambil napas. Ketika Zoya membuka matanya ia kaget sekali saat melihat wajah Matthias yang ada di depannya. “Kak Matty!” seru Zoya benar-benar syok, ia memejamkan matanya sekali lalu membukanya lagi. Di detik itulah ia sadar jika ia ternyata hanya berhalusinasi Enzo telah kembali. Matthias tersenyum tipis, sedikit sinis malahan. Mulai paham alasan Zoya jadi agresif dan menangis seperti tadi. Ia menegakkan tubuhnya lalu menjauh. “Makanlah, Ndut. Aku akan mandi dulu,” ujar Matthias singkat dengan ekspresi dingin yang mengantarkan. Zoya hanya mengangguk tanpa suara, menunggu sampai Matthias pergi lalu mengambil mie instan yang telah dimasak. Zoya buru-buru memakannya tanpa mempedulikan itu panas, rasa sesak kembali hadir tanpa ingin menunda-nunda lagi. Ternyata ia memang tidak bisa berpura-pura lagi. “Enzo kenapa kau harus menjeratku seperti ini? Aku harus apa? Aku melukainya sekarang ... tolong keluarlah dari pikiranku!” jerit hati Zoya begitu frustasi dengan dilema cinta yang menjerat hatinya sekarang. * Matthias membanting pintu kamar mandi dengan keras, tanpa mengatakan apa pun ia memukul kaca wastafel di sana hingga pecah dan retakannya membuat tangan berdarah. Mata hazel itu kini memancarkan amarah yang tak bisa ditutupi, giginya gemeletuk memahan amarah yang mendidih. Matthias menatap pantulan wajanya pada cermin yang retak itu. Ia tersenyum sinis lalu memukulnya sekali lagi dengan kekuatan yang jauh lebih keras dari sebelumnya. Sekarang rasa cinta yang menjeratnya benar-benar telah menjelma menjadi dua mata pisau. Sisi mana saja yang ia genggam akan sama-sama melukainya. “b******k!” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN