Bab 3. Menekan Ego

1117 Kata
“Tidak bisa.” Zoya segera menyuarakan penolakan gamblang akan usulan yang diberikan Ayahnya barusan. Kini semua pasang mata tengah menatap ke arahnya dan Zoya tak peduli akan hal itu. Ia menantang balik tatapan mata Ayahnya tak kalah tajam. “Kenapa? Bukannya mau maju atau mundur sama saja akhirnya? Kalian akan menikah,” ujar Ethan menatap putrinya tak mengerti. “Yang ingin menikah aku dan Kak Matty, bisakah kami membicarakan ini berdua nanti?” sahut Zoya segera, pandangannya beralih pada Matthias yang duduk tepat di hadapannya. “Lagipula aku baru kembali, cita-citaku masih belum aku tuntaskan. Bukankah Ayah dan Ibu ingin melihat aku jadi Dokter?” imbuhnya memberikan alasan yang paling masuk akal. “Maksudmu kau ingin menyuruh Matthias menunggu lagi?” Raut wajah Ethan seketika berubah mengeras. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Zoya menundukkan wajah dengan kedua tangan yang mengepal. Ingin rasanya ia berteriak jika ia tidak pernah meminta Matthias untuk menunggunya. Sayang ia kembali menjadi pengecut yang hanya bisa berpangku tangan tanpa berani melewati garis takdir. Mungkin ia pun akan berakhir kalah kembali. “Ehm Om, menurutku Zoya ada benarnya. Akan lebih baik kalau Zoya bisa meraih cita-citanya,” tutur Matthias akhirnya segera mengambil keputusan. Ikut menekan perasaan kecewa saat tahu penolakan tersirat dari Zoya. “Mungkin dia masih perlu waktu,” batin Matthias. “Wah sebentar lagi mau dipanggil Bu Dokter. Selamat ya, Ndut. Hadiah spesial buat ulang tahun besok nih,” ujar Matthias mengulas senyum manis, berusaha mengusir kecanggungan. Zoya membalas senyum itu dengan perasaan yang semakin tak enak. Sepertinya lagi-lagi sikapnya sangat mengecewakan. Zoya juga sangat benci akan hal ini. *** Seusai sarapan, Matthias dan Zoya pergi untuk jogging bersama di daerah sekitar Stadion. Belum ada obrolan sama sekali antara keduanya karena sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hanya Zoya yang sesekali melirik ke arah Matthias, pria itu benar-benar diam saja membuat Zoya bingung. “Aku tidak marah, Ndut.” Matthias berbicara tanpa menoleh, memelankan langkahnya agar bisa berbicara nyaman. Zoya tidak menyahut, memejamkan mata sebelum akhirnya meraih tangan Matthias untuk digenggam. Kali ini Matthias menoleh ke arahnya dengan tatapan teduhnya yang selalu membuat Zoya kian merasa bersalah. “Kita memang perlu membicarakan ini dulu bukan? Aku baru datang, belum juga mendapatkan pekerjaan seperti cita-citaku,” ujar Zoya. Matthias memutar tubuhnya ke arah Zoya, meraih kedua lengan wanita itu agar menatap ke arahnya. “Aku juga bilang seperti itu 'kan? Fokus saja dengan apa yang kau inginkan.” Suara lembut Matthias semakin membuat Zoya merasa bersalah. Sering kali ia memikirkan pria ini, bukan sebagai pria yang akan menjadi luka terbesarnya lagi tetapi ia yang takut ingin memberikan luka jika hatinya terus ragu seperti ini. Ia tahu Enzo tak akan bisa bersamanya mau sampai kapan pun, sedangkan ia harus terus melanjutkan hidup demi orang-orang yang menyayanginya.. Kini melihat Matthias yang sengaja mengalah dan tidak membahas lagi masalah tato serta sikapnya semalam membuat Zoya kian dilanda rasa sakit yang luar biasa. Takut, Zoya benar-benar takut akan melukai pria sempurna ini. “Besok aku akan mencoba memasukan persyaratan di rumah sakit Cipta Kusuma. Mau menemani?" ajak Zoya mencoba menekan sifat kekanak-kanakan dalam dirinya. “Pertanyaan bodoh itu, tentu saja aku yang harus menemani,” sahut Matthias masih dengan senyum manisnya. Ia sedikit menekuk lututnya hingga wajahnya satu garis dengan Zoya. “Aku akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat jika kau diterima di sana. Semangat calon Dokter,” ucapnya mengusap-usap lembut pipi Zoya. Senyuman Matthias itu menular untuk Zoya, secara naluri ia mendekat memeluk Matthias dengan hangat. Mengesampingkan perasaan demi menghargai semua ketulusan pria ini. Matthias mengelus punggung Zoya lembut, senyum yang tadi begitu tulus berganti senyum miris. Ia menunduk mencium rambut Zoya penuh kasih, ikut menekan perasaan menganggu saat sadar aja nama pria lain yang menetap di hati wanitanya. “Selagi dia masih milikku, aku yang paling berhak untuk membuatnya tersenyum. Bukan dia,” batin Matthias kembali meyakinkan dirinya jika Enzo tidak akan merubah apa pun. Toh sudah meninggal juga, pria itu hanya hidup dalam kenangan Zoya. “Ah kau menggodaku sekarang. Tidak jadi jogging nanti,” ucap Mathias mengurai pelukannya. “Menggoda? Yang seperti ini baru menggoda, Kak!” Zoya tiba-tiba menjinjit lalu mencium pipi Matthias. Ia tersenyum puas melihat wajah kaget Matthias. “Tidak akan aku biarkan lolos.” Matthias hendak memeluk Zoya lagi namun wanita itu malah berlari menjauh. Zoya tergelak penuh tawa, melirik Matthias dengan mata indahnya. Matthias kembali mengulas senyum, mempercepat langkahnya hingga bisa memeluk Zoya dari belakang. “Jangan macam-macam, Ndut. Aku sudah menahan rindu selama 4 tahun,” kata Matthias tak henti menciumi kepala Zoya dari belakang. “Mau apa memangnya?” Zoya melirik Matthias dengan tatapan sok polos. “Apa saja boleh.” Matthias menunduk memandang mata Zoya cukup tajam. Zoya jelas paham maksudnya, ia segera mendorong wajah Matthias lalu melepaskan dirinya. Lebih memilih menggandeng tangan pria itu lalu mengajaknya berjalan kembali menikmati waktu sebelum matahari semakin memanas. “Rindunya nanti saja, sekarang aku ingin yang lain,” kata Zoya. Matthias menurut saja, baginya sudah cukup bisa membuat Zoya nyaman lagi bersamanya. Ia masih yakin masih ada cinta untuknya dalam hati wanita itu. Matthias hanya perlu memupuknya lagi kembali subur kembali. Saat berjalan Matthias tidak sengaja melihat penjual gelembung sabun. Ia menghentikan langkahnya membuat Zoya menoleh. “Kenapa, Kak?” “Sebentar.” Matthias beranjak untuk membeli gelembung sabun yang dilihat. Bentuknya seperti kamera tapi ketika dipencet akan mengeluarkan gelembung sabun. Setelah membayar Matthias membawanya mendekat kepada Zoya. Zoya mengerutkan dahi begitu melihat apa yang dibeli Matthias. Menatapnya dengan tatapan heran. “Apa ini, Kak?” Bukannya menjawab Matthias justru menekan tombol pada kamera itu hingga gelembung sabunnya keluar mengenai wajah Zoya. Secara otomatis senyum simpul terbit di bibir wanita itu. “Ah curang, aku akan membelinya juga.” Zoya ikut-ikutan membeli, ia memilih yang model pistol dan balas mengarahkan gelembung sabunnya pada Matthias. “Hahaha rasakan ini, rasakan!” seru Zoya tertawa puas seraya terus menekan pistol mainannya. “Kalau begini aku yang kalah, Ndut.” Senyum Matthias begitu lebar, rasanya ikut bahagia bisa melihat Zoya kembali ceria. “Belum apa-apa malah menyerah, rasakan ini.” Zoya terus menyerang Matthias dengan gelembung sabunnya. “Menyerah? Tentu saja tidak!” Matthias membalasnya, saling serang dengan gelembung sabun dan saling mengejar. Sesekali Zoya kalah langkah dari Matthias hingga ia yang terus terkena serangan. Mereka seolah lupa akan kerenggangan yang sebelumnya ada. Senyum dan tawa menemani keduanya, menciptakan debar yang sebelumnya nyaris hilang. Dari samping Matthias memandang Zoya yang kini tertawa lepas. Tak bisa dipungkiri hatinya jauh lebih bahagia ketika melihat wanita itu tersenyum ceria kembali. “Aku terlalu mabuk akan kebersamaan kita namun aku lupa jika memberikanmu kebebasan juga bagian dari mencintaimu,” batin Matthias seraya terus memandang wajah cantik Zoya dengan tatapan teduh. Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN