Bab 12. Aku Berhak Atas Tubuhmu

1011 Kata
Ella benci dicium tanpa izin begini. Sememabukkan apapun ciuman Alaric, ia tak suka jika dilakukan tanpa izinnya. Maka dengan segenap kekuatan, ia mendorong tubuh Alaric menjauh dan mengusap bibirnya sendiri. “Apa yang ada di otakmu sih?!” Ella meradang. “Meski aku istrimu, setidaknya izin dulu!” Wajah Alaric semakin menggelap. Ia memangkas jarak sebelum Ella sempat berkedip dan tiba-tiba, tubuh Ellla sudah melawan gravitasi bumi. Alaric menggendongnya ala bridal, membawanya menuju lift. “Turunkan, Al!” Ella memukul d**a Alaric kuat-kuat. Alaric menurunkan Ella ketika pintu lift tertutup, namun itu hanya ia lakukan untuk mendorong Ella ke tembok lift, mencengkram tengkuknya, dan kembali melumat bibir sang istri. Ella membelalak, mencengkram kemeja di d**a Alaric dan mendorong tubuh penuh otot itu menjauh. Kali ini ia gagal. Alaric bergerak lebih cepat, ia mencengkram pergelangan tangan Ella dan menempelkannya ke tembok, lalu menguncinya dengan satu tangan. Sementara tangan Alaric yang lain menahan tengkuk Ella agar sang istri tak bisa memalingkan wajah. “Hmph… Lep–” Apapun kalimat yang berusaha Ella ucapkan, semuanya terbungkam oleh ciuman Alaric yang kasar. Ciuman Alaric di pesta pernikahan juga kasar, tapi itu terasa murni seperti hukuman. Berbeda dengan ciuman Alaric saat ini, cara bibirnya bergerak melumat bibir Ella, lidahnya memilin lidah Ella, giginya bergesekan dengan bibir dalam Ella, semua itu terasa seperti campuran antara hukuman, amarah, dan gairah. Ella masih berusaha melawan sekuat tenaga. Tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya, bibirnya semakin lama semakin mengimbangi pergerakan bibir Alaric. Ia bisa merasakan seringai di bibir Alaric saat dirinya mulai menyerah pada ciuman itu. Tepat ketika intensitas ciuman itu naik satu level, pintu lift terbuka. Dan butuh beberapa saat bagi mereka untuk memisahkan diri, seolah enggan ciuman itu berakhir. “Kunci,” bisik Alaric serak. “Hah?” Ella melongo, kepalanya masih berkabut akibat ciuman mereka. “Kunci kamar hotelmu, Ella.” “Oh.” Ella mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu yang digunakan untuk membuka kamar hotelnya. Alaric menyambarnya cepat dan menarik tangan Ella untuk keluar dari dalam lift. Begitu tiba di depan sebuah pintu bertuliskan 511, Alaric menempelkan kartu itu dan membuka pintu dengan cepat. Sebelum Ella sempat mempertanyakan bagaimana Alaric bisa tahu nomor kamar hotelnya, pria itu sudah menarik Ella masuk ke dalam kamar hotel dan sekali lagi, ia mengurung tubuh Ella ke tembok dan melanjutkan ciuman mereka yang terputus gara-gara pintu lift terbuka. Kali ini, Ella tak banyak memberikan penolakan. Pertama, karena Alaric langsung mengunci kedua pergelangan tangan Ella agar ia tidak bisa mendorong Alaric menjauh. Dan kedua, Alaric mengunci tubuh Ella ke tembok dengan tubuhnya sendiri. Bagaimana Ella bisa melawan tubuh seberat 75 kg milik Alaric? Tentu ia tak bisa berkutik di bawah himpitan tubuh setinggi 178 cm itu. “Aku nggak akan pernah memaafkanmu karena membiarkan laki-laki lain menyentuhmu, Ella,” bisik Alaric di antara ciuman, suaranya serak dan pekat oleh hasrat yang menggelora. “Apa maksudmu?” Ella terengah, melenguh pendek saat Alaric menurunkan kepalanya dan mencium leher Ella. “Jangan pura-pura bodoh.” Alaric menegaskan kalimatnya dengan satu gigitan lembut di leher Ella. Membuat Ella meloloskan satu pekikan kecil. “Siapa yang menyentuhku?” tanya Ella dengan nafas menderu. Otaknya benar-benar sulit diajak berpikir sekarang. Alaric menghentikan gerakannya dan memundurkan kepalanya untuk menatap wajah Ella yang merona merah. “Siapa yang menyentuhmu?” Ia mengulangi pertanyaan Ella dengan nada sinis. Kedua tangannya turun ke pinggang Ella. Ella menelan ludah, matanya menjelajahi wajah Alaric. Ia tahu Alaric memang tampan, tapi saat ini, dengan api kecemburuan dan gairah yang bergejolak di mata Alaric, pria itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan. “Iya, siapa?” Ella mengalungkan lengannya di leher Alaric, dan itu membuat tatapan Alaric semakin menggelap. “Nggak ada.” Alaric mendesis, menurunkan tangannya ke pinggul Ella dan mengangkat tubuh sang istri, membuat kedua kaki Ella refleks melingkari pinggang Alaric erat. “Nggak ada yang boleh menyentuhmu kecuali aku, Ella.” Suaranya yang serak oleh gairah, tatapannya yang fokus hanya pada wajah Ella, serta posisi mereka yang intim membuat kalimat posesif Alaric barusan terdengar begitu seksi. Maka ketika Alaric menindih tubuh Ella di atas kasur, Ella sama sekali tak memberikan penolakan. Mereka kembali b******u. Bibir dan tangan Alaric sudah sibuk menjelajahi tubuh Ella. Desahan dan lenguhan lembut lolos dari bibir Ella setiap kali Alaric menyentuhkan tangan atau bibirnya ke kulit polos sang istri. “Al ….” Ella mencengkram rambut Alaric saat pria itu terus bergerak turun, menciumi kulit perutnya dan terus ke bawah. Alaric baru tahu bahwa namanya bisa terdengar sangat indah saat diucapkan oleh suara manis Ella yang menahan kenikmatan. Seperti bara api yang disiram bensin, tubuh Alaric semakin memanas. Ia melebarkan kedua paha Ella, meloloskan celana Ella dalam satu gerakan cepat. Sebelum Ella sempat protes, bibir Alaric sudah menyusuri paha, betis, hingga ke mata kaki. Membuat Ella menggigit bibir menahan gejolak nafsu yang semakin tak terkendali. Bibir itu kini berganti dengan telapak tangan Alaric, menyusuri di sepanjang kaki Ella, terus ke atas hingga mencengkram pinggulnya. Dan ketika Ella membuka mata karena gerakan Alaric terhenti, ia mendapati tubuh mereka sudah polos tanpa busana. Jantung Ella nyaris lepas dari rongga dadanya saat melihat tubuh polos Alaric. Bahu lebarnya, d**a bidangnya, perut kencangnya, dan …. Ella menelan ludah gugup saat matanya terkunci pada satu titik di tubuh Alaric. “Kamu istriku, El, aku berhak atas tubuhmu kan?” bisik Alaric di sela-sela ciuman. Sepasang bibir tipisnya sudah kembali menjelajahi tubuh Ella. Perut rata Ella, lekukan dadanya, puncaknya yang sensitif, tulang selangkanya yang dilapisi keringat tipis, lehernya yang terdapat beberapa bekas kemerahan, hingga akhirnya sepasang bibir itu berhenti tepat di depan bibir Ella yang membengkak. “Jawab, El.” Alaric kembali berbisik, mengecup bibir Ella lembut. “Aku berhak atas tubuh ini kan?” Tatapan mereka terkunci. Untuk sesaat, Ella merasa ragu. Namun ketika tangan Alaric dengan lembut menyusuri pinggul, pinggang, hingga meremas dadanya dan menggoda puncaknya, Ella mendesah lembut kemudian mengangguk. Mereka sudah menikah, hal seperti ini tidak dapat terelakkan kan? Melihat anggukan kecil itu, Alaric tidak bisa menahan diri lagi. Ia mencengkram kedua paha Ella, melebarkannya, dan menunaikan tugas seorang suami yang belum ia tunaikan sejak mereka dinyatakan sebagai sepasang suami istri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN