42 - Berbaikan

1426 Kata
Hari kompetisi. Pukul enam pagi, dua puluh tim sudah berkumpul di kampus fakultas kedokteran. Masing-masing ketua tim melakukan pendaftaran ulang ke panitia. Izza dan beberapa divisi kesekretariatan sudah datang ke kampus sebelum jam enam pagi. “Maaf terlambat, Za.” Nera datang dengan nafas memburu. Ia berlari dari gerbang utama menuju teras aula kampus, tempat ketua tim melakukan pendaftaran ulang. “Iya, nggak apa-apa. Baru aja mulai, kok.” Izza menggeser sebuah kursi, memberi tempat untuk Nera duduk. “Yang lain di mana?” Nera celingukan. “Lagi ngecek kesiapan masing-masing pos.” Izza menjawab sembari melayani salah satu ketua tim yang hendak mendaftar ulang. “Kamu bisa sendirian, ‘kan? Aku mau ngecek teman-teman yang lain.” “Oke, tenang aja. Bisa, kok.” Izza mengangguk, meyakinkan. Nera gegas beranjak. Menghampiri pos pertama yang paling dekat dengan aula utama kampus. Yaitu, gazebo. Babak perempat final pada kompetisi kali ini dilakukan dengan mengerjakan soal di dua puluh pos yang disediakan. Masing-masing tim akan berjalan mengikuti peta yang sudah dibagikan, mendatangi pos-pos yang sudah disediakan untuk mengerjakan soal kemudian berkumpul kembali di aula dua yang terletak di belakang kampus. Metode mengerjakan soal yang seperti ini memang akan memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan membiarkan peserta mengerjakan soal di satu ruangan saja. Tapi, metode seperti ini sangat efektif dan efisien digunakan untuk memperkenalkan lingkungan kampus kepada peserta lomba. Meski nantinya tetap akan ada acara tour kampus bagi peserta yang tidak lolos ke babak final, setidaknya peserta yang tidak bisa mengikuti tour kampus tetap memiliki kesempatan untuk menjelajahi kampus. Masing-masing pos memiliki sepuluh soal yang harus dikerjakan dalam waktu sepuluh menit. Pemberian batas waktu juga bisa mendisiplinkan peserta agar tidak ada peserta yang terlalu terlambat berkumpul di aula dua. “Soal-soalnya sudah siap semua?” Nera bertanya pada salah satu mahasiswa yang berjaga di pos satu. “Udah siap, Kak. Beres semua. Tinggal mulai.” Mahasiswa itu menjelaskan sembari tersenyum. Nera mengangguk puas. Kemudian beranjak ke pos berikutnya. Pada pagi hari, lingkungan kampus terasa sangat sejuk. Taman rumput di tengah-tengah lahan kampus terlihat segar bermandikan embun. Pohon-pohon tinggi yang mengisi taman itu tampak dihinggapi beberapa burung. Lalu terbang entah ke mana. Dalam sekejap, sudah digantikan dengan burung lain. Nera melangkah ringan menyusuri tepian taman, tersenyum menatap burung-burung yang hinggap ke sana ke mari. Perasaan kesal dan marah yang kemarin ia rasakan jadi sirna begitu saja. Perasaan damai mulai merasuk ke dalam relung kalbunya. Memang, pemandangan alam yang memanjakan mata itu adalah obat mujarab untuk hati yang dilanda amarah. “Hai, Ra.” Nera sontak menoleh. “Kak Aidan?” Laki-laki jangkung itu berlari kecil ke arah Nera. Kemudian menjajari langkahnya. “Kok senyum-senyum sendiri? Liat apa?” Tanyanya sembari tersenyum lembut. Wajah dingin dan kalimat sinis yang ia tunjukkan kemarin sudah sirna. Seolah tak pernah ada. “Nggak liat apa-apa.” Nera membuang muka. Rupanya, rasa kesalnya akan siap Aidan kemarin belum benar-benar hilang. “Masih marah, Ra?” Aidan mengintip wajah Nera. Membuat tubuhnya merapat ke arah gadis itu. Nera segera menghindar. “Marah apa?” Katanya ketus. Saat ini, otak dan sikapnya bertolak belakang. Ia menyadari dengan penuh kesadaran bahwa sikapnya sangat kekanak-kanakan. Tapi entah kenapa, ia ingin sekali bersikap begitu. Menunjukkan dengan jelas isi hatinya. Memberi kode bahwa ia masih marah. “Maaf, ya, Ra.” Aidan menyentuh tangan Nera. Menggenggamnya perlahan. Nera menahan nafas. Tak menyangka Aidan akan melakukan kontak fisik saat di kampus. Meski begitu, satu sudut hatinya mulai ditumbuhi bunga. Tidak, Nera tak menarik tangannya. “Urusanku kemarin benar-benar kusut. Menurutku, sama sekali nggak lancar.” Aidan mengusap punggung tangan Nera dengan menggerakkan jempolnya. “Tapi untungnya semalam aku baru dapat kabar ternyata semua sudah berjalan sesuai rencana. Karena itu, aku minta maaf, ya?” Sekali lagi, Aidan mengintip wajah Nera. Membuat gadis itu tersipu malu. Pipinya yang putih jadi merona merah. “Memangnya urusan apa?” Nera memegangi pipinya dengan sebelah tangannya yang bebas. Panas. Aidan terdiam, tapi tangannya masih menggenggam erat tangan kekasihnya. “Nanti… aku ceritain kalau semua sudah beres. Nggak apa-apa, ‘kan?” Aidan tersenyum, wajahnya terlihat kurang nyaman. “Hm…” Nera tampa menimbang-nimbang. Kemudian mengangguk pelan. “Ya sudah, aku tunggu sampai Kak Aidan mau cerita. Yang pasti, aku ingin nggak ada yang disembunyikan di antara kita.” Jawabnya dengan tersenyum manis. Aidan melebarkan senyumnya. “Makasih, ya, Ra. Makasih banyak.” Ia tampak lega dan bahagia. Dua sejoli itu berjalan menyusuri tepian taman. Angin pagi memainkan rambut Nera yang dibiarkan tergerai. Kali ini, perasaannya benar-benar damai. “Ah, coba ini di kampus.” Tiba-tiba Aidan mengeluh. “Kenapa kalau bukan di kampus?” “Pengen aku peluk, saking senengnya.” Bisik Aidan lembut. Buk! Nera meninju pundak Aidan, membuat genggaman tangan mereka terlepas dan Aidan mengaduh kesakitan. “Nggak mau, Ra?” Tanya Aidan, sebelah matanya mengerling menggoda. Sementara tangannya memegangi pundaknya yang nyeri. “Apaan, sih, Kak?!” Nera membuang muka. Rasa panas kembali menjalari wajahnya. Kini, pipinya sudah semerah tomat ceri. “Oh, iya. Seminar gurunya gimana? Udah siap semua?” Aidan teringat satu acara lain dalam serangkaian kompetisi ini. “Ini sekalian aku menuju ke sana, Kak. Penanggung jawab masing-masing pos aku minta lapor di grup aja kalau ada yang belum siap.” Nera sudah tak lagi tersipu malu. Warna merah di pipinya pun berangsur-angsur mereda. “Bareng aja kalau gitu. Aku juga rencana mau ke sana.” Nera mengangguk. Terus melangkahkan kakinya menyusuri koridor gedung perkuliahan, melewati area parkir, hingga tiba di aula dua kampus. Kompetisi ini memang salah satu acara terbesar fakultas. Sasaran dari acara ini memang siswa-siswi SMU seantero nusantara. Tapi, bukan berarti guru-guru yang mendampingi tidak mendapatkan perhatian. Selama siswa-siswi yang mereka dampingi mengikuti serangkaian acara lomba, para guru diberi acara tersendiri yaitu seminar. Materi yang diberikan dalam seminar memang bermacam-macam, namun tetap berkaitan dengan tema yang diusung dalam kompetisi kali ini. *** Matahari sudah merangkak turun, ujung bulat bagian bawahnya sudah menyentuh kaki langit, warna kuning cerahnya berubah jingga. Memancar indah, menimpa gedung-gedung dan taman rumput di fakultas kedokteran. Puluhan siswa dan guru terlihat memicingkan mata begitu melewati lorong, koridor, dan area kampus yang dihujani cahaya matahari. Mereka berjalan beriring-iringan menuju gerbang utama kampus. Semua wajah itu terlihat lelah. Tapi, sebagian lainnya terlihat gembira meski lelah. Merekalah para siswa dan guru yang lolos ke babak final. Hari ini, babak perempat final dan semifinal dilangsungkan dalam satu hari. Hanya ada jeda dua jam untuk istirahat, panitia melakukan penilaian, dan pengumuman tim yang lolos. Kemudian tim yang lolos langsung melanjutkan ke babak semifinal. Mengerjakan soal-soal essay teori dan praktikum medik yang sudah disediakan. Melelahkan memang, tapi begitulah jika mengadakan kegiatan dengan peserta yang datang dari berbagai daerah. Biaya akomodasi yang harus dikeluarkan peserta dan guru pendamping selama mengikuti lomba tak boleh dilupakan. Peserta yang lolos ke babak final pun diumumkan hari ini. Tepatnya sore tadi, beberapa puluh menit setelah babak semi final berakhir. Dan esok, siswa yang tidak lolos ke babak final bisa menyiapkan diri untuk mengikuti rangkaian acara tour kampus. “Terima kasih banyak, teman-teman.” Ucap Nera sembari tersenyum. Wajah lelahnya tetap terlihat menawan. “Hari ini semua berjalan lancar. Meski ada sedikit hambatan, tapi tidak mengganggu keseluruhan acara. Semua itu tidak luput dari kerja keras teman-teman semua.” Prok… prok… prok Aidan mengawali bertepuk tangan. Kemudian disambut meriah oleh anggota lainnya. Seketika, ruang BEM dipenuhi suara riuh tepuk tangan. Nera tersenyum, puas sekali dengan hasil kerja teman-temannya. “Aku harap, besok juga seperti hari ini. Bahkan lebih baik. Teman-teman yang sudah mendapat tugas, kerjakan tugasnya dengan baik. Kalau ada kendala atau butuh bantuan, segera beri tahu. Boleh hubungi aku langsung atau chat di grup.” Nera masih belum selesai memberi briefing untuk acara besok. “Siap, Kak!” Beberapa mahasiswa berseru. Yang lainnya mengangguk-angguk setuju. “Oke, setelah ini kita cek dulu persiapan untuk besok, beres-beres yang perlu dibereskan, lalu yang mau pulang dan istirahat dipersilakan.” Ucap Nera mengakhiri sesi briefing. “Yok, kita beres-beres!” Salah seorang mahasiswa terlihat beranjak, menepuk tangan, mengajak panitia lain untuk bergegas. Satu-dua mahasiswa lain mulai berdiri. Mereka juga lelah, sama lelahnya dengan peserta lomba. Tapi mereka semua juga bahagia. Acara hari ini benar-benar berjalan lancar. “Ra…” Aidan menghampiri Nera. “Ya, Kak?” Nera yang sudah hampir melangkah keluar ruangan jadi berhenti. “Nanti… ada acara nggak? Setelah beres-beres dan semua persiapan buat besok selesai.” “Hm… nggak ada kayaknya. Kenapa, Kak?” “Ke kafe biru, yuk? Sekalian makan malam.” Ajak Aidan. Bibirnya tersenyum cerah, meski wajahnya terlihat lelah. “Oke, boleh.” Nera balas tersenyum. Tentu saja, itu… akan menjadi kencan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN