Bab 13. Karena Kamu Istriku

1331 Kata
Ella mencengkram punggung Alaric seerat yang ia bisa, bahkan sepertinya kukunya sudah melukai kulit sang suami. Tapi ia tak peduli, sensasi nikmat yang terus menggunung dan menjalar dari area di antara kedua pahanya, menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat Ella tak bisa berpikir jernih. “Al … mhm ….” Ia mendesahkan nama Alaric entah untuk yang keberapa kalinya. Dan setiap ia melakukannya, Alaric akan meningkatkan kecepatan, membuat permainan mereka dengan cepat mendekati titik puncak. Alaric mendekap tubuh Ella erat, mengubur wajahnya di ceruk leher sang istri dan menciumi kulit polos itu. Gerakannya semakin menggila ketika Alaric merasakan tubuh Ella menegang dan tiba-tiba … lenguhan panjang penuh kenikmatan lolos dari bibir Ella. Bersamaan dengan tubuh Ella yang mengejang beberapa kali, menjepit milik Alaric hingga pria itu tak tahan lagi. Erangan Alaric terbungkam karena ia menggigit kulit bahu Ella, tidak menyebabkan Ella kesakitan, tapi cukup kuat untuk meninggalkan bekas kemerahan di sana. Tubuh mereka perlahan-lahan terkulai lemas. d**a mereka saling menempel, bergerak cepat karena nafas yang memburu. Alaric masih mendekap tubuh Ella, wajahnya masih tersembunyi di ceruk leher sang istri. Seolah ia enggan melepaskan diri. Apa yang mereka lakukan barusan memang menyenangkan, tapi sensasi damai dan tenang ketika tubuh mereka hanya saling memeluk seperti ini, membuat Ella mengulas satu senyum bahagia di bibirnya. Perlahan-lahan, tangannya bergerak membelai punggung Alaric. Ia meringis ketika merasakan bekas kukunya di punggung sang suami. “Sakit, Al?” lirihnya sambil menyentuh tekstur bulan sabit kecil yang diciptakan oleh kukunya di punggung Alaric. Akhirnya Alaric mengendurkan pelukan, seringai tipis terbit di bibirnya ketika ia menatap wajah Ella yang masih merona merah. Satu tangannya menyingkirkan rambut dari dahi Ella, gerakannya lembut, sangat kontras dengan ciumannya tadi. “Harusnya aku yang tanya, kamu sakit nggak?” Suara Alaric masih serak, ada isyarat khawatir yang membayang dalam nada suaranya. “Tapi ini kayaknya luka.” Ella kembali meraba bekas luka di punggung Alaric. “Ella, kalau aku tanya, biasakan jawab.” Suara Alaric berubah sedikit tegas. Ella menghela nafas pelan, sedikit kesal. Tapi ia tetap menjawab. “Sakit sedikit.” “Di bagian mana?” “Di situ.” “Di mana?” tuntut Alaric dengan kerutan halus di antara kedua alisnya. “Ya di sana, Al. Di mana lagi?” Ella menjawab malu-malu, membuat kedua pipinya semakin merona merah. Dan pemandangan itu membuat seringai Alaric berubah menjadi senyum puas. “Jadi bener?” tanya Alaric kemudian. “Apa yang bener?” “Ini pertama kalinya buatmu?” Pertanyaan Alaric sukses membuat wajah Ella terbakar karena malu. “Harus banget ditanyain?” Alaric tak butuh jawaban, ia tahu ia telah menjadi laki-laki pertama yang menyentuh Ella. Dan fakta itu membuat hati Alaric membengkak karena rasa puas. “Ingat, El, nggak boleh ada yang menyentuhmu selain aku.” Alaric berbisik pelan, tapi penuh peringatan. Ia menekankan peringatannya dengan satu gigitan cukup kuat di tulang selangka Ella. “Al!” pekik Ella kaget, kemudian disusul desahan lembut ketika lidah Alaric membelai kulitnya yang memerah. “Kamu dengar, El? Hanya aku yang boleh menyentuhmu seperti ini.” Alaric membuat satu tanda kemerahan lagi di kulit Ella. “Kenapa?” Ella mencoba untuk sedikit menentang. “Kamu tanya kenapa?” Gigi Alaric menancap lembut di daun telinga Ella ketika ia berbisik posesif. “Karena kamu istriku, Ella.” *** Alaric tak pernah menyangka ia akan tidur dengan Ella sambil memeluknya begini. Tapi ia sama sekali tidak membencinya, bahkan ia menyukainya. Lihatlah, meski matanya sudah terbuka sejak lima menit lalu, Alaric masih betah memeluk tubuh Ella dan mengubur wajahnya di surai legam sang istri. Menghirup dalam-dalam aroma seperti apel yang menguar dari tubuh dan rambut Ella. “Dia pakai parfum apa sih?” gumamnya sambil menarik nafas dalam. Ella menggeliat saat merasakan hidung mancung Alaric menggores tengkuknya, geli. “Al, minggir,” lirihnya dengan suara serak khas bangun tidur. Bukannya menyingkir, Alaric justru membiarkan bibirnya menjelajahi kulit polos Ella. Meloloskan desahan lembut dari bibir Ella, menerbitkan seringai puas di wajah Alaric. Namun momen itu harus berakhir saat ponsel Alaric berdering panjang. Pria itu mengerang kesal dan dengan enggan, melepas pelukannya dari pinggang Ella. Ella sudah membuka mata ketika Alaric duduk dan menerima telepon. “Ada apa, Yola?” sapa Alaric begitu menempelkan ponsel ke telinga. “Bapak nggak perlu kembali ke Bali. Pak Leo marah besar dan menolak mentah-mentah kerjasama yang kita tawarkan.” Suara Yola terdengar menahan kesal di ujung telepon. Alaric meremas rambutnya sendiri. Ia baru ingat soal itu. “Sekarang di mana Leo? Apa dia kembali ke Jakarta?” “Saya sudah berusaha mengorek informasi soal jadwal beliau lewat asistennya, tapi sepertinya Pak Leo belum kembali ke Jakarta.” “Aku akan tetap kembali ke Bali dan minta maaf langsung padanya. Kamu cari terus informasi soal kegiatan Leo.” Yola menghembuskan nafas lelah. “Baik, Pak. Tapi saya mau Bapak juga berjanji nggak akan pergi tiba-tiba seperti kemarin. Saya dan Bayu kesulitan menahan Pak Leo, Pak. Ujung-ujungnya beliau marah karena menilai Bapak nggak serius dengan kerjasama ini.” “Aku serius, Yola.” “Tunjukkan kalau Bapak serius. Jangan pergi tiba-tiba seperti kemarin.” Alaric mendengus kasar, tak bisa memungkiri bahwa tindakannya kemarin memang sangat tidak profesional. Ia juga tak mengerti mengapa foto Ella dan Dilan bisa membuatnya sangat terganggu seperti itu. Hanya dengan mengingat foto itu saja, darah Alaric terasa mendidih. Ia melirik Ella yang kini sudah bergabung duduk di atas kasur bersamanya. “Iya, iya. Kamu lakukan tugasmu, Yola. Aku akan tiba di sana sebelum makan siang.” “Baik, Pak.” Panggilan telepon itu berakhir, Alaric menghembuskan nafas panjang dan meletakkan ponselnya di atas nakas. “Ada apa?” tanya Ella hati-hati. “Aku harus kembali ke Bali.” Alaric turun dari kasur dan memakai kembali kemejanya. Ia menyesal karena tidak memesan layanan concierge semalam. Tapi sekarang sudah tak ada waktu, ia harus segera terbang ke Bali untuk merayu Leo lagi. “Kamu terbang dari Bali ke sini, terus sekarang mau balik lagi? Sebenarnya kamu ngapain ke sini, Al?” Alaric sudah selesai mengancingkan kemejanya. “Aku ke sini untuk memberimu hukuman,” katanya dingin. Tak ada lagi kehangatan yang tersisa dari kegiatan mereka semalam atau pelukan Alaric tadi pagi. Sikap Alaric ini membuat Ella tertegun, dadanya terasa nyeri. “Hukuman? Apa maksud kamu?” Alaric berbalik dan menghampiri Ella, tatapannya berkilat tajam. “Jangan biarkan siapapun menyentuhmu atau aku akan menghukummu, Ella.” “Dari semalam kamu selalu bilang begitu, memangnya siapa yang menyentuhku?” “Jangan pura-pura bodoh.” Alaric memperingatkan. “Aku benar-benar nggak tahu, Al. Memangnya siapa yang menyentuhku?” “Dilan,” desis Alaric tajam. “Kamu membiarkan Dilan menyentuhmu, bahkan menciummu.” “Apa maksud kam–” Kalimat Ella terhenti ketika ia menyadari beberapa kejanggalan. Dari mana Alaric tahu bahwa ia pergi ke Bekasi dan bertemu Dilan? Dari mana Alaric tahu kalau ia menginap di hotel ini? Dan bagaimana Alaric bisa tahu nomor kamar hotelnya bahkan ketika kunci kamar hotelnya tidak mencantumkan nomor itu? Tatapan bingung Ella berubah tajam seketika. Wajahnya mengeras. “Kamu memata-mataiku?” Itu bukan pertanyaan, itu tuduhan. Ella yakin seratus persen bahwa Alaric memata-matainya selama ini. Alaric tak menjawab, ia sudah bersiap untuk pergi. Sikap acuh tak acuh Alaric ini membuat Ella semakin kesal. Ia turun dari kasur, menyambar lengan Alaric dan memaksa pria itu menghadapnya. “Jawab, Al! Kamu memata-mataiku?!” “Kalau iya, kenapa?” tantang Alaric dengan dagu terangkat. “Lihat kamu, Ella, kamu tidak menurut padaku saat aku bilang tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kemarin kamu ke Bandung, sekarang kamu di Bekasi, besok kamu ke mana lagi, hah?! Bahkan kamu membiarkan Dilan menyentuhmu!” Darah Ella mendidih. “Siapapun orang yang kamu tugaskan buat memata-mataiku, suruh dia pergi sekarang juga!” “Nggak akan pernah.” Alaric menjawab mantap. “Suruh dia pergi, Alaric! Kamu nggak berhak memata-mataiku seperti psikopat!” Ella meledakkan amarahnya. Tidak ada lagi Ella yang anggun dan tenang. Memangnya siapa yang mau seluruh gerak-geriknya dipantau seperti seorang tahanan? “Aku berhak.” Alaric mendesis marah. “Karena kamu istriku, Ella!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN