Selepas kepergian Heriska dan Ambar, Dinda memilih untuk mendekam di dalam kamar tamu yang sementara ini menjadi kamarnya sambil menonton DVD koleksi milik tante Ambar yang kebetulan cukup lengkap. Mulai dari film lama sampai yang terbaru semua tersedia, ditambah juga berbagai macam serial tv yang lengkap dari serial tv Amerika, drama Korea, dorama Jepang. Dan hal ini benar-benar bagaikan surga untuk Dinda, secara Dinda adalah penggemar berat film dan serial tv. Selain itu, menonton DVD juga bisa meminimalisir pertemuan Dinda dengan Bani. Saat Ambar dan Heriska ada di rumah saja Bani masih berani mengancam Dinda, apalagi kalau mereka tidak ada? Hah!
Dinda kira dia bisa bertahan sampai tante Ambar dan ibunya pulang jalan-jalan, tapi sayangnya Dinda menyerah di film ke-tiga. Perut Dinda menjerit-jerit minta diisi dan hal ini menyebabkan kegalauan yang tidak masuk akal. Dinda sedang menimang-nimang lebih baik mana, mati di tangan Bani atau mati karena kelaparan?
Dan kegalauan Dinda terusik ketika pintu kamarnya diketuk--lebih tepatnya digedor--dengan tidak manusiawi. Kalau pintu kamar itu benda hidup sudah pasti dia menjerit-jerit kesakitan.
"Yaa sebentar!" teriak Dinda untuk memberitau orang yang sedang menggedor pintu itu bahwa dia mendengarnya--sangat mendengarnya.
Ketika pintu terbuka Dinda refleks mundur selangkah begitu melihat sosok menjulang yang tinggi di depan pintu. Iya, siapalagi kalau bukan Bani.
Dinda mengerjap terkejut, "nga--ngapain lo?" tanya Dinda.
Bani menatap wajah Dinda dengan datar. "Sopan amat lo sama tuan rumah."
Dinda berdecih. "Plis ya ini tuh rumah tante Ambar, lo mah bodo amat."
"Enam bulan kayaknya masih nggak cukup ya buat bikin lo sadar lo lagi berhadapan sama siapa?"
Dinda mengerjapkan matanya mendengar nada bicara Bani yang menguarkan aura intimidasi yang kuat. Dinda benci karena dia selalu berada di situasi ini setiap berhadapan dengan Bani. Di situasi orang yang terintimidasi.
"Enam bulan kayaknya masih nggak cukup ya buat bikin lo belajar kalo gue itu nggak takut sama lo?" tanya Dinda membalikkan pertanyaan Bani.
Bani menghela napas, hari ini dia sedang tidak mood berdebat dengan siapapun terutama gadis mungil di depannya. "Cepet ambil jaket lo, gue tunggu di depan." Setelah berkata demikian Bani langsung berbalik begitu saja meninggalkan Dinda.
Dinda menganga. Apaansih? Emang dia pikir dia siapa bisa merintah-merintah gue kayak gitu? Dia pikir gue ma--
"Lima menit lo gak keluar, gue balik ke sini buat nyeret lo."
Kampret!
Dengan sangat terpaksa Dinda bergegas mengambil jaketnya dan menghampiri Bani yang menunggu di luar.
Bani yang sedang bersandar pada tembok langsung menegakkan tubuhnya ketika Dinda berjalan menghampirinya dengan wajah cemberut. Begitu Dinda sudah berdiri di hadapannya, Bani berdecak cukup keras membuat Dinda mengernyitkan dahi karena bingung.
"Gak ngerti lagi gue, g****k kok dipelihara."
What? Apa barusan dia bilang? Batin Dinda.
"Maksud lo apa, anjir?" tanya Dinda nyolot. Iyalah, bagaimana nggak nyolot kalau tiba-tiba dikatain g****k. Padahal Dinda sudah menuruti perintah Bani tanpa banyak bicara tapi yang Dinda dapat justru hinaan.
"Ya lo mikir aja apa gunanya lo pake jaket kalo lo masih pake celana pendek?" Mendengar pertanyaan tersebut refleks Dinda menatap ke arah celananya. Benar saja, Dinda masih mengenakan celana pendek tidurnya.
"Dih, tadi 'kan lo cuma nyuruh gue make jaket nggak nyuruh gue ganti celana."
"Ya gue pikir lo ga bego-bego banget buat ngeartiin maksud gue. Buruan ganti celana lo, tiga menit!"
Dinda menatap Bani tidak percaya. Sungguh ini cowok benar-benar sulit Dinda pahami. Emangnya Bani pikir dia siapa sampai bisa memerintah Dinda seenak jidat? Pembantu juga nggak gini-gini amat.
Namun karena belajar dari pengalaman, Dinda memilih untuk tidak lagi melawan Bani dan lebih baik menurutinya, karena menurut Dinda semakin dia melawan maka semakin menyeramkan pula cowok itu.
Ketika Dinda kembali ke tempat dimana Bani menunggu setelah berganti celana dengan celana levis, Dinda melihat Bani sedang berbicara entah dengan siapa di ponselnya. Dinda pun memilih untuk menunggu di gazebo yang tidak terlalu jauh dari posisi Bani.
Merasakan semilir angin Lembang menerpanya membuat mata Dinda terasa berat. Hah, udara sejuknya benar-benar pas untuk tidur. Dinda melihat ke arah Bani yang masih berbicara dengan serius di telfon, akhirnya Dinda memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang gazebo dan memejamkan mata, namun baru ada semenit Dinda memejamkan mata dia merasakan tepukan di bahunya.
Dinda mengerjap kaget, padahal baru saja dia mulai terlelap. "Apaan sih?" tanya Dinda ketus karena Bani baru saja mengganggu tidurnya.
"Gue nyuruh lo pake jaket sama ganti celana bukan buat lo tidur di sini. Ayo jalan!"
Dinda mengernyit. "Jalan kemana?"
Bani tidak menjawab pertanyaan Dinda dan justru berjalan meninggalkan cewek itu yang masih bingung sekaligus penasaran di gazebo.
"Ih woy, Bani!" Dengan terburu-buru Dinda pun mengejar langkah Bani. Ternyata Bani berjalan ke arah garasi.
Dinda bisa mendengar Bani bercakap-cakap dengan Mang Dudung untuk meminjam sepeda motornya. Semula Dinda pikir Bani akan mengajaknya pergi naik mobil menyusul Ambar dan Heriska.
Bani pun mengeluarkan motor milik mang Dudung.
Dinda berdecak kagum. Motornya memang motor biasa bukan motor sport, tetapi karena Bani yang mengenakan entah kenapa tetap terlihat keren. Ah kampret.
"Buruan naik! Apa beginian doang juga harus gue suruh dulu?" tanya Bani kesal karena Dinda malah diam saja di tempat.
Sebenarnya Dinda mau naik daritadi tapi 'kan dia takut kalau tiba-tiba Bani bertanya "siapa yang nyuruh lo naik?". Jadi demi menghindari hal yang akan menjatuhkan harga dirinya tersebut, Dinda memilih diam menunggu Bani menyuruhnya. Eh, taunya malah dia kena omel lagi. Salah lagi.
Tanpa mendebat, akhirnya setelah mengenakan helm Dinda langsung naik ke bagian belakang motor dengan berpegangan pada pundak Bani. Setelah duduk dengan nyaman Dinda langsung melepaskan tangannya dari pundak Bani dan memilih berpegangan pada pegangan motor di belakang. Lalu Bani langsung bergegas menjalankan motornya tanpa bertanya kepada Dinda lebih dulu apa cewek itu sudah siap atau belum.
"Kita mau kemana?" tanya Dinda dengan sedikit berteriak karena motor yang melaju dan helm yang digunakan membuat suaranya sedikit teredam.
"Lo diem aja," jawab Bani ketus.
Dinda mencebik. "Gue berhak tau! Kalo lo mau bawa gue ke hutan buat dibunuh, gimana?"
"Bego ya, lo? Kalo gue mau bunuh lo ngapain harus ke hutan di rumah juga bisa." Kata-kata Bani berhasil membungkam Dinda. Dinda memundurkan lagi tubuhnya agar tidak begitu dekat dengan Bani. Jawaban Bani barusan cukup membuat Dinda bergidik.
"Diem bisa gak sih, lo? Jangan banyak gerak!" bentak Bani ketika merasakan Dinda bergerak-gerak di belakangnya.
Dinda menggeram tertahan. Ingin sekali rasanya dia tusuk punggung Bani di depannya ini dengan tombak. Tapi kalau Dinda menusuk Bani yang ada dia ikutan mati karena kecelakaan motor. Lagipula Dinda tidak membawa tombak.
Tidak sampai sepuluh menit, Bani memberhentikan motornya di pinggir jalan tepat di samping sebuah gerobak bakso. Dinda masih berdiam diri di atas motor saat Bani memarkirkan motornya.
Baru setelah Bani berkata, "heh bego, turun!" Dinda akhirnya turun dari motor.
Dinda menatap Bani meminta penjelasan. Nggak mungkin 'kan Bani menyuruh Dinda ganti celana dan pakai jaket hanya untuk mengajak Dinda makan bakso yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. "Kita mau ngapain?" tanya Dinda akhirnya setelah Bani melepas helmnya.
"Mandi. Ya menurut lo aja ke sini mau ngapain," kata Bani retoris.
Dinda menepuk jidatnya. "Ampun! Segala pake helm, jaket, sampe ganti celana juga taunya cuma makan bakso yang jaraknya nggak seberapa? Gelo nya maneh?" Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis. Benar-benar nggak habis pikir sama jalan pikiran Bani.
"Yaudah, emang kenapa?" tanya Bani datar. Belum sempat Dinda menjawab Bani keburu berpaling meninggalkannya menuju gerobak bakso untuk memesan. "Mang pesen satu, kayak biasa."
Tukang bakso yang tampaknya sudah mengenal Bani itu mengangkat jempolnya dan segera membuatkan pesanan Bani. Tapi sambil meracik pesanan Bani, abang tukang bakso itu beberapa kali melirik Dinda yang ia dapati datang bersama Bani.
"Tumben euy, A'Bani dateng'na sareung awewe, biasa na mah nyalira. Kabogoh A'a ie teh?" tanya tukang bakso itu kepada Bani. (Tumben a'Bani datengnya sama perempuan, biasanya kan sendirian. Ini pacarnya A'a?)
Dinda pikir Bani tidak akan mengerti apa yang diucapkan si tukang bakso mengingat Bani sejak kecil tinggal di Jakarta bahkan pernah tinggal di Aussie dan hanya sesekali ke Lembang. Tapi Dinda lagi-lagi salah, Bani menjawab pertanyaan abang tukang bakso itu dengan bahasa sunda yang cukup lancar.
"Sanes, mang. Ie mah istri na mang Dudung." (Bukan, mang. Ini mah istrinya mang Dudung.)
Dinda mengerjap sambil mencerna apa jawaban Bani. Begitu engeh Dinda langsung memukul pundak Bani. "Heh, sembarangan! Sanes mang, abi teh tamu na tante Ambar." Dinda melotot ke arah Bani yang terlihat cuek. Padahal Dinda kira cowok itu tadi sedang mengajaknya bercanda atau semacamnya tapi mana ada orang bercanda wajahnya datar begitu? Dasar aneh! (Bukan mang, saya itu tamunya tante Ambar.)
Yang tertawa di situ rupanya hanya si mang tukang bakso. "Orang Jakarta, teh?" tanya mang itu kepada Dinda.
Dinda mengangguk sambil tertawa canggung. "Iya, tapi di Jakarta juga baru enam bulan kok mang, pindahan dari Bandung."
"Walah orang sunda juga, atuh?" Dinda pun hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukan dan senyuman.
Mang tukang bakso itu kemudian memberikan semangkok bakso pesanan Bani yang langsung diterima cowok itu dengan bersemangat. Dilihat dari wajahnya sih Bani tampak 'lapar'.
Ini si Bani mau nraktir gue gak ya? Gue kan nggak bawa uang. Batin Dinda sambil melirik ke arah Bani yang sudah mulai menyantap baksonya.
Sumpah demi apapun Dinda kelaparan tapi Dinda nggak berani minta sama Bani buat membelikan dia bakso. Dinda galau setengah mampus.
"Kenapa lo? Mau?" tanya Bani yang sadar sejak tadi dipandangi Dinda dengan wajah mupeng.
Mata Dinda berkilat penuh binar, kepalanya mengangguk-angguk cepat seperti boneka hokben.
"Beli lah, punya duit 'kan?"
Ya Allah, Dinda pengen ngomong kasar...
"Lo gak ada niat beliin gue, apa? Kan lo yang ngajak gue ke sini," kata Dinda sambil berusaha menahan emosinya untuk tidak mengabsen kebun binatang saat ini juga. Siapa tau Bani nanti marah terus Dinda diceburin ke panci bakso, iya kan?
Bani menatap Dinda sebentar sebelum akhirnya kembali fokus pada mangkuk baksonya. "Yaudah sana pesen." Dan perkataan Bani itu disambut pekikan girang Dinda.
Dan sebelum Bani berubah pikiran, Dinda dengan segera memesan semangkuk bakso untuknya.
Ternyata dia nggak jahat-jahat amat.
"Eh Ban, kenapa kok lo mau makan bakso aja ngajak gue?" tanya Dinda setelah menerima pesanan baksonya dan mengambil posisi duduk di samping Bani.
Bani yang tadinya sudah ingin menyuap jadi berhenti selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali menyuap. "Gue gak mau entar kalo bunda pulang terus ngeliat lo sendirian di rumah."
Dinda mengernyitkan dahi. "Emang kenapa sih? Gue liat lo nurut banget gitu sama bunda lo, eh ya bagus sih kalo nurut, mmmh tapi gimana gitu lo kayaknya nggak pernah--"
"Nggak usah bersikap seolah lo kenal sama gue."
Jleb. Rasanya seperti baru saja Dinda ditikam sebuah tombak tepat di ulu hati. Ya ampun sepertinya lagi-lagi Dinda salah menilai, Bani sama sekali nggak baik. Bani mau membayari Dinda makan sekarang mungkin karena sebagai bentuk cowok itu mematuhi bundanya yang meminta Bani untuk menjaga Dinda. Bukan karena Bani sudah menganggap Dinda sebagai teman.
Dinda akhirnya memilih diam sampai mereka kembali ke villa dan belum menemukan tanda-tanda Heriska dan Ambar telah kembali. Dinda pun memilih langsung masuk ke kamar dan baru keluar setelah Heriska dan Ambar kembali sebelum magrib.