"Manusia sering kali mendadak menjadi hebat, di saat dia kepepet atau terjebak dalam situasi sulit."
John berlari, mengikuti wanita yang berlari di depannya dengan ekspresi ketakutan, memegang tangannya dan membuatnya berlari lebih cepat. John, lelaki mantan atlet Anggar, yang dulu, sering kali rutin berlari, sehingga tubuh kurusnya, menjadi sangat atletis dan memiliki beberapa otot yang mengangumkan, terutama di bagian kaki dan lengannya, entah bagaimana, menjadi sangat berani, padahal, sebelumnya, dia hanyalah seorang pengecut, yang bahkan tak bisa berbuat apa-apa saat nyawanya terancam. Apakah dia bersikap begitu, karena ingin menolong wanita yang ketakutan itu? Bisa jadi, tetapi John, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Dia tidak sedang dalam keadaan senggang. Bahkan, dia tak sempat melirik Annie, adik perempuannya, untuk yang terakhir, kalau-kalau, dia tak akan berhasil menyelamatkan diri. John langsung merutuki dirinya, dia mungkin, tak seharusnya sok menjadi pahlawan tadi. Namun, keputusan itu, tak serta-merta terlontar tanpa pertimbangan apapun.
John berpikir, kalaupun dia dan wanita yang hendak ditolongnya, tak selamat dari kejaran zombie, Annie, Mikhael dan Daniel, pasti akan selamat. Annie, adiknya, sangat cerdas dan tangkas dalam memanah, mengalahkan separuh zombie itu, tentu bukan hal yang mustahil untuknya. Selain itu, dia dibantu dengan Mikhael dan Daniel, di mana kakek dan cucu itu, terlihat berpengalaman dan kuat. Daniel, dengan tongkat bibolnya, dan Mikhael dengan senapan laras panjang, sepertinya, bukanlah kakek-cucu biasa. Mereka pasti seorang pemburu berpengalaman. Analisa John, bisa saja salah, tetapi kemungkinan besar, apa yang dipikirkannya adalah benar, sehingga dalam seperkian detik, dia mengambil keputusan. Dia harus menyelamatkan Annie, apapun yang terjadi, adiknya harus selamat. Meskipun dia berjanji akan menemui Annie lagi, jika dirinya tak datang, Annie yang cerdas pasti sudah bisa menebak kalau dirinya tak berhasil selamat dan sudah mati atau menjadi zombie. Dengan begitu, Annie akan bergabung dengan Mikhael dan Daniel. Dia tidak akan sendirian, hal itu membuat John sedikit merasa lega.
John sangat menyayangi Annie. Meskipun hubungan mereka tidak terlalu baik selama ini. Akan tetapi, John tulus pada Annie. Baginya, Annie adalah satu-satunya anggota keluarga, juga, adiknya yang manis, yang meskipun bisa menjaga diri sendiri, John tetap ingin melindungi. Baginya, menjaga dan melindungi Annie, sebisa yang dia mampu, adalah cara terakhir untuk menebus segala dosanya selama ini. Meskipun sempat tidak dapat diandalkan, terutama saat wabah pertama kali terjadi dan dia hampir mati, kalau tidak ditolong oleh Annie, John merasa, cukup satu kali dia berhutang budi. Dia tidak mau menjadi pengecut. Kalaupun harus mati, dia tidak ingin dalam keadaan menyedihkan. Dia ingin mati secara mulia di depan Annie, atau tidak perlu sampai di depan Annie, setidaknya, adik perempuannya itu, mengingatnya sebagai seseorang yang layak untuk diingat meskipun hanya sebentar saja. John tidak mau dikenang sebagai pecundang atau pengecut menyedihkan di akhir hayatnya. Dia ingin mengubah stigma itu, meskipun dia tak yakin, bisa mewujudkannya.
John bisa saja membela dirinya. Ada senjata pedang samurai di pinggangnya. Namun, John, sama sekali tak bisa menggunakannya di situasi seperti itu. Jika duel satu lawan satu, mungkin, dia akan memiliki kesempatan untuk bisa menang. Akan tetapi, jika main keroyokan begitu, berlari secepat yang dia bisa adalah cara terbaik dan paling tepat untuk diterapkan. Ini bukan soal harga diri atau gengsi, melainkan nyawa manusia. Dia sudah siap untuk mati, tetapi wanita yang ingin ditolongnya, setidaknya, harus bisa selamat dan bisa melarikan diri dengan aman. John hanya mengharapkan hal itu, tidak muluk-muluk. Sebagai lelaki, ambisinya memang tidak pernah tinggi. Dia tipe manusia yang menerima segalanya apa adanya, pasrah. Kepribadian yang tidak baik, tetapi juga tidak buruk. Bergantung bagaimana orang lain menganggapnya seperti apa. Itu adalah pilihan mereka. Juga, keputusan akhir John karena bagaimanapun, dia yang menerapkan hal itu. Dia sudah siap dengan segala resiko, meskipun terkadang, merasa sudah salah langkah, ingin menyerah dan sedikit putus asa. Namun, John adalah lelaki yang cukup kuat, sehingga bisa bertahan hidup selama ini di dunia yang tidak pernah ramah ini.
John menggenggam erat tangan wanita yang tadi berniat ditolongnya. Membawa samurai, sekaligus, kotak panah cadangan Annie, serta menarik tangan wanita, membuat John merasa lelah. Namun, dia terus berlari, semakin cepat dan semakin bertambah cepat. Tubuhnya yang seringan kapas, seolah akan bisa terbang andai tak menarik tangan orang lain. John memperhatikannya sekilas, wanita itu cukup cantik, meskipun tentu, Annie, jauh lebih cantik. Tidak! John bukannya sedang bermain-main, tetapi pemikiran tidak penting itu, membantunya untuk tetap tenang, berlari dengan cepat saat takut, hanya akan membuatnya panik, mungkin, juga bisa tersandung. Jadi, John mencoba untuk tetap waras. Sebab, sekarang, dia sadar, harus memberikan kotak cadangan panah Annie pada adiknya tersebut. Dia tidak bisa mati hari ini. Bagaimanapun caranya, dia harus bertahan dan menemui Annie lagi.
John berhenti mendadak, membuat wanita itu melihat John dengan bingung.
"Äda apa?" tanyanya dengan suara yang cukup dalam.
"Jalan buntu," ujar John sembari menunjuk ke depan, sebuah tembok besar menunggu. Mereka tiba di tempat pembuangan sampah terakhir. Yang di depan mereka saat ini, adalah tembok yang mengelilingi are pembuangan. Mereka harus berlari lagi, menembuh jarak yan cukup jauh untuk bisa sampai di pintu gerbang. Sekarang, mereka tidak bisa melangkah ke mana-mana. John menoleh ke belakang dan jarak zombie dengan mereka, menjadi semakin kecil.
"Bagaimana selanjutnya? Apa kita akan mati di sini dan menjadi zombie?" Wanita itu terlihat panik, berkeringat dan pucat.
Ini tidak bagus, ucap John dalam hati.
"Aku ada ide," ujar John lantas menarik tangan wanita itu menuju ke arah pintu gerbang lantas masuk ke dalamnya. John menelan ludah, saat melihat dua zombie, petugas sampah, berdiri cukup jauh dari mereka.
"Mari melangkah pelan-pelan," usul John.
John masuk ke kotak besar sampah yang ditumpuk, belum dibakar. Sepertinya, petugas sampahnya, lebih cepat tertular menjadi zombie, dibandingkan melaksanakan tugasnya.
"Masuk ke dalam sini? Tidak mau!" Wanita itu berbisik dengan pupil mata sedikit membulat, protes karena dirinya harus masuk ke dalam tumpukan sampah yang pasti sangat bau.
"Hidup atau mati, terserah kamu." John masuk lebih dulu, mengais-gais sampah, memberikan tempat yang cukup untuknya masuk ke dalam, setelahnya, menutupi tubuhnya kembali. Wanita itu tidak ada pilihan lain, selain, karena zombie yang tadi mengejarnya, sudah memasuki area pembuangan sampah, mencari sang mangsa yang belum berhasil ditangkapnya.
Mereka berdua pun membenamkan diri dalam tumpukan sampah, sembari berdoa agar zombie-zombie itu segera pergi, memberikan waktu yang cukup untuk mereka bisa keluar dan kabur dari sana. Ini mungkin terdengar seperti mustahil, tapi John berpikir, zombie-zombie itu, tidak akan diam di satu tempat, melainkan mencoba untuk terus bergerak dan mencari mangsa sebagai santapan. Saat gerombolan zombie-zombie itu mendekat ke arah mereka bersembunyi, John dan wanita tanpa nama itu, menahan diri sebanyak mungkin. Juga, meminikan gerakan dan berusaha untuk tidak berbicara sama sekali.
"Dengar, John, ini mungkin hanya analisaku, tapi dari sejauh yang aku amati, aku mendapatkan informasi penting mengenai zombie yang kita hadapi," ucap Annie, saat mereka sedang duduk, meringkuk, menunggu pagi datang sebelum keluar dari rumah aman dan nyaman yang mereka tempati selama bertahun-tahun. Diam di rumah, hanya adalah keputusan bodoh, sama seperti bunuh diri, sehingga John dan Annie, terpaksa meninggalkan rumah warisan ayah mereka agar tetap bisa hidup sebagai manusia, bukan pemangsa manusia alias zombie.
"Sejauh yang aku tahu, mereka tidak bisa melihat," terang Annie.
"Heh?"
"Kamu ingat? Saat nenek Marta mengejarmu, tidak, saat zombie itu datang dan mencoba menyerangmu, mereka tidak melakukan apapun padaku, sampai aku mengeluarkan suara dan dalam jarak yang dekat dengan mereka. Selain itu, gerakan mereka, sepertinya terpancing dari suara." Annie menjelaskan, sementara John mendengarkan dengan seksama, tidak mau ketinggalan satu informasi pun.
"Kamu yakin?"
Annie mengangguk cepat, "Yakin. Jika tidak, bagaimana mungkin, kita masih hidup sampai saat ini kan? Jika semua dimulai dari semalam, kenapa mereka tidak menyerang sampai kamu keluar rumah dan dengan komyolnya, memanggil nama nenek Marta kan?" Annie berargumen.
"Mungkin saja, apa yang kamu katakan benar, lantas?"
"Jika begitu, saat dalam keadaan terdesak, kamu harus berada di tempat yang baunya, bisa membuat bau tubuhmu tidak tercium. Juga, jangan sampai bersuara. Mereka akan menemukanmu jika melakukannya." Annie menyarankan.
"Baiklah," sahut John waktu itu, dengan ekspresi ogah-ogahan karena setengah percaya dan tidak. Namun, mengingat, John menyembunyikan tubuhnya dalam tumpukan sampah, menyamarkan baunya, saat ini, John pasti sangat mempercayai Annie. Segala yang dikatakan adiknya benar, sebab, perempuan itu, jauh lebih pintar daripada dirinya. John mengakui hal itu tanpa perlu gengsi, sebab, adiknya, memang terkenal sangat genius sejak dulu. Dia sudah terbiasa mendengar tentang Annie, juga dirinya, sehingga sudah terbiasa seperti demikian.
John mengepalkna tangan, dengan seulas senyum terbit di ujung bibirnya. Seperti yang dikatakan Annie, zombie-zombie itu tidak bisa melihat. Saat mereka mendengar suara dari arah lain, mereka berbondong-bondong pergi, hanya tinggal satu zombie saja, petugas sampah yang tadi mereka lihat. Satu petugas, sepertinya sudah berhasil pergi dari tempat itu, menuju ke tempat lain.
"Apa sekarang, kita bisa keluar?" tanya wanita itu.
John keluar lebih dulu, baru kemudian wanita itu. John memeriksa ke sekeliling, tidak ada zombie, hanya tersisa satu. Dia bertekad untuk membunuh zombie itu, tetapi wanita itu dengan sigap, mengeluarkan sebuah senjata api jenis Desert Eagle. Jenis senjata api pistol buatan Israel bernama Desert Eagle ini memiliki kemampuan daya tembak yang luar biasa. Dimana jika pistol pada umumnya hanya bisa menembus sasaran, namun berbeda dengan pistol ini. Desert Eagle mampu menembus target sekaligus membuat target hancur seketika, seperti dilansir dari avclub.com. Berat pistol ini bisa mencapai 2 kg dengan panjang sekitar 30 cm. Pistol ini memiliki daya tembak 2000 joule yang akan menghasilkan suara tembakan yang amat keras.
John buru-buru mencegah wanita itu menembak.
"Biar aku saja," ujar John lantas berjalan mendekati zombie dengan pedangnya. Zombie yang mendengar suara John seketiga langsung mengerang dan menyerang, tetapi pertaruangan itu selesai kurang dari setengah menit. John sudah memenggal kepala zombie itu, membuat tubuh tanpa kepala itu kejang-kejang beberapa saat, lantas, darah mencuat keluar dari sisa tebasan John dan tubuh zombie itu tak lagi bergerak lagi. Mati.
"Pistol akan memancing mereka datang lagi," ujar John setelah memasukkan kembali samurainya ke dalam sarungnya. "Ayo pergi, di sini tidak aman." John mengusulkan.
"Kita akan kembali ke sungai?" tanyanya.
John mengangguk, "Aku harus memeriksa adikku," katanya beralasan.
Wanita itu terlihat bimbang, "Jika kamu merasa takut, kamu bisa di sini. Aku akan pergi," kata John lagi.
"Aku ikut denganmu." Wanita itu dengan cepat memutuskan.
John hanya mengangguk, lantas mereka pun berjalan pergi, menuju ke tempat di mana John dan Annie berpisah tadi. Lelaki jangkung itu, sangat sadar, kalau semua perjuangannya barusan, hanya akan sia-sia, jika dia kembali ke tempat Annie, yang belum tentu ada di sana, menunggunya, tetapi, ingin mengembalikan panas cadangan Annie, telah memberikan misi baru untuk John, membuatnya tidak ingin mati. Dia ingin terus hidup, sebuah keberanian yang datang dengan alasan tak terduga dan cukup terdengar istimewa.
"Tidak ada," ujar John saat dia dan wanita itu sudah ada di jembatan dan tidak ada siapapun di sana, hanya mayat zombie yang mati. Salah satunya, karena anak panah yang tertancap tepat di matanya, menembus otak dan membuat zombie itu mati seketika. Baik manusia ataupun zombie, sepertinya sama, mereka akan sama-sama mati saat otak mereka dihancurkan. Bagaimanapun, organ itulah yang banyak berperan dalam kehidupan ini. Tidak perlu diragukan atau diperdebatkan lagi.
"Lantas, bagaimana?" Wanita itu menatap John lekat.
"Kita lanjutkan perjalanan, mungkin saja Annie sudah pergi lebih dulu." John tidak mau berpikir buruk. Anak panah di mata zombie itu, ditariknya dengan susah payah, melepaskan kornea mata yang menancap dengan pedangnya, lantas memasukkannya ke dalam kotak cadangan panah Annie.
"Btw, terima kasih sudah menolongku." Wanita itu mengulurkan tangannya, "Aku Marie."
"John." Mereka saling berjabat sebentar.
Saat mereka samar-samar mendengar suara erangan, mereka tahu, kalau tempat itu, tidak aman lagi.
"Ayo pergi." John berjalan lebih dulu, baru kemudian Marie. Keduanya lalu setengah berlari, berdampingan, mencoba untuk cepat melintas. sebentar lagi siang, mereka tidak bisa di tempat terbuka. Itu tidak akan menguntungkan keduanya.
"Annie, tunggulah. Aku akan segera datang," ucap John dalam hati. Sebagai seorang kakak, dia sangat berharap Annie bisa melewati krisis, sama seperti dirinya dan suatu saat nanti, mereka bisa bertemu lagi. Pasti. Namun, bukan sebagai zombie atau mangsa zombie, melainkan sebagai manusia.