“Sudah aku tandai beberapa kata yang perlu disederhanakan,” ucap Dilan sambil memberikan draft naskah buku terbaru yang ditulis Ella.
Ella mengangguk dan tersenyum puas. “Oke, aku akan merevisi secepat mungkin.”
“Nggak perlu terburu-buru, El.” Dilan balas tersenyum. “Oh iya, minggu depan anak sekolah sudah mulai libur. Dari penerbit berencana akan mengadakan tur read aloud ke sekolah-sekolah sebelum libur. Dan kamu salah satu penulis yang akan ikut dalam tur.”
“Oh ya?” Kedua mata Ella langsung berbinar senang. “Ke sekolah mana aja?”
“Merata se-jabodetabek. Nanti aku kirimkan daftar sekolahnya. Jadi pastikan kamu dapat izin suamimu buat seminggu penuh, ya? Kita bakal bersenang-senang sama anak-anak,” kata Dilan sambil tersenyum lebar, lesung pipinya terlihat begitu manis.
Dunia anak-anak adalah cinta pertama Ella. Salah satu hal yang membuat Ella tetap bisa merasa bahagia di tengah hidupnya yang terasa begitu menyiksa, bahkan sebelum ia menikahi Alaric.
Maka ia tak boleh kehilangan kesempatan ini.
“Oke. Nanti aku coba bicara sama suamiku.”
“Oh ya, kamu udah terima bunga dariku?” Dilan sudah mengganti topik obrolan ketika hanya tersisa mereka berdua di dalam ruangan.
Ella meringis, teringat akan perlakuan Alaric pada bunga cantik itu. “Sudah. Makasih bunganya. Padahal kamu nggak perlu melakukan itu.”
“Aku mau melakukannya, El. Waktu kamu bilang kamu suka bunga lili putih, aku langsung membayangkan kamu memegang buket bunga itu, pasti sangat serasi. Sama-sama anggun dan cantik. Jadi waktu aku nggak sengaja lihat bunga itu, aku nggak bisa nggak beliin buat kamu.”
Ella tertegun saat mendapati tatapan Dilan yang melunak padanya. Ia tahu arti tatapan itu, tapi tak mungkin kan Dilan memiliki perasaan padanya padahal Dilan tahu ia sudah bersuami?
Ella buru-buru menyingkirkan pemikiran itu dan fokus pada obrolan mereka. “Pokoknya makasih banyak. Tapi ke depannya nggak perlu repot-repot beliin aku bunga.”
Dilan terdiam, memperhatikan Ella lekat. “Apa … suamimu cemburu?”
Ella nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. Untuk cemburu, seseorang harus jatuh cinta dulu. Memangnya Alaric mencintainya? Tentu saja tidak. Begitu menurut Ella.
Maka ia menggeleng. “Dia bukan tipe pencemburu,” katanya demi menutupi fakta bahwa tak ada cinta dalam pernikahan mereka.
“Bagus kalau begitu.”
“Ini sudah selesai kan? Aku pamit, ya?” Ella berdiri dan siap beranjak pergi.
“Iya, sudah selesai.” Dilan juga ikut berdiri. “Salam untuk suamimu, aku nggak nyangka dia mau repot-repot mengantarmu ke sini.”
Ella tersenyum canggung dan mengangguk sopan, lalu segera berlalu dari sana. Alaric pasti kesal karena Ella menghabiskan waktu hampir dua jam untuk meeting.
Begitu tiba di ruang tunggu, Ella tak mendapati Alaric di mana pun. “Masa dia ninggalin aku sendiri di sini?” batinnya gelisah.
Ella sudah hampir memesan taksi online ketika ia melihat bayangan seseorang di balkon ruang tunggu. Ia segera menuju pintu yang menghubungkan ruang tunggu dan balkon.
Rupanya Alaric sedang berdiri di sana, merokok sambil bersandar ke pagar balkon.
“Kamu hobi menyakiti diri sendiri, ya?” sindir Ella sinis.
Alaric terdiam sedetik, lalu menoleh dengan mata memicing tajam. “Apa maksudmu?”
Ella berjalan mendekati sang suami, berdiri di sampingnya. “Tuh, rokokmu. Kamu tahu nggak kalau kamu lagi menyakiti dirimu sendiri dengan merokok? Kamu sedang menumpuk racun di paru-parumu.”
Sudut bibir Alaric terangkat 0,01 mm, seringainya tipis sekali. “Kalau begitu, beri aku sesuatu supaya tangan dan mulutku sibuk. Karena aku merokok supaya tangan dan mulutku nggak diam saja.”
“Kamu bisa melakukan banyak hal, Al. Membaca, misalnya.”
Alaric tertawa sinis. “Kamu mau aku berhenti merokok?”
Ella mengangguk. Bukan demi Alaric, tapi demi dirinya yang menjadi perokok pasif jika Alaric tetap merokok.
Tanpa banyak protes, Alaric mematikan rokoknya di atas tempat sampah yang dilengkapi dengan asbak rokok.
Ella tercengang, tak percaya melihat Alaric mematuhi ucapannya.
“Nah, sudah selesai,” kata Alaric masih dengan seringai tipis di bibirnya. “Tapi sekarang berikan tanganmu.”
“Buat apa?” Ella mengernyit bingung.
“Supaya ada yang bisa kulakukan dengan tanganku.”
Ella hanya mematung, enggan memberikan tangannya pada Alaric.
Sambil mendengus kasar, Alaric mengambil tangan Ella dan menggenggamnya erat.
“Sekarang coba pikirkan, apa yang bisa kamu tawarkan supaya mulutku nggak diam saja karena sekarang aku nggak merokok,” ucap Alaric kemudian.
Ella merengut kesal. Ia paham maksud kalimat Alaric. “Lepas, Al!” desisnya sambil menarik tangannya.
Namun bukannya melepas tangan Ella, Alaric justru menangkup tengkuk sang istri dan memangkas jarak, menempelkan bibirnya ke bibir Ella.
Ella membelalak kaget. Tubuhnya membeku, mematung, tak bisa bergerak sama sekali.
Namun, saat lidah Alaric membelai bibirnya, ia segera tersadar. Maka Ella mendorong d**a Alaric sekuat tenaga hingga tubuh mereka menjauh.
Keduanya terengah, Ella menatap Alaric tak percaya. “Dua kali.” Ia mendesis.
Alaric mengetatkan rahangnya, ia jelas kesal saat Ella mendorongnya menjauh. “Apa yang dua kali?”
“Kamu menciumku dua kali tanpa izin!”
Tawa sinis Alaric mengudara. “Sebutkan yang mana saja,” tantangnya sambil menyedekapkan tangan di depan d**a.
“Pertama….” Ella masih terengah, tapi kali ini karena kekesalan yang menumpuk di dadanya. “Saat di kamarmu, dan yang kedua ini.”
Alaric menggeleng. “Aku masih ingat dengan jelas, kamu membalas ciumanku malam itu, El.”
Oke, Ella menyadari bahwa saat di kamar Alaric itu, ia juga membalas ciumannya. Harus diakui bahwa ia terbawa suasana.
“Tapi yang barusan kamu melakukannya tanpa izin!”
Alaric terkekeh sinis. “Sejak kapan seorang suami harus minta izin sebelum mencium istrinya?”
“Kita bukan suami istri normal, Al. Kamu tahu itu!”
Tanpa menunggu jawaban Alaric, Ella segera berlari keluar ruangan. Supaya Alaric tak mengejarnya, ia sengaja mengunci ruang tunggu dari luar.
“Ella, buka pintunya!”
Elaina tak peduli, ia terus berlari keluar dari kantor penerbit itu dan segera memesan taksi. Ia harus pergi sejauh mungkin dari Alaric.
Pria itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
***
“Kamu kabur dan menguncinya di ruang tunggu?” tanya Alya, salah satu sahabat dekat Elaina saat Ella menjelaskan mengapa ia tiba-tiba datang ke apartemen Alya.
Ella mengangguk. “Dia menciumku tanpa izin, Al. Kamu tahu kan kalau kita menikah karena aku menggantikan Anna?”
Alya memberikan segelas teh hangat pada Ella. “Minum dulu.”
Ella menyesap teh hangatnya.
“Tapi dengan kamu kabur begini, kamu bakal bikin dia makin marah. Kamu nggak tahu apa yang bakal dia lakukan kalau marah kan?”
Ella meringis membayangkan Alaric marah besar jika ia kembali ke rumah nanti.
“Itu urusan nanti,” jawab Ella asal. "Lagipula, bukannya kamu pernah menyuruhku kabur?"
Alya menggeleng. “Itu sebelum aku tahu Alaric orang seperti apa. Menurutku, jangan memancing amarah dia dulu, El. Pelajari dulu gimana sifat Alaric, baru susun strategi untuk menaklukkannya.”
“Itu mustahil, Al. Aku sudah tinggal seminggu dengannya dan sama sekali nggak tahu apa-apa tentang dia.”
“Karena kamu terus menjaga jarak. Coba masuk ke wilayahnya.” Alya memberi saran, suaranya terdengar tenang.
Inilah alasan Ella memupuk persahabatannya dengan Alya sejak kuliah. Alya selalu bisa berpikir dengan kepala dingin saat emosi Ella mulai tersulut.
“Maksud kamu?”
“Coba dekati dia secara emosional.”
“Caranya?” Ella mulai tertarik.
“Lakukan sesuatu yang dia sukai.”
Ella terdiam, memutar otak. Apa yang paling Alaric sukai sekarang?
Seolah mendengar pertanyaan di kepala Ella, Alya kembali bicara.
“Pulanglah dan minta maaf dengan tulus, tunjukkan kalau kamu benar-benar menyesal. Laki-laki seperti Alaric itu selalu merasa superior, jadi saat ada orang yang merendahkan diri di hadapannya, dia akan lengah.”
“Lalu saat dia lengah, aku bisa mengorek kelemahannya?” timpal Ella cepat.
“Tepat sekali!” Alya menjentikkan jarinya dan tersenyum puas.
Benarkah rencana mereka akan berhasil?