Dinda benar-benar tidak bisa menikmati liburannya kali ini. Bagaimana tidak? Masalahnya Bani terus mengintili Dinda kemana pun cewek itu berjalan. Sepertinya lebih lama Dinda berada di sana semakin pendek pula umur Dinda.
"Lo ngapain, sih?!" tanya Dinda ketika sedang sibuk berfoto dan Bani berdiri di belakang Dinda—dengan kurang ajar gantengnya—membuat Dinda hilang fokus.
Ok, sebenci-bencinya Dinda dengan makhluk bernama Baniansyah itu tetap saja Dinda adalah cewek normal yang 'melek' ketika melihat lawan jenis yang punya paras ganteng. Dan itulah mengapa Dinda merasa terganggu dengan kehadiran Bani. Karena cowok mengesalkan itu ganteng!
Seharusnya Dinda memang diam saja di dalam kamarnya. Lebih baik dia berkutat dengan film-film koleksi tante Ambar yang tersedia di sana daripada harus menikmati keindahan kebun teh yang jarak tidak begitu jauh dari villa tante Ambar ditemani Bani. Mana Dinda tau kalau Bani ternyata mengintilinya ke sini.
Mengintili yang dimaksud Dinda di sini adalah benar-benar mengintili. Hanya mengintili. Bani bahkan tidak bersuara sama sekali meskipun pertanyaan 'lo ngapain sih' sudah Dinda lontarkan lebih dari lima kali.
Padahal Bani hanya diam saja tetapi aura mengintimidasi cowok itu benar-benar kuat, bahkan Dinda bisa merasakannya.
"Sumpah deh, Bani, gue nggak bakalan nyebarin soal lo! Mending lo balik deh daripada ngintilin gue, lagian lo 'kan udah ngancem gue, tenang aja!" usir Dinda pada cowok yang mengenakan kaus dan celana cargo selutut itu yang kini sedang duduk di atas sebuah batu yang cukup besar.
"Bacot. Gue disuruh Bunda," sahut Bani jutek.
Dinda berdecak. Apa pula maksud tante Ambar nyuruh anaknya ngintilin Dinda. Suruh ngelindungin? Yang ada juga Dinda butuh dilindungin dari cowok itu.
"Yaudah tapi lo jauh-jauh kek, gue risih mau foto-foto diliatin!"
Bani mengeluarkan tangannya yang sejak tadi bertengger di kantung celananya. "Najis, siapa juga yang ngeliatin lo?" tanyanya jijik.
Dinda menggeram. Masalahnya saat Bani mengatakan 'najis' itu ekspresinya benar-benar menunjukkan ekspresi orang yang melihat najis.
Senajis itukah gue?! Batin Dinda miris.
"Ish! Bodo amat, gua mau balik aja ah!" seru Dinda sambil berbalik dan berjalan dengan kaki yang dihentak-hentakkan khas orang yang sedang merajuk.
Dinda juga tidak tau kenapa dirinya bersikap seperti itu. Apa untungnya juga menunjukkan kepada Bani kalau dirinya sedang merajuk? Berharap Bani akan membujuknya atau minta maaf? MIMPI!
Dinda bisa merasakan Bani melangkah di belakangnya maka Dinda mempercepat langkahnya.
"Heh bego, lo mau kemana?" Dinda berhenti melangkah ketika mendengar pertanyaan dengan nada ketus dari mulut Bani.
Dinda menoleh menatap cowok yang berdiri tidak jauh di belakangnya. "Mau pulang bukan ke sana arahnya," kata Bani.
Mampus, tengsin bego Din! Batin Dinda.
"Si—siapa bilang gue mau balik? Orang gue mau jalan-jalan!" sahut Dinda berusaha menutupi rasa malunya.
Bani menatap Dinda dengan wajah datar. "Nggak, gue laper mau balik."
Dinda mengernyitkan dahinya, "lah, urusan gue? Balik aja sono sendiri!" seru Dinda terlanjur kesal—halah kapan juga Dinda nggak kesal kalau berurusan dengan Bani.
"t***l ya lo? Bunda nyuruh gue ngintilin lo."
Dinda berdecak. Tapi Dinda salut juga, meskipun jelas sekali di wajah Bani kalau cowok itu 'terpaksa' tetapi Bani tetap mematuhi Bundanya. Padahal bisa saja Bani tidak benar-benar mengikuti Dinda, toh Bundanya di rumah dan tidak tau kalau Bani mengikuti Dinda atau tidak, tetapi cowok ini benar-benar menuruti apa kata bundanya.
Anak manja yang penurut.
"Iya deh Ian anak bunda yang penurut," sindir Dinda membuat Bani menghunuskan tatapan tajam ke arah Dinda yang langsung membuat cewek itu menciut.
"Canda sih, gitu aja melotot!" seru Dinda lalu berjalan mendekati Bani. Saat sudah di hadapan Bani, Dinda melipat tangannya di d**a. "Jalannya ke arah mana?" tanya Dinda pada Bani.
Bani menatap Dinda datar. "Ke sana," katanya sambil berjalan melewati Dinda.
Dan tau apa? Bani berjalan ke arah Dinda berjalan tadi. Itu berarti jalan yang Dinda ambil barusan memang benar!
Ok, Dinda tarik lagi rasa salut yang tadi sempat Dinda berikan pada Bani.
Sekali ngeselin ya tetep ngeselin. Kampret!
***
Begitu sampai di villa, Dinda melihat Bani berbincang dengan salah satu asisten rumah tangga laki-laki di rumahnya yang sedang membawa galon lalu tiba-tiba galon itu dengan mudahnya berpindah tangan ke tangan Bani.
"Ihh adeeeen, atuh den Ian teu kengeng den, wios ku emang we, eta teh beurat!" teriak laki-laki yang Dinda kerap dipanggil mang Dadang, tukang kebun di villa milik tante Ambar. (Ihh adeeeen, udah den Ian nggak usah, biar sama emang aja, itu tuh berat!)
Bani tidak menghiraukan teriakan mang Adun dan memilih berjalan terus. "Nda, Ian pulang!" seru Bani ceria begitu sampai di rumah sambil meletakkan galon di dapur.
Dinda lagi-lagi bergidik ngeri. Bagaimana bisa Bani merubah karakternya secepat itu. Tadi jadi cowok dingin, datar dan ketus lalu sekarang jadi cowok manja yang cukup ceria?
Dinda semakin mengernyit ngeri ketika melihat Bani menghambur ke pelukan tante Ambar yang sedang duduk di sofa sambil menerima kecupan di pipinya.
"Dinda mana, Yan?" tanya Ambar kepada Bani.
Bani menegakkan tubuhnya dan belum sempat untuk menjawab Dinda buru-buru muncul. "Dinda di sini, tan, hehe."
Ambar tersenyum hangat. "Kok udah Din jalan-jalannya? Kayaknya baru sebentar, deh?" tanya Ambar kepada Dinda.
Soalnya anak tante gangguin aku sih, gangguinnya sambil diem padahal. "Laper tan, jalan-jalannya nanti lagi aja," jawab Dinda yang tidak sepenuhnya bohong karena dia juga memang lapar.
"Ohiya ya udah waktunya makan siang," kata Ambar sambil melirik jam di dinding sekilas. "Yaudah makan siang, yuk?" ajak Ambar yang diangguki Dinda juga Bani. Lalu mereka bersama-sama berjalan menuju meja makan untuk menyantap santap siang.
"Eh Mbar, pabrik tahu s**u yang terkenal itu deket nggak sih dari sini?" tanya Heriska di sela makan siang mereka.
Ambar mengangguk, "iya Ris, kurang lebih tiga kilo meter lah..."
"Kesitu yuk, sekalian jalan-jalan!" ajak Heriska bersemangat.
Ambar melirik Bani sekilas lalu tersenyum sambil mengangguk ke arah sahabatnya. "Boleh, sekalian ke Lembang Kencana, makan yogurt," jawabnya.
"Dinda nggak ikut ya, Ma?" tanya Dinda pada Heriska.
"Loh, kenapa? Kan asik Din, jalan-jalan." Pertanyaan Heriska membuat Dinda melirik ke arah Bani, hanya sekilas saja karena ternyata Bani sedang menatap Dinda juga.
"Nggak deh, ngantuk," jawab Dinda yang tentu saja hanyalah sebuah alasan. Karena tidak mungkin Dinda menjawab 'males ah ada Bani'di depan tante Ambar dan juga orangnya sendiri.
"Liburan kok malah mau tidur, gimana sih kamu."
"Nggak apa-apalah Ris, si Dinda mungkin emang ngantuk nanti kita bawain aja," ucap Ambar penuh pengertian yang membuat Dinda tersenyum.
Makasih tante Ambar, baik banget sih. Batin Dinda.
"Kalo gitu Dinda di sini sama Ian aja ya nanti siapa tau Dinda bangun terus pengen jalan-jalan atau nyusul gitu jadi Ian-nya standby."
WHATTT?
Seketika senyum Dinda luntur. Niatnya kan memang tidak mau bersama-sama dengan Bani. Lah ini justru lebih parah! Yang ada ketika Ambar dan Heriska kembali Dinda hanya tinggal nama saja.
Oke, Dinda memang sedikit berlebihan padahal Bani bahkan tadi menolong Dinda ketika gadis itu hampir saja terpeleset jatuh di kebun teh saat perjalanan pulang.
Tetapi tentu saja Dinda menolak mengakui kalau Bani cukup baik atau sekedar mengucapkan terima kasih. Kenapa? Karena Dinda ingat apa yang cowok itu bisikkan setelah menolong Dinda.
"Ceroboh. Bego jangan dipelahara."
Itu cowok nggak beneran baik. Kayaknya. Batin Dinda.