“Aku tidak tertarik, Al.” Leonard Wirawan, CEO VistaPlay –platform streaming digital– berkata santai sambil meneguk mojito miliknya.
Hari ini, ia berpartisipasi dalam kejuaraan selancar dunia, salah satu hobinya. Karena itu Alaric mengejarnya sampai ke sini untuk menawarkan kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak.
Alaric tahu ia takkan langsung mendapat jawaban yang ia inginkan, tapi ia sudah menyiapkan diri dengan proposal dan presentasi.
“Selama ini kami selalu mengunggah siaran ulang acara-acara kami di YouTube. Bayangkan kalau platform-mu menyimpan siaran ulang kami, Leo, kalian akan mendapat keuntungan dari penonton lokal kami yang loyal.” Alaric menyodorkan tabletnya yang menampilkan berbagai grafik dan statistik.
Leo meneguk kembali minuman segar miliknya, kemudian menggeleng. “Kamu tahu grafik seperti ini tidak berlaku di dunia digital kan?” Ia menyeringai, mengejek. “Ayolah, Al, jangan buat aku kecewa. Kalau kamu serius dengan kerjasama ini, kamu harusnya datang dengan sesuatu yang lebih menjanjikan.”
Jika bukan karena ia butuh Leo untuk kerjasama ini, Alaric tidak akan memaafkan orang yang merendahkannya seperti itu.
Namun benar kata Leo, Alaric sudah menyiapkan hal lain jika statistik yang ia tunjukkan tidak berhasil. Sayangnya, belum sempat ia menyampaikan apa yang ingin disampaikan, ponselnya lebih dulu bergetar.
Sebuah foto candid masuk ke ponselnya. Alaric bisa saja mengabaikan itu, tapi melihat bahwa foto itu dikirim oleh Tristan, maka pasti foto itu ada kaitannya dengan Elaina.
Dan mau Alaric mengakuinya atau tidak, semua yang berkaitan dengan Elaina mendadak jadi penting baginya sekarang.
Dengan satu ketukan jari telunjuknya, foto itu terbuka. Menampilkan Elaina yang sedang berdiri bersandar di tembok, Dilan menghimpit tubuhnya dan kepala mereka ….
Darah Alaric mendidih, dadanya bergemuruh oleh amarah. Dari angle foto yang dikirimkan padanya, mereka terlihat sedang berciuman.
Tangan Alaric mencengkram ponselnya erat, rahangnya mengetat. Ia berdiri tiba-tiba.
“Pak, mau ke mana?” tegur Yola, sekretaris Alaric yang hari ini juga menemaninya.
“Leo, mereka berdua akan melanjutkan negosiasi ini. Aku harus pergi sekarang, ada urusan yang sangat mendesak.” Alaric berpamitan dengan cepat.
Leo mengernyit tak suka. “Kamu pergi di tengah-tengah meeting penting seperti ini, Al? Kamu sebenarnya serius atau tidak dengan kerjasama ini?”
“Bayu dan Yola akan menjelaskan betapa pentingnya kerjasama ini untukku. Tapi untuk sekarang, aku minta maaf, aku harus pamit pergi. Urusan ini tidak bisa diwakilkan.”
Leo menggeram kesal. Ia tak suka orang lain meninggalkannya begitu saja. “Pergilah!”
“Terima kasih.” Alaric mengangguk sopan dan berjalan cepat keluar ruangan.
Yola mengejar Alaric begitu Bayu menarik perhatian Leo dengan presentasi yang sudah mereka siapkan.
“Pak, ada urusan apa sebenarnya?” Yola menghadang langkah Alaric, menatap bosnya dengan kerutan di dahi.
“Urusan pribadi, tapi penting.” Alaric terus melangkah.
Yola menjajari langkah lebar Alaric. “Memangnya ada urusan yang lebih penting dari pekerjaan?”
“Ada.” Alaric menjawab tanpa menoleh, pikirannya dipenuhi oleh gambar Elaina yang sedang ‘dicium’ oleh Dilan.
“Apa yang lebih penting dari pekerjaan sampai Bapak pergi di tengah meeting super penting ini?” Yola tak mau menyerah. Ini pertama kalinya Alaric meninggalkan pekerjaan untuk ‘urusan pribadi’.
Elaina.
Jawaban itu sudah ada di ujung lidah Alaric, tapi ia mengatupkan rahangnya rapat-rapat, mencegah kalimat itu meluncur dari lidahnya.
“Dengar, Yola.” Alaric tiba-tiba berhenti. “Aku tahu kamu dan Bayu lebih dari kompeten untuk membujuk Leo supaya dia setidaknya mau mempertimbangkan kerjasama ini. Jadi aku serahkan urusan ini padamu.”
“Bapak sebenarnya mau ke mana?” tuntut Yola. “Setidaknya beri saya jawaban yang masuk akal supaya saya menjelaskan di hadapan Pak Leo.”
“Aku akan kembali ke Jakarta sekarang juga. Kalau urusan dengan Leo belum beres, aku akan kembali lagi ke sini besok pagi.”
Yola terbelalak, ternganga tak percaya. “Apa, Pak?”
Namun Alaric sudah melangkah pergi dengan cepat. Ia sudah sibuk dengan ponselnya, memesan tiket pesawat paling cepat untuk segera kembali ke ibukota.
***
Elaina mendorong tubuh Dilan menjauh sebelum bibir Dilan menyentuh pipinya. “Apa yang kamu lakukan, Dilan?!” serunya dengan wajah memerah.
“Maaf, tapi ada daun kering nih.” Dilan menunjukkan daun kering yang tadi menempel di rambut Ella.
“Apa?” Ella menatap Dilan tak percaya.
“Ada daun kering. Aku cuma membantumu menyingkirkannya dari rambutmu.” Dilan tersenyum manis, seolah barusan tidak terjadi apa-apa. “Ayo, kedai tehnya udah deket.”
Dilan berjalan lebih dulu, meninggalkan Ella yang masih berusaha mengatur nafas dan detak jantungnya.
Kedai teh itu berada di dekat kelokan jalan. Begitu mereka memasuki kedai, aroma teh yang baru diseduh memenuhi udara, bercampur dengan harum kayu cendana yang lembut.
Meja-meja kecil berjejer rapi, dilengkapi dengan kursi-kursi berlapis kain bermotif klasik. Di sudut ruangan, terdapat rak kayu penuh dengan toples-toples kaca berisi daun teh dari berbagai penjuru dunia.
Untuk sesaat, Ella lupa akan kejadian di tepi trotoar tadi.
“Sini, El.” Dilan melambaikan tangan ke arahnya, pria itu sudah berdiri di depan seorang barista yang sedang membuat teh.
Barista itu berdiri di balik meja yang dipenuhi berbagai macam alat menyeduh teh. “Silakan mau minum teh apa,” katanya dengan senyum manis.
Ella bergabung dengan Dilan di depan barista itu dan membaca satu persatu nama teh yang tertulis di sana. Tatapannya tertuju pada satu nama teh yang mendadak familiar baginya akhir-akhir ini.
Teh thyme.
Alaric selalu membuatkannya teh itu setiap kali ia bangun tidur. Meski Alaric bilang Bi Lastri yang menyeduhkannya, tapi Ella tahu bahwa Alaric yang menyuruh Bi Lastri melakukan itu. Ella sudah mengonfirmasinya pada Bi Lastri.
“Aku mau teh thyme,” kata Ella kemudian.
Barista itu mengangguk. “Apa kamu mengalami mimpi buruk?”
“Eh?” Ella tertegun. “Apa hubungannya teh thyme dengan mimpi buruk?”
“Teh thyme dipercaya bisa mengurangi mimpi buruk dan membuat tubuh lebih rileks,” jelas si barista.
Jantung Ella mendadak berdetak cepat saat ia menyadari sesuatu. Teh thyme setiap pagi, Alaric yang selalu bangun lebih dulu, dirinya yang merasa tidak bermimpi buruk setiap kali tidur seranjang dengan Alaric.
Mungkinkah ia sebenarnya bermimpi buruk tapi Alaric berhasil menenangkannya hingga ia bisa tidur lagi sebelum sempat benar-benar terbangun?
Jika benar ….
Jantung Ella berdetak semakin kencang. Wajah Alaric berkelebat dengan cepat, tatapan dinginnya, seringai tipisnya … mengapa Alaric tidak mengatakan apapun?
Maka sepanjang sesi minum teh plus makan malam bersama Dilan, Ella sama sekali tidak bisa fokus dengan apapun yang dibicarakan oleh editornya itu. Pikirannya terus berputar-putar, mengulang berbagai kejadian yang melibatkan dirinya dan Alaric.
Mengapa Alaric tidak mengungkit apapun soal mimpi buruknya? Mengapa Alaric perlu repot-repot menyuruh Bi Lastri membuatkan teh yang bisa mengurangi mimpi buruknya? Mengapa Alaric melakukan ini padanya?
Pertanyaan itu terus memenuhi kepala Ella hingga ia kembali ke hotel dan berjalan masuk melewati lobi. Namun sebuah seruan segera menariknya kembali ke kenyataan.
“Elaina!”
Ella berjengit kaget dan berbalik. Kedua matanya melebar saat melihat Alaric turun dari mobil dengan cepat dan melangkah lebar ke arahnya.
“Nggak mungkin.” Ella menggeleng tak percaya. “Dia bilang ada di Bali sampe minggu depan kan? Pasti ini halusinasi,” gumamnya sambil mengucek mata.
Namun ketika matanya kembali terbuka, Alaric sudah berdiri di hadapannya dengan nafas memburu.
“Dari mana saja kamu?” desis Alaric tajam.
Ella masih menatap Alaric tak percaya. Jantungnya berdebar semakin tak karuan.
“Jawab, Ella!” hardik Alaric galak.
“Tadi ….” Ella menelan ludah gugup. “Aku pergi minum teh sama Dil–”
Kalimat Ella terpotong begitu saja ketika Alaric mencengkram tengkuknya dan membungkam mulut Ella dengan bibirnya.