“Kembali ke Jakarta sekarang, lalu akan menyuruh dia pergi.” Alaric memberi penawaran.
“Jangan harap,” desis Ella penuh penolakan. Hilang sudah perasaan damai dan tenang setelah momen manis mereka semalam.
Alaric mengetatkan rahangnya. “Oke. Tapi ingat, aku akan selalu tahu apa yang kamu lakukan.”
“Aku akan menemukan mata-matamu itu dan menendangnya pergi,” ucap Ella sambil memicingkan matanya tajam.
Tawa mengejek Alaric pecah begitu saja. “Coba saja.”
Ella harus mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menarik nafas dalam untuk menenangkan diri. Alaric selalu berhasil mengaduk-aduk emosinya. Bahkan meski setelah pria itu berlalu dari kamar hotel Ella sambil melempar satu tatapan penuh peringatan, suasana hati Ella tidak juga membaik.
Beruntungnya, bertemu anak-anak selalu membuat Ella bahagia. Wajah merengutnya langsung berubah ceria begitu bertemu dengan anak-anak SD yang sudah menunggunya untuk membacakan cerita.
Hari ini hari terakhir Ella membacakan buku untuk anak-anak sekolah dasar di Bekasi. Besok ia akan bertolak ke Depok bersama tim dari penerbit.
“Kamu nggak balik ke Jakarta dulu?” tanya Dilan saat mengantar Ella kembali ke hotelnya.
Ella menggeleng. “Besok aku berangkat dari sini aja, males bolak-balik.”
Wajah Dilan tampak khawatir. “Kamu yakin? Mau aku temenin aja?”
“Buat apa? Kamu kan harus berangkat sama tim kamu?”
“Nggak harus kok.” Dilan memangkas jarak selangkah. “Aku lebih khawatir kalau kamu menginap sendirian di sini.”
Ella mundur, tersenyum canggung. “Aku bukan anak kecil, Lan. Kemarin juga aku nginep sendiri nggak ada masalah kok.”
“Tapi kemarin aku ada di kota yang sama denganmu, jadi aku bisa langsung datang kalau kamu ada apa-apa.” Suara Dilan pekat oleh kekhawatiran.
Tangan Dilan terulur, hendak menyentuh lengan Ella. Namun Ella segera mengambil satu langkah mundur.
“Aku nggak apa-apa, Lan. Besok kita ketemu di Depok aja. SD apa yang pertama kita datangi?”
“SDN Sukatani 1.” Dilan ngotot, melangkah maju lagi. “Kamu beneran nggak apa-apa, El?”
Baru saja Ella hendak menjawab, terdengar sebuah suara gemerisik yang cukup keras di dekat semak-semak di depan hotel.
Dilan dan Ella terkesiap dan segera berlari keluar lobi hotel.
“Suara apa itu tadi?” gumam Dilan yang segera mendekati semak-semak bersama satpam hotel.
Lima menit mencari, mereka tak menemukan apa-apa di sana.
“Ternyata suara apa?” tanya Ella setelah Dilan kembali ke hadapannya.
“Nggak tahu. Mungkin ada kucing loncat ke semak-semak.”
Ella mengernyit. Dua hari menginap di hotel ini, ia tak pernah menemukan kucing berkeliaran di sekitar hotel.
“Tapi ingat, aku akan selalu tahu apa yang kamu lakukan.”
Tiba-tiba Ella kembali teringat ucapan Alaric tadi pagi. Ia segera celingukan, mencari sosok mencurigakan di sekitar hotel. Bisa saja suara gemerisik tadi memang dari kucing yang melompat. Tapi kenapa kucing itu melompat ke semak-semak?
Bagaimana jika itu mata-mata Alaric yang melempar kucing itu ke semak-semak untuk mengganggu pertemuannya dengan Dilan?
Dada Ella memanas seketika. Alaric, pria itu selalu berhasil menyulut emosi Ella.
“Kamu bilang kamu mau nemenin aku menginap di sini?” tanya Ella pada Dilan dengan senyum dipaksakan. Matanya masih sesekali melirik sekitar, mencari mata-mata Alaric.
“Iya. Besok kita bisa berangkat bareng ke Depok. Aku nggak akan bisa istirahat dengan nyenyak nanti malam kalau tahu kamu di sini sendirian.”
Senyum Ella mengembang. “Ya sudah kalau gitu.”
Wajah Dilan langsung berbinar. “Apa nih maksudnya? Kamu ngebolehin aku menginap di sini?”
“Kenapa aku harus melarang? Ini bukan hotelku, siapapun boleh menginap di sini.”
Senyum di wajah Dilan mengembang lebar, memamerkan lesung pipinya yang manis. “Oke. Aku balik ke hotelku dulu, setelah itu aku ke sini lagi. Boleh tolong pesenin aku kamar, El? Nggak mungkin aku sekamar sama kamu kan?” godanya jahil.
“Oke, aku pesenin.” Ella tertawa pelan, menyentuh lengan Dilan lembut.
Ia sengaja melakukannya karena mata-mata Alaric itu pasti ada di sekitarnya sekarang. Ella yakin, mata-mata itu akan menangkap gesturnya pada Dilan barusan, lalu melaporkannya pada Alaric.
“Kamu ingin memberiku neraka, Al? Nih, aku kasih kamu perang!” batin Ella kesal setengah mati.
***
Alaric mencengkram ponselnya erat-erat. Sedikit lagi ponsel itu mungkin akan hancur saking eratnya cengkraman tangan Alaric.
Dan jika matanya bisa mengeluarkan laser, mungkin layar ponselnya sudah bolong sekarang. Saking tajamnya ia menatap layar ponsel yang menampilkan foto Ella dan Dilan.
“Di mana kamu letakkan tanganmu, Ella?” desis Alaric sambil memperbesar foto itu, memfokuskan pada tangan Ella yang menyentuh lengan Dilan. “Harus aku apakan tanganmu supaya berhenti memegang laki-laki lain, hm?”
Pertanyaan Alaric jelas tak bertemu jawab. Ia sedang duduk seorang diri di sebuah restoran hotel bintang lima di Bali.
Setengah jam lalu, Yola berhasil mendapat jadwal Leonard Wirawan. CEO VistaPlay itu akan makan malam di restoran ini. Dan berdasarkan rencana mereka, Alaric akan berpura-pura tak sengaja bertemu dengannya lalu akan meminta maaf soal kepergiannya yang tiba-tiba kemarin.
Namun berdasarkan laporan Tristan barusan, sepertinya Alaric lebih tergoda untuk terbang kembali ke Jakarta dan melepaskan tangan Ella dari lengan Dilan daripada mengurus kerjasama dengan Leo.
Sebuah pesan pendek masuk ke ponselnya ketika ia hampir saja memesan tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta.
[Yola: Pak, kali ini jangan sampai gagal. Saya sudah susah payah mendapatkan jadwal Pak Leo. Tunjukkan kalau Bapak benar-benar serius dengan kerjasama ini.]
“Ah, benar.” Alaric melemparkan ponselnya ke atas meja, memijit pangkal hidungnya. “Sejak kapan aku jadi bertindak impulsif begini? Gara-gara Ella, ini semua gara-gara Ella.”
Hanya dengan menyebut nama Elaina, bayangan malam panas mereka kembali berkelebat. Wajah Ella yang merona merah, tatapannya yang pekat oleh gairah, bibirnya yang membengkak dan mengeluarkan suara-suara kenikmatan, serta rasa menjempit nikmat di bawah sana ….
“Ya Tuhan,” desah Alaric sambil mengusap wajahnya. Ia meneguk air minumnya dengan cepat, berusaha menyingkirkan bayangan-bayangan yang membuat celananya terasa sesak.
Tepat ketika ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, Alaric mendengar suara seseorang yang sangat familiar.
Leonard Wirawan masuk ke restoran itu bersama seorang wanita. Melinda.
Sebelah alis Alaric terangkat. “Ada hubungan apa mereka?” gumamnya sambil terus memperhatikan Leo dan Melinda hingga mereka duduk di meja yang sudah dipesan.
Alaric terus memperhatikan mereka sampai akhirnya keduanya terlihat hanya mengobrol santai. Ia tak peduli mereka punya hubungan apa, yang penting urusannya dengan Leo harus segera selesai supaya ia bisa segera kembali ke Jakarta.
“Selamat malam, Pak Leo.” Alaric menyapa ramah.
Leo mendongak, tampak terkejut dengan kedatangan Alaric. Namun hanya sekilas saja, karena sekarang ekspresinya sudah berubah mengeras.
Amat berbeda dengan Melinda yang justru berbinar senang. “Al, kamu di sini?”
Alaric mengabaikan Melinda dan fokus pada Leo. “Boleh aku duduk?”
“Boleh dong.” Melinda yang menyahut antusias, sementara Leo masih memasang tampang tak suka.
Alaric tak peduli, yang penting ia mendapat izin dari salah satu penghuni meja itu. Maka ia duduk di hadapan Leo.
“Aku minta maaf soal kejadian kemarin,” ucap Alaric, berusaha terdengar setulus mungkin.
Leo mendengus pendek. “Kamu tahu kalau itu akan berpengaruh dengan kerjasama yang kamu tawarkan, kenapa kamu tetap melakukannya?”
“Karena urusan kemarin memang benar-benar mendesak dan penting.”
“Lebih penting dari kerjasama yang kamu tawarkan?”
Iya.
Alaric nyaris saja menjawab ‘iya’ sebelum ia melipat bibir, menahan lidahnya. Entah sejak kapan semua urusan yang berkaitan dengan Elaina mendadak jadi penting baginya.
“Dengar, Leo, aku benar-benar minta maaf. Saat itu tidak ada yang bisa menyelesaikan urusanku selain aku sendiri. Sementara pertemuan denganmu, aku bisa mewakilkannya pada Yola dan Bayu yang juga sangat kompeten. Tapi aku tahu kamu tidak menyukainya, karena itu aku meminta satu kesempatan lagi untuk meyakinkanmu kalau aku benar-benar serius dengan kerjasama itu.” Alaric mencoba menjelaskan segamblang mungkin, ia tak bisa kehilangan kesempatan untuk bekerja sama dengan Leo.
Leo diam, terlihat mencerna kalimat Alaric. Ia menoleh ketika Melinda menyentuh lengannya dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Alaric mengernyit, penasaran dengan apa yang diucapkan Melinda pada Leo karena kini pria itu terlihat tersenyum licik.
“Kamu mau kesempatan kedua, Al?” tanya Leo sambil memajukan tubuhnya.
Ini pertanda baik, maka Alaric mengangguk. “Tentu saja, Leo. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan kesempatan kedua bekerja sama dengan perusahaanmu.”
“Baiklah. Kalau begitu pergilah berkencan dengan adikku, setelah itu aku mungkin akan mempertimbangkan kerjasama itu.”
Alaric mengernyit bingung. “Adikmu?”
Leo melirik Melinda yang tersenyum jumawa. “Oh iya, aku lupa memperkenalkannya. Publik memang tidak tahu soal hubunganku dengan Melinda, tapi dia adik kandungku satu-satunya. Jadi, jangan kecewakan dia kalau kamu benar-benar mau kesempatan kedua, Al.”