4. Ancaman yang Gagal

1814 Kata
Dinda menaikkan tudung sweaternya untuk menutupi kepalanya dengan harapan setidaknya bisa mengurangi sedikit saja rasa dingin yang menderanya. Padahal Dinda lahir dan besar di Bandung, udara dingin pegunungan sudah menjadi santapan sehari-hari dan harusnya Dinda sudah terbiasa. Masa baru enam bulan pindah ke Jakarta saja Dinda jadi sebegini cemennya hanya untuk melawan udara dingin. Ah, bodo amat, dingin ya dingin. Nggak ada urusannya sama lahir dan besar dimana. Buktinya orang-orang eropa juga tetap saja kedinginan setiap musim dingin. Ok, stop membahas dingin-dinginan karena saat ini Dinda sedang bertarung melawang dinginnya udara Lembang yang seakan menusuk tulang hanya untuk segelas coklat panas. Lucu sekali, Dinda berniat membuat coklat panas untuk menghangatkan tubuh tapi untuk membuatnya itu berarti Dinda harus menyebrangi halaman yang membatasi bangunan yang Dinda tempati dan rumah joglo tempatnya bisa menyeduh coklat panas. "Harusnya gue minta sama tante Ambar aja buat bawa bubuk coklat panasnya ke rumah sebelah, jadi gue gak perlu menantang maut begini. Brrrr, dingin!" gerutu Dinda sambil setengah berlari agar cepat sampai ke rumah joglo. Halaman yang tadi siang Dinda puji keindahannya itu kini tidak lagi indah bagi Dinda, yang ada justru menyusahkan. Iya, karena ukurannya yang sangat luas! "Gila banget, tadi gue yang bilang sendiri Lembang udah gak sedingin dulu tapi sekarang rasanya gue mau beku saking dinginnya!" Lagi-lagi Dinda menggerutu meskipun kini kakinya sudah menginjak lantai kayu rumah joglo. Dinda membuka pintu samping yang langsung tersambung ke dapur. Dan hal pertama yang Dinda dapati adalah sepi. Hanya terdengar samar-samar suara televisi terdengar dari arah ruang keluarga. Sebenarnya tante Ambar sudah memberikan izin bebas kepada Dinda untuk menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri yang itu berarti Dinda bebas untuk melakukan apa saja, termasuk menggeratak dapur. Tapi Dinda dididik untuk jadi anak yang sopan santun oleh sebab itu Dinda memilih untuk setidaknya minta izin kepada tante Ambar untuk menyeduh coklat panas di dapurnya, meskipun hal itu hanyalah basa-basi belaka. Dinda melangkah ke arah sudut rumah joglo yang difungsikan sebagai ruang keluarga. Cahaya temaram langsung menyambut Dinda, hanya ada sebuah lampu kekuningan dan cahaya dari televisi yang menerangi ruang tersebut. Dan Dinda bisa melihat ada Ambar disana, tengah duduk sendirian. Setidaknya menurut sepenglihatan Dinda karena posisi Ambar yang membelakangi Dinda dan sandaran sofa menutupi tubuhnya sebatas punggung. "Eum...misi tan," ucap Dinda pelan, takut mengganggu namun setidaknya cukup bisa didengar oleh Ambar yang langsung menolehkan kepalanya ke arah Dinda. "Eh, Din, kenapa? Sini-sini..." Ambar terlihat senang dengan kedatangan Dinda meskipun dia sedikit terlihat terkejut juga. "Mau nonton, Din?" Dinda tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Eh, enggak anu itu tan, Dinda boleh bikin coklat panas nggak?" Ambar tertawa pelan, "kamu tuh ya, 'kan tante udah bilang anggep aja rumah sendiri, ambil aja kalau kamu mau apapun di dapur," katanya yang membuat Dinda cengengesan di tempat. Lalu Ambar kembali bertanya, "emang di dapur rumah sebelah nggak ada stok coklat panas, Din?" yang langsung dijawab Dinda dengan gelengan. "Nggak ada tante, hehehe." Lagi-lagi Dinda hanya bisa cengengesan. Mungkin karena dia belum merasa begitu akrab dengan Ambar. "Yaudah seduh aja gih, kalo mau ambil makanan di kulkas atau kue di lemari juga nggak apa-apa ya Din, nggak usah minta izin segala," ujar Ambar lembut. Dinda mengulas senyum. Ah, bagaimana bisa wanita sebaik dan selembut tante Ambar punya anak yang jenisnya semacam Bani. Bukan jenisnya lagi tetapi memang anaknya tante Ambar itu Bani. Hah, Dinda masih tidak percaya fakta itu. Ngomong-ngomong soal Bani, kemana cowok berkepribadian ganda tersebut? Bukan, Dinda bukan mencari keberadaan Bani karena ingin bertemu dengan cowok itu, tetapi Dinda justru mau ngacir kalau Bani memang ada di situ juga. Males banget dia ketemu Bani. Ya walaupun kemungkinan untuk tidak bertemu Bani adalah kecil karena faktanya Dinda sekarang sedang berada di rumahnya. Ulang, rumahnya. Hah, apes-apes. "Yaudah tan, Dinda pamit ke dapur dulu ya," pamit Dinda sebelum dirinya melangkah pergi meninggalkan tante Ambar. Dinda buru-buru mengambil mug yang berada di lemari serta bubuk coklat panas di kabinet kitchen set. Kenapa Dinda bisa tau letak benda-benda tersebut? Karena tadi siang tante Ambar memang sudah memberi tau Dinda. Ok, kembali aktifitas Dinda untuk menyeduh coklat panas. Dinda mengisi air panas di gelasnya lalu mengaduknya dengan sendok. Ketika Dinda sudah siap untuk membawa minuman mengepul itu ke kamarnya yang ada di rumah sebelah, Dinda bisa mendengar samar-samar suara Bani. Ohiya, dinding yang membatasi ruang keluarga dengan dapur bersih merupakan sebuah dinding terbuat dari kayu ukiran. Jadi Dinda bisa melihat ke arah ruang keluarga dari dapur lewat celah-celah kecil ukiran dinding. Benar saja ternyata meman Bani. Sebenarnya Dinda sudah siap kabur, tetapi pemandangan yang Dinda lihat benar-benar menarik perhatiannya. Sangat-sangat menarik. Iya, bagaimana tidak? Dinda melihat Bani sedang meringkuk di atas sofa persis di sebelah Ambar dengan posisi kepala di atas pangkuan bundanya. Dan hebatnya lagi, tante Ambar tengah mengelus-elus lembut kepala Bani seolah Bani adalah anak berusia lima tahun yang perlu dinina bobokan. Sepertinya saat tadi Dinda menghampiri tante Ambar, Bani juga ada di sana sedang tidur namun tidak terlihat karena tertutup sandaran sofa. Dinda mengumpat dalam hati, mensesalkan kenapa dia tidak membawa serta ponselnya. Kan pemandangan ini bisa menjadi berita besar jika Dinda bisa mengabadikannya. Baniansyah si ketua geng The Fabs yang selama ini terlihat dingin,cuek dan galak ternyata hanyalah seorang bayi besar! Dinda jadi kepikiran untuk berlari ke kamarnya dan mengambil ponsel. Dinda tidak masalah kok kalau harus menerjang udara dingin sekali lagi menyebrangi halaman. Sumpah, asal dia bisa balas dendam kepada Bani badai pun akan Dinda terjang! "Nda barusan kayak lagi ngobrol sama orang. Siapa, nda?" Dinda bisa mendengar Bani bertanya kepada tante Ambar. Sumpah demi apapun Dinda merinding mendengar nada suara Bani. Benar-benar berbeda dengan yang biasa ia dengar di sekolah. "Oh itu si Dinda, dia mau nyeduh hot chocolate katanya," jawab Ambar sambil masih mengusap-usap rambut Bani dengan sayang. Seketika Bani menegakkan tubuhnya. "Hah? Dinda?" tanya Bani panik yang membuat Ambar mengernyit. "Iya, Dinda, kenapa emang?" tanya Ambar bingung. Dinda ikut mengernyit begitu melihat Bani yang terlihat panik akan kedatangannya. Jangan-jangan... "Ian ke belakang bentar, nda!" ucap Bani tiba-tiba berdiri dan bergegas berlari ke arah dapur. Melihat itu Dinda buru-buru berlari takut ketahuan sudah mengintip dan nguping. Dan lebih bahayanya lagi, kalau Bani memang berlari untuk menemuinya. BAHAYA! "Aduh!" seru Dinda saat tidak sengaja menumpahkan coklat panas mengenai sweaternya ketika berlari di halaman. Ah masa bodo deh minumannya tumpah, yang penting Dinda segera sampai kamar dan menguncinya. Tapi terlambat karena belum sampai Dinda mencapai pintu rumah, Dinda mendengar teriakan di belakangnya. "WOY!" Bani. Matilah Dinda. Dinda tidak memperdulikan Bani dan dengan tergesa berlari untuk membuka kenop pintu. Tetapi baru saja tangannya menyentuh kenop Dinda kembali mendengar suara. Dan suara itu begitu dekat di belakangnya. "Berhenti, Dinda!" Mati lo, Din, mati! Batin Dinda. Dinda berbalik dan refleks mundur ketika Bani sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya. Dinda benar-benar tidak punya bakat kabur. Dia tertangkap. "Ma—mau apa, lo?!" tanya Dinda ketus, berusaha terlihat tidak takut sama sekali padahal dalam hati Dinda sudah komat-kamit baca doa. Bani menatap Dinda datar. Dan Dinda sadar cowok yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Baniansya si ketua geng The Fabs dan bukan Ian anaknya tante Ambar. Meskipun mereka adalah orang yang sama tetapi aura yang mereka keluarkan benar-benar berbeda. "Kenapa lo lari?" tanya Bani datar. Dinda memutar matanya,mencoba mencari-cari jawaban. Iya juga ya, ngapain gue lari? Kesannya kayak gue abis ngelakuin kejahatan. Eh, apa nguping emang tindak kejahatan? Batinnya. "Gue...ya terserah gue lah! Mau lari kek, mau ngesot. Apa urusan lo?" tanya Dinda nyolot. Setidaknya nyolot adalah pilihan untuk terbebas dari intimidasi. Padahal Bani hanya diam dengan tampang datarnya tetapi kenapa Dinda merasa diintimidasi, ya? Bani melipat tangannya di depan d**a. Menatap Dinda dari atas ke bawah. Jujur saja, Dinda terlihat lucu dengan celana piyama bergambar teddie bear dan atasan berupa sweater kebesaran yang membuat tubuh mungilnya tenggelam. Apalagi dengan tudung sweater yang juga menutupi kepalanya. Dan semakin lucu karena tubuh gadis itu bergetar kedinginan bercampur ketakutan meskipun wajahnya berusaha terlihat judes dan menantang. As always, Bani selalu berhasil membuat orang di sekitarnya terintimidasi. "Lo bener, itu bukan urusan gue. Tapi tindakan lo barusan mencurigakan," todong Bani membuat Dinda menegang. Jangan bilang dia emang tau gue nguping? Batin Dinda panik. Nggak, nggak lucu kalau setelah ini dia masih harus mengalami penyiksaan lagi dari Bani. Masa tidak cukup selama hari sekolah, liburan pun juga Dinda harus disiksa oleh Bani? "Apaansih? Orang gue cuma bikin minuman doang!" "Lo liat gue di sofa tadi?" tanya Bani mengabaikan kata-kata Dinda. Dinda mengerjapkan matanya. "Hah? Eng—enggak! Gue tadi emang nyamperin tante Ambar tapi dari belakang dan nggak tau kalo lo lagi ngeringkuk di sampingnya!" "Darimana lo tau kalo gue ngeringkuk disamping Bunda?" tanya Bani membuat Dinda seketika mengutuk dalam hati. Mulut bego. "Da—dari...ya nebak aja, tadi 'kan gue nggak liat lo di sofa ya berarti kalo lo emang di situ pasti lo lagi tiduran atau ngeringkuk!" "Terus ngapain lo lari?" tanya Bani lagi karena alasan Dinda tadi cukup masuk akal walaupun sebenarnya Bani juga tau alasan itu pasti baru saja Dinda dapatkan. Dinda terkesiap. "Kan gue bilang suka-suka gue lah mau ngapain. Udah ah gue mau masuk!" ucap Dinda sambil berbalik dan siap masuk ke dalam rumah tetapi langkahnya kembali terhenti ketika mendengar suara Bani yang penuh penekanan. "Gue masih ngomong sama lo, Dinda." Kampret, kenapa gue nurut gini sih? Dinda berbalik lagi menghadap Bani. Entah kenapa tubuhnya dengan sendiri menuruti Bani. Double sial. "Ngomong apa sih? Daritadi lo nanya gue udah jawab.Apa lagi?" "Mana hp lo?" tanya Bani lagi. Anjrit, kayaknya dia tau ide gue buat nyebarin berita tentang dia. Untung gue belum ngelakuin hal itu. "Nggak bawa." Bani menatap Dinda tajam seolah menilai tetapi Dinda terlihat sangat yakin saat mengatakannya maka Bani kembali bertanya, "tapi tadi lo liat gue 'kan?" Dinda mengedipkan matanya. Dan dengan sendirinya menjawab, "iya gue liat." Sadar kalau dirinya sudah terintimidasi cukup jauh oleh Bani, Dinda buru-buru menambahkan, "terus kenapa? Lo takut gue sebarin ke sekolah fakta kalau ternyata lo itu anak mami?" "Nggak." Jawaban Bani yang terlalu cepat dan kelewat datar membuat Dinda terbelalak, kaget. "Kok enggak?" tanya Dinda bingung. Padahal 'kan Dinda ingin mengancam Bani dengan fakta itu tetapi Bani bahkan tidak takut soal itu sama sekali? "Karena lo nggak akan nyebarin itu." Lagi-lagi jawaban Bani membuat Dinda bingung. Melihat kebingungan di wajah Dinda, Bani menambahkan, "gue tau lo gak sebego itu." "Maksud lo?" Dinda masih tidak mengerti. Bukan kah Bani sampai berlari-lari mengejar Dinda karena khawatir Dinda akan menyebarkan fakta tentangnya? "Kalo lo nyebarin tentang gue di sekolah, lo bakalan dapet 'hadiah' yang nggak pernah lo bayangin sebelumnya, Dinda." Dinda terbelalak. Apa sekarang Bani tengah mengancamnya? Ha. Kan harusnya Dinda yang mengancam di sini kenapa jadi terbalik? "Lo kira gue takut, hah?" tanya Dinda berusaha menutupi ketakutannya. "Kalo lo nyebar soal gue, gue punya banyak alesan buat ngelak. Tapi lo," Bani melangkah lebih dekat ke arah Dinda membuat Dinda mundur menubruk pintu lalu Bani sedikit membungkuk dan berkata, "lo gak punya cara buat lari dari gue, Dinda." Fix. Tamat sudah riwayat Dinda.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN