“Nawa!” pekik Frengki.
Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.
Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.
“Ada apa ini?” Nawa mendekat.
“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.
“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.
“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.
“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa.”
“Iya, Wa, iya. Kamu tadi salah paham. Aku hanya bermain-main sama Brama. Biasa, jantan.” Frengki masih berpura-pura membenahi kerah kemeja Brama.
“Ya udah. Oh, ya, aku ke sini buat ambil berkas pengajuan dana dari anak marketing, buat dana pembuatan iklan produk detergen baru. Kemarin katanya fix pakai artis komedian Saoimah. Udah di-acc apa belum, ya?”
“Si bos dari sebelum kita tour kemarin nggak pernah datang ke kantor. Jadi, berkas divisi marketing, anak produksi, masih anteng, belum disetujui.” Salah seorang staf menyahut.
“Astagfirullah. Nyuruh kerja cepat, biar produk lekas launching. Tapi pendanaan lelet. Gimana konsepnya coba? Gimana mau booking artisnya?” Nawa berdecak.
Brama memasang telinga.
“Ya, itulah kelakuan bosmu. Lama nggak datang ke kantor, begitu datang marah-marah, katanya kita kerjanya nggak becus. Kami bagian keuangan yang terus disalahkan kalo divisi lain butuh dana. Padahal kami mana berani ngeluarin dana sembarangan tanpa persetujuannya? Tuh, berkas numpuk, tinggal ditanda tangani, tapi orangnya nggak ada,” keluh yang lain.
Brama setia menyimak. Ternyata banyak karyawan yang mengeluhkan kinerja Arbi.
“Tapi enaknya, kalo datang telat nggak masalah,” sahut lainnya.
“Gimana mau kerja kalo nggak ada dana gini?” gumam Nawa.
“Artisnya ganti kamu saja, Mbak.” Brama ikut bersuara sambil menatap Nawa.
“Eh, sembarangan. Enggak.” Nawa tertawa.
“Kalau disalahkan bos, tinggal salahin balik. Salah siapa pendanaan macet. Iya nggak?” Brama terus mengompori.
“Setuju!”
“Ide bagus!”
“Sekali-kali kita kerjai si bos.”
Suara yang lain bersahutan.
“Halah! Datang ke sini buat nyari pencerahan dana, malah kalian kasih ide yang bikin hidupku gelap. Pait pait!” Nawa tertawa, kemudian berlalu dari sana.
Brama setidaknya sekarang lega. Nawa-nya tidak kenapa-napa setelah ada barang gila yang dikirimnya kemarin.
Nawa hari ini berangkat bekerja meskipun sebenarnya masih merasa malas. Ia belum sepenuhnya kuat menghadapi dunia. Ketakutan akan aibnya menyebar terus menjadi beban pikiran.
Wanita yang memakai blazer dan celana hitam, kemeja dan pasmina moka tersebut berjalan gontai menuju kubikelnya.
Semalam, ia tidak jadi bunuh diri karena bertepatan saat akan bunuh diri, bapaknya menelepon. Adanya ikatan batin antara anak dan orang tua, membuat Heru menelepon Nawa karena merasa tidak tenang.
“Entah apa yang terjadi, Bapak merasa khawatir sama kamu, kepikiran kamu. Jaga diri baik-baik, Nduk. Kalau ada masalah, jangan berpikir hanya kamu manusia yang paling menderita di bumi. Tapi setiap orang pasti diberi beban masalah di pundaknya masing-masing. Hanya beratnya yang berbeda. Hidup itu cukup dijalani, jangan dipikirkan.”
Nawa benar-benar mengurungkan niatnya. Ia menangis. Ia harus menjalankan kewajiban merawat Heru di masa tuanya. Sudah banyak yang dilakukan Heru untuknya. Jika sekarang meninggal, siapa yang akan merawat sang bapak?
Lalu kata-kata terakhir sang bapak, Nawa membenarkan. Hidup dan masalah itu cukup dijalani, tidak perlu dipikirkan. Jalani saja yang sudah digariskan meskipun rasanya berat.
Nawa juga menghapus rekaman suaranya dari ponsel.
“Hidup ini akan tetap aku jalani sampai nanti Allah yang menentukan kapan harus berhenti. Entah bagaimana hidupku ke depan setelah tragedi itu, aku harus tetap kuat,” gumam Nawa sambil berjalan.
"Dan aku selalu berdoa dan berharap, tidak ada kehidupan baru di rahimku." Tangan Nawa menyentuh perut.
Di hadapan orang lain, ia tetap menjadi Nawa yang humble dan ceria. Namun, saat sendiri, ia berubah menjadi wanita murung.
“Belum ada hilal masalah dana, Guys! Gimana?” tanya Nawa setelah bergabung dengan tim divisinya lagi.
“Artisnya pakai kamu aja dulu sementara, yuk. Kita ambil gambar di kantor ini aja. Kali aja hasilnya bagus, nggak perlu pakai artis ibukota,” ujar yang lain.
“Eeh! Enggak! Nggak kalian, nggak karyawan baru tadi kenapa solusinya sesat gini?” Nawa menggeleng.
“Ayolah. Soalnya kamu yang paling bening di kantor ini. Nanti kumintakan komisi kalau hasilnya bagus dan jadi digunakan. Kita mulai kerjakan sekarang, jangan buang-buang waktu."
Setelah didesak dan dipaksa rekan-rekannya, pembuatan video untuk iklan mulai dilakukan. Nawa harus berganti pakaian dan harus dimekap sedemikian rupa. Video diambil di kantor. Untuk yang adegan di sungai, akan dilakukan nanti saat sudah pulang. Divisi marketing sedang berusaha semaksimal mungkin untuk proyek ini hingga akhirnya jam istirahat tiba.
“Harusnya kerjaku cuma desain buat produk aja. Tapi sekarang jadi artis, pengisi suara, dan promosi di media sosial juga. Berat, berat,” keluh Nawa saat di kamar mandi membetulkan mekapnya.
Dari kamar mandi, Nawa menuju kantin. Ia duduk di kursi sambil memainkan ponsel sembari menunggu pesanannya datang.
“Boleh duduk di sini?” tanya Brama.
“Oh, silakan.”
Brama pun duduk. “By the way, makasih tadi sudah dibela saat Frengki sedang mengintimidasi saya.”
“Nggak perlu makasih. Tadi hanya mengingatkan Mas Frengki yang udah kelewatan. Soalnya saya juga pernah ada di posisi kamu.” Nawa meletakkan ponselnya di meja.
“Manggilnya aku kamu saja kali, ya? Biar nggak formal.” Brama tersenyum. “Aku Brama. Kamu siapa?”
Ah, dasar si Brama pura-pura tidak kenal.
“Aku Nawa.”
“Jadinya tadi gimana? Aku dengar, akhirnya beneran kamu yang jadi artis di pembuatan iklan itu?”
Nawa tersenyum. “Dipaksa sama anak-anak. Dasar mereka.”
Nawa benar-benar tidak tahu jika pria di hadapannya ini pria yang telah membuat suram masa depannya.
“Menurutmu, gimana perusahaan ini?” Brama memancing. Ia terus mengumpulkan bukti keteledoran dan betapa tidak bertanggung jawabnya Arbi dalam memimpin perusahaan.
Nawa pun menyuarakan secara jujur. Brama merekamnya diam-diam sambil terus menatap Nawa. Sungguh, baru kali ini pria itu bertemu wanita yang tidak membuatnya jemu.
“Bisa kita berteman?” tanya Brama setelah Nawa selesai mengeluarkan unek-uneknya.
Nawa tertawa. “Semua yang ada di kantor ini berteman, Mas Bra.”
“Apa? Kamu manggil aku apa?”
“Mas Bra. Biar keren. Boleh?”
“Berasa jadi dalaman wanita.”
Nawa terpingkal-pingkal. Baru kali ini setelah tragedi kelam itu ia bisa tertawa begitu lepas. Sementara Brama bisa menatap sepuasnya dengan pandangan kagum.
“Maaf maaf. Nggak ngeuh. Panggil kayak yang lain aja, deh.” Nawa menatap pria di depannya syarat rasa bersalah.
“Nggak apa-apa. Kuanggap panggilan spesial dari kamu. Tapi yang lain nggak boleh manggil itu.”
Nawa masih tertawa.
“Putra CEO perusahaan ini namanya juga Brama.”
“Oh, ya? Kenapa bisa sama, ya? Apa dia tampan?” pancing Brama.
“Kata anak-anak sih tampan, nggak tahu juga aku. Soalnya belum pernah ketemu.”
“Aku yakin dia tampan, nggak kayak aku buruk rupa gini.”
“Boleh gabung?” Frengki datang bertepatan saat pesanan Nawa datang.
Nawa hanya tersenyum.
“Bahas apa kalian? Sepertinya seru?” tanya Frengki.
“Nggak ada. Hanya berkenalan sama Mas Brama,” jawab Nawa.
“Mbak Nawa, aku duluan, ya?” Brama memilih bangkit. Enggan satu meja dengan Frengki.
“Oh, iya, monggo.”
Brama berlalu, kemudian berjalan menuju kasir. “Ini waktu terakhirmu boleh mengobrol dengan Nawa, Frengki. Habis ini, jangankan mengobrol, melihat wajah Nawa pun kuharamkan.”
Nawa makan dengan kikuk karena Frengki terus menatapnya. Ia makan agak cepat, lalu pamit.
“Saya bakso sama air hangat, Bu.” Nawa menuju kasir.
“Sudah dibayar sama pegawai baru, Mbak Nawa. Namanya Mas Brama kalau nggak salah.”
Nawa mengerutkan kening. “Berarti saya nggak usah bayar?”
“Nggak usah.”
“Baiklah. Terima kasih.”
Nawa berjalan cepat mencari keberadaan Brama untuk berterima kasih. Begitu tiba di toilet pria, ia melihat pria tersebut masuk.
“Mas Bra!” teriak Nawa.
Brama menoleh sekilas sambil memegangi tompelnya yang terlepas.
“Mas Bra, kamu?”
“Si*l! Semoga dia nggak lihat tompelku yang lepas,” gumam Brama lirih masih memunggungi Nawa.