“Makasih ya udah mau bacain buat Rachel.” Mia mengantarkan Ella keluar dari kamar Rachel setelah gadis kecil itu terlelap.
“Nggak perlu berterima kasih, Ma. Saya suka bacain buku untuk anak-anak.” Ella tersenyum manis.
“Oh iya, gimana Alaric?” Mia sudah mengganti topik obrolan. “Semoga dia nggak banyak nyusahin kamu, ya?”
Ella tertawa getir dalam hati, tapi ia tak perlu menceritakan soal sikap Alaric padanya. “Yah, begitu deh, Ma. Namanya masih pengantin baru, jadi perlu banyak penyesuaian.”
“Mama nggak nyangka Alaric bakal setuju menikah sama kamu, karena dulu waktu dia dijodohkan dengan Anna, dia menolak keras. Mama kira dia nggak setuju soal perjodohan dengan keluargamu, tapi sepertinya dia berubah pikiran.”
“Oh ya? Alaric menolak waktu dijodohkan dengan Anna?” Ella benar-benar terkejut. Karena seingatnya, dulu Alaric sendiri yang memilih Anna dibanding dirinya.
“Iya. Sampai malam sebelum pertunangan, dia masih menolak. Tapi karena gertakan papanya, dia mau nggak mau setuju.”
“Kalau boleh tahu … digertak gimana, Ma?” tanya Ella penasaran. Siapa tahu ia bisa menggunakan referensi itu untuk menggertak Alaric.
Mia terlihat melirik ke kamar utama sebelum menjawab, mungkin khawatir sang suami mendengar obrolannya dengan Ella.
“Alaric diancam akan didiskualifikasi dari kandidat CEO,” bisik Mia sambil meringis halus.
Kedua mata Ella membola. “Wah, pantes dia langsung setuju.”
Mia mengangguk setuju. “Ya sudah, selamat istirahat, ya? Maaf mengganggu waktu kalian tadi. Sampaikan juga maaf Mama buat Alaric.”
“Iya, Ma. Nanti saya sampaikan.”
Ella menunggu sampai Mia masuk ke dalam kamar sebelum ia membuka kamar tidur Alaric. Gerakannya amat hati-hati, khawatir mengganggu Alaric jika pria itu sudah tidur.
Begitu ia masuk dan kasur berukuran king size menyambutnya, ingatan soal momen intim mereka yang singkat itu berkelebat. Membuat pipi Ella memanas.
Namun ia buru-buru mengenyahkannya dan memasang tampang datar. Beruntung, Alaric tidak terlihat di mana pun. Entah ke mana perginya pria itu.
Tapi syukurlah, dengan begitu Ella bisa tidur dengan tenang tanpa harus merasa canggung karena tidur seranjang dengan Alaric.
Satu jam kemudian, Alaric baru masuk kamar setelah Ella tertidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap tubuh Ella yang tidur menyamping.
Alaric menghela nafas lelah setelah memperhatikan Ella selama beberapa saat. Kemudian ia berbaring memunggungi sang istri.
“Semoga aku bisa tidur,” gumamnya sambil berusaha memejamkan mata.
***
“Mana ada istri yang bangun lebih siang dari suaminya?” Suara ketus Alaric menyambut pendengaran Ella yang baru saja terbangun dari tidur.
Ella mengucek mata, perlahan-lahan duduk di atas kasur. Dan begitu ia membuka mata, Ella langsung disambut oleh pemandangan Alaric sedang mengancingkan kemeja.
Jika bukan karena sikap Alaric yang lebih mirip iblis daripada manusia, mungkin Ella sudah jatuh cinta padanya. Lihatlah wajah sempurna itu, matanya yang tajam, hidungnya yang tinggi dan mancung, bibir tipis yang menyeringai, dilengkapi dengan tubuh tinggi berotot bak pahatan.
“Bangun, Ella. Kamu masih di bumi, belum di surga,” ejek Alaric saat Ella terpaku menatap pantulan wajah Alaric di cermin.
Ella buru-buru memalingkan muka, mengikat rambut, dan turun dari kasur.
“Kalau ada kamu, berarti aku di neraka bukan di surga,” sahut Ella ketus.
“Tepat sekali.” Alaric berbalik, menyandarkan pinggulnya ke meja rias. “Karena kamu terjebak dalam simulasi neraka sekarang.”
Ella tak menanggapi dan berjalan menuju pintu, hendak kembali ke kamarnya sendiri.
“Mau ke mana?” tegur Alaric tiba-tiba.
“Mau balik ke kamar, mandi dan ganti baju.” Ella menjawab seadanya.
“Baju dan barang-barangmu yang lain sudah dipindahkan ke sini.” Alaric menunjuk produk make up dan skincare milik Ella yang tertata rapi di atas meja rias, berbaur dengan milik Alaric.
“Loh, kapan mindahinnya? Siapa yang mindahin?” sergah Ella terkejut.
“Bi Lastri.” Alaric menjawab singkat. “Kembali ke sini,” perintahnya tegas.
Ella bergeming, mengernyit curiga.
“Duduk, Ella. Dan minum itu.” Alaric menunjuk gelas berisi cairan kecokelatan di atas nakas dengan dagunya.
“Apa itu?” Ella masih terlihat curiga.
“Teh.”
“Kenapa aku harus minum teh?”
“Minum atau aku akan menuangkannya langsung ke kerongkonganmu.” Alaric mengancam dengan tatapan tajam.
Ella enggan menurut pada awalnya. Tapi melihat wajah Alaric yang mengeras, ia akhirnya mengalah.
Ia duduk di tepi ranjang dan mengambil gelas itu. Hangat.
“Teh apa ini?” tanya Ella sambil mengamati cairan di dalam gelas.
“Teh thyme.” Alaric berbalik menghadap cermin dan mulai memasang dasi. “Minum,” perintahnya lagi.
Setelah beberapa detik mengamati isi gelas, akhirnya Ella meneguk teh yang masih hangat itu. Rasanya menyegarkan, seperti ada rasa mint dan jeruk.
“Sudah,” ucap Ella setelah isinya tandas.
“Aku baru tahu ternyata kamu sangat mempercayaiku.” Alaric berkomentar sambil melirik Ella dari cermin. “Aku terharu.” Suaranya terdengar mengejek.
“Apa maksud kamu?” Ella mengernyit.
“Kamu nggak curiga aku sudah masukin racun ke tehmu?”
“Apa?!” Ella mendelik horor.
Ia sudah hampir berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya jika saja ia tak mendengar suara tawa Alaric.
“Aku bercanda,” kata pria itu enteng sambil berlalu dari kamar dengan langkah ringan.
Seolah baru saja ia sama sekali tidak membuat Ella nyaris jantungan.
***
“Kamu tahu kalau voting untuk penentuan CEO akan diadakan enam bulan lagi kan, Al?” Jonathan –papa Al– bertanya saat sarapan.
“Tahu, Pa. Setelah acara CEO Awards, kan?”
Jonathan mengangguk. “Betul. Dan acara itu akan menjadi penentu kelayakanmu menjadi CEO.”
Alaric terlihat menegang, ia bahkan menghentikan gerakannya. “Maksud Papa?”
“Acara CEO Awards yang setiap tahun kita adakan itu, tahun ini akan Papa serahkan padamu sepenuhnya. Buktikan pada Papa bahwa kamu layak menempati kursi CEO.” Jonathan menatap Alaric dingin, tapi ada binar harapan di sana.
“Memangnya kinerjaku di Spektra kurang?” Alaric tampak tak terima.
“Dengan semua keluhan yang datang dari para staf dan bintang tamu? Jelas kurang,” tandas Jonathan tegas.
Alaric terlihat mengetatkan rahang, tapi ia menghela nafas dan melanjutkan makan. “Baik, Pa.”
Sarapan kembali berlanjut dalam hening. Hanya sesekali suara Mia yang mengobrol dengan Rachel atau Ella yang terdengar.
Sepanjang sarapan itu, Ella terus melirik Alaric. Ia penasaran apa yang dimaksud papa mertuanya soal keluhan dari para staf dan bintang tamu tentang Alaric.
Apakah Alaric bos yang menyebalkan di kantor? Apa yang membuat Alaric mudah kesal dan naik pitam? Apa yang membuat Alaric menanggalkan topeng dingin dan tanpa ekspresi itu?
Ella harus mencari tahu orang seperti apa Alaric sebenarnya. Semata demi menguasai medan perang yang digelar Alaric untuknya.
“Hari ini aku ada rapat di kantor penerbit,” ucap Ella pada Alaric saat pria itu siap-siap berangkat kerja.
“Kamu nggak boleh keluar rumah, Ella.” Alaric menyahut santai, berjalan melewati Ella tanpa menoleh sedikit pun.
“Tapi aku harus pergi, Al. Rapat hari ini melibatkan banyak pihak, aku nggak mungkin meminta mereka datang ke sini.” Ella menyusul Alaric dengan berjalan cepat.
Tiba-tiba Alaric menghentikan langkah dan menoleh. “Jam berapa?”
“Jam 12 siang, sekalian makan siang.”
Alaric melirik jam tangannya. “Cepat siap-siap. Lima belas menit cukup?”
“Apa?” Ella mengernyit bingung.
Alaric berdecak kesal. “Lima belas menit untuk bersiap-siap pergi, apa cukup, Elaina?”
“Yah … cukup. Tapi sekarang kan masih jam delapan?”
Sebelah alis Alaric terangkat malas. “Kamu mau datang ke rapat itu atau tidak?”
“Mau,” sahut Ella cepat.
“Waktumu bersiap-siap lima belas menit dari sekarang. Cepat!”
Seolah disihir, Ella buru-buru berlari kembali masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap seperti kata Alaric.
Pria itu berdiri di sana selama beberapa saat setelah Ella berlalu pergi. Alaric tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala. Kemudian, barulah ia melangkah keluar rumah, menunggu Ella di teras.