Bab 2. Jawab Pertanyaanku!

1146 Kata
Pertanyaan itu berhasil membuat Zoya memaku untuk sepersekian detik. Bisa dilihat guratan amarah sekaligus lelah dari sorot mata Matthias yang ada di depannya. Ia mengerti, pria ini sudah menunggunya dari pagi pastinya rasa lelahnya sendiri tak main-main. Meskipun itu bukan salahnya sepenuhnya tetapi ia tidak bisa mengabaikan begitu saja usaha pria ini. “Aku jalan-jalan bersama temanku, Kak. Aku juga sengaja ingin memberi kejutan kepada Ayah dan Ibu," jawab Zoya pada akhirnya. Matthias tertawa kecil tanpa sadar mengumpat dalam hatinya karena ia tahu jawaban itu bukan jawaban yang jujur. “Teman yang mana? 4 tahun kau baru kembali dan kau langsung pergi bersama temanmu sampai selarut ini?" Zoya mendesis pelan dengan ekspresi yang semakin tak nyaman. Perasaannya saja atau memang Matthias menjadi lebih protektif padanya? “Apa semua yang aku lakukan harus aku laporkan kepada Kak Matty?” tukas Zoya datar tanpa ekspresi. “Belum juga menikah tapi Kak Matty sudah mengaturku seperti ini? s**t!” Zoya mengumpat kasar. Sikap Zoya kali ini jelas membuat Matthias semakin terbakar emosi. Kenapa Zoya malah yang marah? Seharusnya ia yang marah karena wanita itu pergi kelayapan tidak jelas sementara ia sibuk memikirkan kejutan. 4 tahun penantian justru disambut hal menjengkelkan seperti ini? “s**t? Kau mengumpat, Ndut?” Zoya memejamkan mata singkat, fisik dan hatinya sedang tidak baik-baik saja membuat ia menjadi emosional seperti ini. Perlahan ia meraih tangan Matthias untuk digenggam. “Kita bicara besok ya, Kak. Aku benar-benar lelah malam ini, ayo masuk.” Zoya menyudahi perdebatan itu, merasa tak enak juga karena setelah berpisah 4 tahun lamanya bertemu pertama kali justru bertengkar. “Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjawab dari mana kau pulang selarut ini!” Matthias sendiri sudah benar-benar geram langsung mencengkram pergelangan tangan Zoya dan menariknya cukup kuat. Secara tak sengaja gelang yang selama ini terus dipakai Zoya justru putus hingga berlian yang tersemat jatuh dan gelang itu terlepas begitu saja. Akan tetapi ada hal yang lebih mengejutkan, dibalik gelang itu terukir tato nama pria yang bisa dibaca jelas oleh Matthias. Vicenzo. Zoya tersentak dengan mata membulat, ia menatap gelangnya yang jatuh berhamburan hingga tak memikirkan pandangan Matthias. Amarah yang semula sudah mengendap kian menjadi-jadi melihat gelang pemberian Enzo malah rusak. Ia buru-buru menunduk mengambil gelang itu, tetapi berlian yang lain entah jatuh ke mana. “Dimana? Dimana jatuhnya?” Zoya begitu panik, ia meraba-raba lantai untuk mencari berlian itu. Satu-satunya benda pemberian Enzo yang sangat bermakna hilang membuat hatinya terasa sakit karenanya. Matthias tersenyum miris dengan kedua tangan yang mengepal. Kini ia tahu jawabannya kenapa selama 4 tahun Zoya sering menghindar, ternyata ada pria lain yang wanita ini pikirkan. “Berdiri Zoya!” titah Matthias melupakan panggilan kesayangannya pada wanita itu. Mata hazelnya tampak memerah penuh amarah. Zoya tidak menghiraukannya, ia tetap mencari berlian dari gelang itu sepeti orang gila. Meraba kesana kemari soalnya tak ia temukan. Zoya histeris sendiri, terus bergumam-gumam dan terus mencari hingga akhirnya ia melihat berlian itu ada di bawah kursi. Zoya hendak mengambilnya akan tetapi tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh Matthias hingga berdiri. “Kak Matty!” bentak Zoya dengan tatapan nyalang. “Yang perlu kau pikirkan itu aku, bukan gelang itu! Zoya, sadarlah aku menunggumu!” Matthias tak tahan untuk tidak membentak, ia mencengkram kedua lengan Zoya begitu kuat dan berbicara tepat di depan wajah Zoya. Zoya semakin kaget hingga tubuhnya terjingkat, mata tajamnya perlahan berkaca-kaca melihat sikap Matthias ini. Seharusnya Matthias tahu ia sangat benci dibentak, kenapa Matthias malah melakukannya? Matthias mengertakkan giginya sangat kuat terus menatap Zoya dengan tatapan penuh intimidasi seolah memperingatkan jika Zoya tidak bisa macam-macam. “Matthias, Zoya. Kenapa tidak masuk dulu?” Tatapan mata itu akhirnya harus terputus saat Nindy datang ke ruang tamu. Matthias segera melepaskan Zoya yang langsung membuang muka. Pria itu mengulas senyum canggung. “Ya Tante, ini mau masuk. Ayo, Ndut.” Matthias segera meraih pinggang Zoya begitu erat hingga merapat pada tubuhnya. Zoya berusaha melepaskan diri sialnya Matthias justru mencengkram pinggangnya semakin kuat seolah ingin diremukkan oleh tangan besar itu. Ia menatap Matthias lagi, mata hazelnya yang bisa terus menatap teduh kini benar-benar menyiratkan amarah yang luar biasa. Ia kalah dan tidak bisa melakukan apa pun. Sebelum tubuh Zoya benar-benar lenyap ia memandang ke arah kursi ruang tamunya, ia harus segera mengambil berlian itu nanti. *** Zoya terbangun saat merasakan sentuhan lembut pada pipinya. Ia mengernyit membuka matanya lebih lebar. Sedetik kemudian ia langsung duduk saat melihat sosok Matthias sudah duduk di sana. Ia melirik sekelilingnya yang berada di kamar. “Kenapa Kak Matty ada di sini?” batin Zoya penuh tanya. Matthias tersenyum lembut melihat kebingungan Zoya. Ia memperhatikan wajah cantik Zoya yang sangat cantik ketika bangun tidur. Kini pipi bulatnya sudah tidak ada namun Zoya justru terlihat semakin dewasa. Rambutnya panjang kecoklatan dengan bibir mungil yang menggoda. Matthias mengusap rambut wanita itu perlahan. “Kau pasti bingung aku datang pagi sekali 'kan? Matahari cukup bagus, ayo jogging bersama. Kau sudah lama tidak melihat Jakarta," ujar Matthias lembut. Zoya mengernyit, malah merasa aneh karena Matthias bersikap biasa saja setelah perdebatan tadi malam. Ia saja masih kesal karena Matthias memutuskan gelang pemberian Enzo, untung saja berliannya ketemu. Zoya akan membenarkannya nanti jika ada waktu. “Yang semalam aku minta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Maafkan aku, Ndut.” Diraihnya tangan Zoya lalu digenggam lalu diletakkan pada pipi. “Aku sudah menunggumu sangat lama, aku menjadi lebih emosional sekarang. Maafkan aku ya,” ucapnya lagi. Zoya memperhatikan mata Matthias dengan seksama lalu menghela napas panjang. Ia pun sadar jika dirinya salah karena terlalu emosional. “Aku juga salah, aku minta maaf, Kak.” Matthias tersenyum tipis, meraih dagu Zoya agar mendongak lalu mendekatkan wajahnya. Zoya sontak langsung memejamkan mata karena berpikir Matthias akan menciumnya tapi ternyata salah. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Sekarang bersiaplah Nona cantik, aku perlu menunjukkan kepada dunia jika bahagiaku sudah kembali,” kata Matthias lembut, matanya begitu dekat dengan mata Zoya yang terpaku karenanya. “Aku tunggu di luar ya,” ucapnya lagi sebelum akhirnya mencium pipi Zoya lalu bangkit meninggalkan kamar. Zoya duduk termenung memegang pipinya yang baru saja dicium oleh Matthias. Ia kemudian menunduk, meraba pergelangan tangannya yang terukir tato nama Enzo. Tak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan hingga membuat tato itu, ia merasa benar-benar tak bisa melupakan Enzo begitu saja. Sedangkan ada Matthias yang sudah menunggunya. “Apakah sekarang aku menjadi serakah?” *** Zoya sudah siap dengan pakaian olahraga yang berupa kaos dan rok pendek setengah paha. Tak lupa topi di kepala ia pakai, tak sengaja juga baju yang dikenakan ternyata senada dengan Matthias. Pria itu kini sudah duduk di ruang makan bersama Ayah dan Ibunya. Sementara Kakaknya sendiri sudah 6 bulan terakhir menetap di Bali karena Ibu mertuanya yang kerap sakit-sakitan. Zoya melangkah pelan mendekat ke meja makan. Ia baru saja mendudukkan tubuh di samping Matthias ketika suara Ayahnya terdengar. “Pernikahannya akan Ayah ajukan, mungkin 2 bulan lagi.” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN