“Dia ke mana?” Kedua alis Alaric bertaut. Ia menyingkir dari kehebohan di tepi pantai untuk menerima telepon, sebuah acara World Surf League Championship sedang berlangsung di sini.
“Ke Bandung.” Suara Tristan, teman dekat sekaligus COO sebuah perusahaan keamanan terdengar di ujung telepon.
Alaric menggeram kesal. “Dia ke Bandung? Hanya selang sehari setelah gue berangkat ke Bali?”
Tristan tertawa di ujung telepon. “Santai, Al. Dia sama temen ceweknya kok.”
Entah kenapa informasi itu membuat kekesalan Alaric sedikit berkurang.
Segera setelah ia keluar dari kamar Elaina kemarin, Alaric menelepon Tristan dan memintanya untuk menyediakan orang yang bisa memata-matai Elaina selama ia pergi. Dan laporan pertama yang ia dapatkan adalah Elaina pergi ke Bandung tanpa memberitahunya sama sekali.
“Lo yakin itu temen ceweknya?” desak Alaric, rahangnya masih mengetat.
“Seratus persen yakin. Mau gue lacak siapa temen ceweknya ini?”
“Oke, boleh. Sekalian cari tahu mereka ke mana aja selama di Bandung.”
“Nggak gratis, bro.” Tristan terkekeh.
“Ya udah nggak jadi, gue minta tolong Ethan aja. Lo kira lo doang yang bisa begituan?” Alaric mendengus kesal.
Tristan terbahak di seberang telepon. “Lo kayak anak kecil, ngambekan. Padahal duit lo unlimited, tapi bayar jasa temen aja perhitungan.” Ia masih terkekeh kecil sebelum melanjutkan. “Tapi gue nggak perlu ngelacak siapa cewek yang bareng istri lo karena dia adek gue.”
Alaric membelalak. “Sialan lo!” Meski mengumpat, tapi kekesalan Alaric semakin berkurang karena ia mengenal siapa wanita yang bersama Elaina. “Jadi Ella bareng si Alya?”
“Iya. Kayaknya mereka cuma liburan aja sih, jalan-jalan gitu. Lo masih mau ngirim orang buat mata-matain istri lo?”
Alaric terdiam sesaat. “Masih. Pokoknya selama gue di sini, gue mau laporan detail soal ke mana dan sama siapa Ella pergi.”
“Posesif,” ejek Tristan.
Alaric hanya mendengus kasar. “Awas kalau sampe gue nggak puas sama pelayanan lo.”
“Beres, Bos.”
Panggilan telepon itu terputus, Alaric kembali bergabung bersama timnya. “Gimana? Kamu sudah tahu di mana Leo?”
“Belum, Pak. Tapi harusnya dia main hari ini.”
Alaric mengangguk dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana, memperhatikan kehebohan orang yang bersorak-sorai di tepi pantai.
Alaric datang ke sini untuk kepentingan bisnis. Ia harus bertemu Leonard Wirawan, CEO VistaPlay untuk menjalin kerjasama. Alaric yakin, jika ia berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan teknologi dan platform streaming digital itu, kredibilitasnya sebagai kandidat CEO BSD Group akan meningkat pesat.
Maka meski kepalanya sedang dipenuhi oleh sosok wanita cantik nan anggun yang membuatnya kesal akhir-akhir ini, Alaric harus tetap fokus dengan tujuan utamanya datang ke sini.
***
Bekasi, keesokan harinya.
“Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal balik ke Jakarta?” Alya menatap Ella lurus-lurus.
“Nggak apa-apa, Al. Tim dari penerbit bakal dateng hari ini kok. Nanti siang aku udah mulai tur ke sekolah-sekolah.”
Alya menghela nafas pelan. “Ya udah, hati-hati selama aku nggak ada dan mereka belum datang. Maaf banget nggak bisa nemenin sampe mereka datang, besok ada wedding di Bogor, hari ini aku harus mastiin semuanya udah 100% siap.”
“Al, nggak apa-apa. Aku bukan anak kecil kok.” Ella tersenyum manis.
Alya memeluk Ella kemudian berpamitan. “Aku berangkat, ya? Jaga diri, El.”
Ella mengantarkan Alya hingga ke mobilnya. Mereka saling melambaikan tangan sampai akhirnya mobil Alya melaju pergi dan hilang di kelokan jalan.”
Sepeninggal Alya, rasa sepi langsung menyergap Ella. Tapi ia buru-buru mengenyahkan perasaan rapuh itu. Ia punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan sambil menunggu kedatangan tim dari penerbit.
“Untung ini ada di tasku,” gumam Ella sambil menyalakan iPad-nya ketika ia tiba di kamar hotelnya. “Kalau ini juga dihancurkan sama si iblis laknat itu, udah nggak tahu deh aku harus gimana.”
Laptop dan tablet grafis milik Ella yang dihancurkan oleh Alaric sama sekali tidak bisa diperbaiki. Seluruh data di dalamnya juga tidak bisa diselamatkan. Untungnya, ia masih menyimpan beberapa draft ilustrasi terbarunya di dalam iPad yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.
Meski begitu, bukan berarti Ella memaafkan Alaric. Dan kepergiannya ke Bandung lalu sekarang ke Bekasi tanpa memberitahu sang suami itu adalah salah satu bentuk pembangkangan yang sengaja ia lakukan.
Ella ingin menunjukkan pada Alaric bahwa pria itu tak bisa memperlakukannya seenak jidat. Ia akan memberikan perlawanan sengit.
***
“Kamu bisa beda banget kalau lagi cerita sama anak-anak, ya?” ucap Dilan setelah Ella tampil di depan murid-murid sekolah dasar.
“Emang apa bedanya?”
“Lebih ekspresif. Tapi itu bagus kok, karena dengan begitu kan anak-anak jadi tertarik sama cerita yang kamu bacakan. Cuma … aku agak kaget aja.” Dilan tertawa pelan, membuat lesung pipi manisnya muncul.
Ella tersenyum tipis mendengar pujian itu. “Awalnya aku juga nggak bisa seekspresif itu kok. Tapi setelah berkali-kali belajar, akhirnya bisa juga. Cuma butuh pembiasaan aja.”
Dilan mengangguk sepakat.
“Jadi kamu mau ngajak aku ke mana nih?” tanya Ella kemudian.
Sore ini mereka tidak punya jadwal khusus. Dan Dilan mengajak Ella untuk pergi ke suatu tempat. Bosan berada di kamar hotel sendirian, akhirnya Ella mengiyakan ajakan Dilan.
“Kamu suka minum teh?” Dilan bertanya.
“Suka. Kenapa?”
Wajah Dilan langsung tampak berbinar. “Ada tea house yang menyediakan berbagai macam jenis teh di dekat sini. Aku nggak pernah punya kesempatan datang ke sana karena kebanyakan orang yang aku kenal lebih suka kopi daripada teh. Dan karena aku nggak suka pergi sendiri, jadi aku ngajak kamu. Nggak apa-apa kan?”
Senyum Ella mengembang. “Nggak apa-apa dong. Aku juga nggak pernah pergi ke tea house. Biasanya nyeduh teh sendiri di rumah.”
Dilan tertawa pelan. “Aku tahu kita punya banyak kecocokan.”
Ella menoleh dan tertegun saat mendapati tatapan Dilan padanya begitu dalam dan lembut. Itu bukan tatapan biasa, itu tatapan orang yang menyimpan perasaan spesial.
Terlalu terhanyut dengan cara Dilan menatapnya, Ella sampai tak sadar kakinya berjalan sedikit keluar jalur. Sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, nyaris menyerempetnya jika Dilan tidak segera menariknya menjauh.
“Awas, El!” seru Dilan sambil mendekap tubuh Ella dan membawa mereka menjauh dari tepi jalan.
Ella meringis saat punggungnya membentur tembok, tubuh Dilan sudah mengurungnya, seolah melindunginya dari bahaya di sekitar mereka.
Nafas mereka menderu, jantung mereka berdebar kencang karena kejadian mengejutkan tadi.
Ella mendongak, mendapati tatapan Dilan menghunjam lekat ke manik matanya.
Tatapan itu begitu dalam dan lembut, membuat Ella tak ingin mengalihkan pandangannya dari mata kecokelatan Dilan yang mengurungnya.
Tangan Dilan terangkat, menyingkirkan rambut Ella yang jatuh ke dahinya. “Hati-hati, El,” lirihnya sedikit serak. “Aku nggak mau kamu terluka, meski itu hanya sebuah goresan kecil.”
Ujung jemari Dilan membelai pipi Ella, menyelipkan rambut sang dara ke belakang telinga. Untuk sesaat, seluruh dunia seolah menjadi kabur dan hanya menyisakan mereka berdua.
Dilan menunduk, wajahnya mendekat seinci ke wajah Ella. “Kamu terlalu berharga untuk terluka meski itu hanya tertusuk jarum kecil.”
Dilan semakin memangkas jarak, memanfaatkan Ella yang sepertinya membeku. Kini, bibirnya sudah amat dekat dengan kulit pipi Ella.