“Oh, punya anak duda? Lalu kamu juga masih ngarep dijadikan mantu sama dia?” tanya Brama seraya mengangguk-angguk. Ia bersedekap dan menatap tajam istrinya. “Sir tahu sendiri, kan, sikapnya beliau sama aku kayak apa? Baiknya nggak ketulungan pokoknya. Aku yakin beliau masih mengharapkanku jadi bagian keluarganya.” Nawa sengaja memanas-manasi. Bisa dibilang, ajang balas dendam secara halus. Telinga Brama mulai terbakar. “Jadi, ceritanya istri dari kakaknya Mas Agung itu meninggal nggak lama setelah kita nikah. Dia kerja di perusahaan batu bara di Kaliman–“ “Informasimu sangat nggak penting,” potong Brama. Ia menyerobot kasar makanan di kantong plastik dari tangan istrinya. Tanpa banyak kata, ia langsung masuk ke rumah. “Sir, mau kamu bawa ke mana!” pekik Nawa seraya mengejar. “Mau kub

