Hentikan!

1141 Kata
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun. Ia berusaha menormalkan keterkejutan. “Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?” Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar. Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi. Sesak d**a Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada. Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikirkannya sampai stres sendiri. “Aku harus apa?” Saat bersamaan, ponselnya berdering. Agung menelepon. Nawa mengabaikannya sampai ponsel itu diam sendiri. “Aku nggak pantes buat kamu, Mas. Nggak pantes. Aku ini kotor, pendosa. Apa kuakhiri saja hidupku yang nggak guna ini?” Nawa berjalan menuju kamar mandi, lalu melihat cairan pembersih lantai. Isak tangisnya masih terdengar. Dengan tangan gemetar dan tubuh penuh peluh, wanita itu membuka cairan itu dan mengarahkan pada mulutnya. Ia berpikir sebentar, lalu menaruh kembali cairan tersebut. Beberapa lama kemudian, Nawa kembali dengan membawa ponsel. Ia merekam suaranya. “Bapak, maafkan aku karena nggak bisa menjaga diri, nggak bisa menjaga kesucian, mengecewakan bapak. Aku telah berz*na, Pak. Dan itu bukan karena dipaksa, tapi entah kenapa saat itu tubuhku rasanya aneh. Aku nggak bisa mengendalikan diri. Saat itu dadaku sesak, rasanya panas. Maaf, Pak. Maaf. Mas Agung, maaf. Aku wanita kotor yang nggak pantes buat kamu. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan. Mas Agung berhak mendapat wanita yang lebih baik dariku.” Nawa mengucapkan tiap kalimatnya dengan terisak-isak, lalu mematikan rekaman setelah dirasa cukup. Pria asing yang pernah tidur dengannya itu mungkin ada di sekitarnya. Sampai-sampai berani mengirim paket itu. Nawa takut pria itu sewaktu-waktu muncul dan menyebarkan perz*naan mereka. Wanita itu terpejam, lalu mulai mengarahkan cairan pembersih lantai itu ke mulutnya sambil menutup mata. Sementara di sebuah rumah mewah, Brama ditelepon anak buahnya. Rumah itu baru dibeli untuk memudahkan kinerja selama ada di Gresik. “Sir, paket yang Sir berikan dibuang. Wanita itu terlihat ketakutan.” “Pantau terus dia.” “Siap, Sir.” Brama mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. Ia tertawa. “Mungkin aku terlalu frontal. Langsung memberinya testpa*k dan dia pasti tahu itu dariku.” Pria berwajah oriental yang memiliki mata biru itu lantas menggeleng kecil. “Sepertinya aku benar-benar sudah gila.” Brama berjalan menuju balkon. Ingatannya mundur sedikit ke belakang. Pria itu bukan player yang suka mengajak wanita menghabiskan malam bersama. Walaupun bukan pria yang taat agama, ia paling menghindari s*ks bebas. Semata-mata demi kesehatannya. Brama pernah kecolongan saat mabuk berat. Sekali ia pernah melakukan dengan Elea. Beruntung Elea tidak sampai hamil. Untuk itulah sejak saat itu, Brama tidak pernah lagi mabuk berat sampai tidak ingat apa-apa. Ketika melakukan bersama Nawa, dilakukan dengan kesadaran. Ia telah mengoyak kegadisan wanita itu. Baru kemarin malam Brama tahu kalau ternyata Elea tidak setia pada satu pria. Bisa jadi wanita itu memakai pengaman hingga tidak ada klaim hamil dari wanita tersebut. Wajar, Elea seorang artis. “Nawa, Nawa, Nawa. Entah mengapa aku merasa bersalah padamu.” Di belahan Indonesia timur, seorang pria tidak kalah cemas saat pesan dan teleponnya diabaikan oleh Nawa. Ia sedang berganti sif dengan rekannya menjaga daerah rawan konflik tersebut. “Paket apa? Aku nggak ngirim paket padahal,” gumam Agung sambil membalas pesan sang pujaan hati. “Hapean terus!” seru rekan Agung. Agung hanya tertawa. “Hanya sedang mengkhawatirkan seseorang.” “Pacar?” “Insyaallah calon suami. Semoga saja bisa pulang dengan selamat. Dua tahun tugas di perbatasan ini, Bro. Kangen sama suasana tenang di rumah.” “Aamiin, semoga dipermudah. Pekerjaan kita memang penuh risiko, Bray. Kita dan orang terdekat kita harus siap dengan kemungkinan terburuk. Dan orang yang masih setia di samping kita, mereka hebat.” Agung mengangguk. Ia tersenyum saat mengingat bagaimana hubungannya dan Nawa terbentuk dengan tidak sengaja. Hubungan tanpa panggilan sayang atau hal lebay lainnya. Nawa yang tidak mau dipanggil sayang dan tidak menuntut banyak hal darinya. Mereka berhubungan hanya lewat maya dan hanya sesekali bertatap muka. “Ya sudah, ayo kembali ke barak.” Keduanya lantas menuju barak untuk beristirahat. Tiba di barak, tanpa membuang waktu, Agung kembali menghubungi Nawa. Tetap tidak diangkat. “Hanya sebulan lagi. Aku akan menyiapkan pernikahan tanpa sepengetahuannya. Biarkan dia mengira hanya lamaran, padahal orang rumah sudah mengatur semuanya. Nawa, bersabarlah dan tunggu aku pulang.” Nawa, wanita beruntung yang sore itu tengah dipikirkan dua pria tampan dengan karakter berbeda. Agung, seorang abdi negara yang tegas dan tidak bisa berbasa-basi. Namun, jika menyangkut Nawa akan berbeda. Ia menjelma menjadi pria sabar, ngemong, dan mengalah. Brama, seorang pengusaha muda kaya raya yang dingin dan sedikit sombong. Meskipun dalam misi penyamaran, ia tetap tidak suka ditindas. Pria yang merenggut kesucian Nawa ini terus memikirkan wanita itu. Seperti ada magnet yang terus menariknya. Atau mungkin hanya rasa bersalah? Sementara Nawa sendiri justru sedang berjuang mengakhiri hidup karena noda yang telah tertoreh di tubuhnya. ** “Sampai pagi ini, target tidak keluar kamar kos-kosan, Sir.” Pesan dari anak buahnya, membuat Brama yang tengah menyulap wajahnya menjadi buruk rupa dirundung resah. “Menyesal sudah mengiriminya paket itu. Aku akan mendekatinya secara natural saja,” gumam Brama sambil memasang tompel di pipi. “Kalau sampai siang tetap nggak keluar, ketuk pintunya. Kalau tetap nggak keluar, ajak orang mendobrak pintu kos-kosannya.” Brama membalas. Setelah siap, Brama mengendarai sepeda motor jadulnya menuju kantor. Baru sehari bekerja di perusahaan sendiri, sudah banyak bukti yang didapat atas penggelapan dana. Arbi juga belum terlihat di kantor. Akan dikumpulkan bukti lebih banyak lagi. Jarak antara rumah dan kantor tidak terlalu jauh. Brama tiba di kantor dua menit sebelum jam kerja dimulai. Tepat setelah presensi finger print, jam kerja dimulai. Namun, banyak sekali karyawan yang telat dan tidak ada peringatan apa pun dari atasan. “Apa-apaan ini? Kalau sampai perusahaan ini kuambil alih, telat kupastikan pemecatan.” Brama berusaha bekerja secara profesional meskipun banyak rekan di divisinya belum datang termasuk Frengki. Beberapa saat kemudian, pria itu baru muncul. “Telat sepuluh menit. Potong gaji,” tekan Brama. “Kamu menyindirku?” Frengki berdiri di hadapan Brama seraya berkacak pinggang. “Siapa kamu sampai berani bilang potong gaji? Kamu itu karyawan baru, jangan belagu!” “Hanya menyayangkan aturan bobrok di perusahaan ini yang menoleransi karyawan telat seperti kamu.” “Berani kamu, ya!” Frengki mencengkeram kerah kemeja Brama. Brama tidak tinggal diam. Ia malah maju untuk menantang Frengki. “Hey, apa-apaan ini? Hentikan!” Sebuah suara membuat dua pria itu menoleh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN