“Aturan kedua,” ucap Alaric ketika ia dan Elaina sudah duduk bersebelahan di dalam mobil. “Kamu boleh pergi ke luar rumah, tapi hanya denganku.”
“Nggak boleh pergi sendiri, sama temen, atau sama sopir?” tanya Ella sambil memasang sabuk pengaman.
“Nggak boleh.” Alaric menjawab tegas, memutar kemudi, membawa mobilnya keluar dari halaman rumah.
“Kenapa?”
“Karena aku mau begitu,” sahut Alaric enteng. Ia menyetir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya bertengger malas di atas tuas persneling.
“Jadi kalau kamu nggak bisa nganterin keluar, aku nggak bisa keluar rumah?” tanya Ella memastikan.
“Tepat sekali. Dan kalau aku nggak bisa jemput, kamu juga nggak boleh keluar rumah.”
Ella mulai merasa pening. “Tunggu dulu, memang aturan pertamanya apa?”
“Kamu dilarang keluar rumah tanpa izinku.” Alaric menjawab santai, tanpa menoleh pada Ella sama sekali.
“Memang apa bedanya dengan aturan kedua?”
“Beda.”
“Sama saja, Al.”
“Beda, El.”
“Kenapa bisa beda?” Ella merengut kesal. Ia selalu kesulitan bersikap tenang di sekitar Alaric.
“Karena aku bilang begitu.”
“Ya Tuhan,” keluh Ella sambil memejamkan mata dan memijat pelipisnya. Ia menarik nafas dalam berkali-kali, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai tersulut.
Alaric melirik Ella sekilas, menyeringai tipis. Kemudian ia kembali mengemudi dengan santai.
Sisa perjalanan menuju gedung kantor BSD Group dipenuhi keheningan. Ella malas membuka obrolan dengan Alaric karena apa pun yang diucapkan pria itu, pasti membuatnya kesal.
“Tunggu dulu, aku ikut ke kantormu?” tanya Ella setelah Alaric memarkir mobilnya di tempat parkir khusus.
“Iya, kenapa?”
“Buat apa? Aku kan meeting di kantor penerbit, kenapa kamu nggak anterin aku ke sana aja? Aku nggak masalah nunggu di sana sampai jam meeting.” Ella protes.
“Tenang saja, nanti aku akan mengantarkanmu ke sana.” Alaric menyahut santai dan keluar dari mobil.
Mau tak mau, Ella menyusul keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam kantor.
Gedung setinggi dua puluh lantai itu tempat berkumpulnya seluruh kantor media yang berada di bawah naungan BSD Group.
Kantor Alaric sendiri berada di lantai sepuluh. Bersama lantai sembilan dan delapan, tiga lantai itu menjadi markas besar tim Spektra TV.
“Selamat pagi, Pak,” sambut seorang wanita berpakaian rapih begitu Alaric berjalan menuju ruang kerjanya, bersama Ella di sampingnya.
“Pagi, Yola.” Alaric mengangguk, menyapa staf wanita itu.
Wanita yang dipanggil Yola itu terlihat tersenyum tipis, tapi wajahnya tetap kaku. Persis seperti Alaric. Ella bisa menebak, Yola adalah sekretaris atau asisten sang suami.
Dan begitu Alaric membuka pintu ruang kerjanya, sebuah sapaan riang dan pelukan erat langsung menyambutnya.
“Selamat pagi, Al ganteng!” seru seorang wanita cantik dengan riang sambil memeluk Alaric dan mendaratkan satu kecupan ringan di pipi.
Ella langsung mematung, membelalak dan ternganga di belakang Alaric. “Hah? Apa itu?” pekiknya bingung dalam hati.
“Ck, lepas, Mel.” Alaric terlihat melepaskan lengan wanita yang dipanggil ‘Mel’ dari lehernya.
Mel alias Melinda, salah satu host pengisi acara gosip di Spektra TV itu manyun. “Nggak romantis banget sih,” gerutunya.
Tanpa sadar, Ella jadi berdehem keras. Seolah sengaja melakukannya agar Melinda menyadari keberadaannya.
“Oh, tumben kamu bawa perempuan ke sini? Siapa dia?” tanya Melinda sambil menyedekapkan tangan di depan d**a, menatap Ella sinis.
“Kamu lupa? Dia istriku.” Alaric menyahut santai, ia sudah duduk di kursi kerjanya.
“Hah?! Dia istrimu? Kok beda banget sama waktu pernikahan kalian?” Melinda membelalak, dan tanpa malu-malu ia menatap Ella dari atas sampai bawah lalu kembali ke wajah Ella. Seakan ia benar-benar tak percaya bahwa wanita yang berdiri di hadapannya ini adalah istri Alaric. “Kamu istri Al?”
“Sayangnya, iya.” Ella menjawab datar, menyelipkan rambut ke belakang telinga, sengaja menunjukkan cincin nikah di jari manisnya.
“Berhenti menggangguku, Mel. Sana pergi, atau aku yang akan menendangmu keluar.” Alaric bicara dari balik meja kerjanya, tanpa menatap Melinda karena sekarang ia sudah sibuk mengetik sesuatu di komputernya.
Perhatian Melinda sudah beralih pada Alaric lagi.
Ella mengambil kesempatan ini untuk berjalan ke sofa dan duduk di sana. “Nggak heran kalau banyak karyawan yang protes, mulutnya tajem banget,” gumamnya dalam hati setelah mendengar kalimat Alaric pada Melinda.
“Aku masih punya waktu setengah jam. Makanya aku ke sini dulu.” Melinda berjalan ke meja Alaric dan mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu.
Berdasarkan pakaian berpotongan leher rendah yang dipakai Melinda dan dengan posisinya yang seperti itu, belahan d**a Melinda pasti terlihat jelas. Tapi ajaibnya, Alaric sama sekali tidak melirik pemandangan yang sangat menggoda itu.
“Aku sudah bilang berkali-kali, ruang kerjaku bukan tempat main. Jadi berhenti datang ke sini cuma karena kamu merasa bosan,” ucap Alaric tanpa ekspresi.
“Aku ke sini karena kangen kamu, bukan karena bosan, tahu!”
“Bilang kangen lagi dan aku akan menjahit mulutmu dengan tanganku sendiri.” Alaric akhirnya menoleh, tapi hanya untuk melirik ke arah Ella duduk. “Di sana ada istirku dan kamu sekarang bertingkah seperti pelakor yang mencoba menggoda suami orang.”
Wajah Melinda memerah. Ia langsung mundur selangkah dan kembali menyedekapkan tangan. “Aku bukan pelakor.”
“Kalau bukan, sana pergi. Sebelum aku benar-benar menendangmu keluar.”
Melinda masih cemberut, tapi akhirnya ia menurut juga. “Tapi nanti siang makan bareng, ya?”
“Nggak bisa.” Alaric menyahut tegas, kembali ke komputernya.
“Kenapa?”
“Aku mau kencan sama istriku.”
Ella membelalak. “Kencan dari Hongkong?!” umpatnya dalam hati.
Sementara Melinda sudah melirik Ella tajam, kemudian kembali menatap Alaric. “Kamu selalu punya alasan buat nolak makan siang sama aku. Kalau gitu dinner aja, gimana?”
“Aku juga mau dinner sama istriku.” Lagi-lagi Alaric menjawab santai, tanpa menoleh sama sekali.
Sekarang Ella tahu, Alaric sedang menggunakan dirinya sebagai tameng.
“Kenapa sama istri kamu terus sih?” Melinda manyun sok imut.
“Ya karena aku punya istri.”
“Sekali aja masa nggak bisa dinner sama aku? Aku cuma ngajak dinner bukan ngajak check in hotel. Kamu selalu nolak bahkan dari sebelum kamu nikah.” Kini Melinda memasang tampang sedih yang dilebih-lebihkan.
“Kalau kamu segitu pengennya makan denganku, coba izin sama Ella. Kalau Ella mengizinkan, aku mau.”
Ella yang baru saja mengeluarkan tabletnya hendak menyelesaikan sketsa ilustrasi yang sedang ia kerjakan sontak menoleh. “Apa?”
“Tuh, sana izin,” ucap Alaric pada Melinda.
Awalnya Melinda terlihat ragu, tapi akhirnya ia berjalan menghampiri Ella. “Heh, aku mau ngajak Alaric makan malam, boleh nggak?” tanyanya ketus.
Ella sudah membuka mulut, hendak mengiyakan. Tapi ekor matanya menangkap tatapan tajam Alaric yang menghunjam ke arahnya.
Pria itu menggerakkan mulutnya tanpa suara. “Kalau kamu bilang boleh ….” Lalu Alaric menebaskan tangannya ke leher. “Aku akan membunuhmu.”
Ella membelalak, nyaris ternganga melihat ancaman dari suaminya itu. Meski Ella pernah meminta Alaric untuk membunuhnya di hari pernikahan mereka, tapi siapa yang mau benar-benar dibunuh?
“Heh, jadi boleh nggak?” tanya Melinda lagi.
Tatapan Ella akhirnya kembali ke wajah cantik Melinda. “Bol–”
Kalimat Ella terhenti saat ekor matanya menangkap wajah Alaric yang menggelap. Pria itu benar-benar akan membunuhnya –atau setidaknya, menyiksanya– jika ia membolehkan Melinda untuk makan malam dengan Alaric.
“Bol apa?” kejar Melinda tak sabar.
“Boleh asal aku ikut,” pungkas Ella kemudian.
Seringai tipis terbit di wajah Alaric. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, tatapannya terkunci pada wajah Ella.
“Apa?” Melinda merengut tak terima.
“Itu syaratnya.” Ella melanjutkan dengan tenang. “Kalau kamu mau makan malam dengan … suamiku, aku juga harus ikut.”
Wajah Melinda memerah, ia mendengus kasar. “Dasar posesif!” cetusnya sambil berlalu dari hadapan Ella dan keluar ruangan dengan membanting pintu.
Persis setelah tubuh langsing Melinda menghilang di balik pintu, Alaric segera meloloskan tawa kecil.
“Wah, aku tidak tahu ternyata kamu posesif, Sayang,” komentar Alaric dengan nada mengejek pada kata ‘sayang’.
Ella memutar bola matanya malas. “Jadi kamu membawaku ke sini cuma untuk menjadikanku tameng buat perempuan-perempuan yang menggodamu?”
“Tepat sekali.” Seringai di wajah Alaric semakin lebar. “Memang apa lagi gunamu sebagai istriku?”
Seketika Ella merasa lelah. Dengan wajah setampan Alaric, ia bisa membayangkan berapa lagi wanita yang harus ia hadapi.
“Tunggu dulu, kenapa aku jadi merasa perlu bertanggung jawab menghadapi mereka?” gumam Ella dalam hati. Lantas ia menatap Alaric yang masih menyeringai lebar.
Ella menyadari sesuatu. “Dasar manipulatif!”
Tiba-tiba, Alaric berdiri dan menghampiri Ella. "Ayo ikut aku, El."
"Mau ke mana?" Ella mengernyit bingung.
"Aku akan mengenalkanmu pada karyawanku."
"Buat apa?"
Alaric mendengus sebal karena Ella tak langsung menurut. "Karena kamu istriku, istri bos mereka. Jadi mereka harus mengenalmu. Ayo, cepat!"
"Dan supaya tidak ada yang berani macam-macam denganmu, El. Karena jika ada yang berani mengganggumu, dia akan berhadapan denganku," batin Alaric sambil menggandeng tangan Ella keluar dari ruangan.