bc

Nera; An Imperfect Life

book_age16+
302
IKUTI
2.2K
BACA
revenge
friends to lovers
self-improved
student
doctor
tragedy
bxg
icy
campus
friendship
like
intro-logo
Uraian

"Kamu tahu Aidan? Ketua BEM FK. Aku… lagi deket sama dia." Ucap Nera sembari tersenyum malu. Pipinya bersemu merah.

Fatih menelan ludah. Ini pertama kalinya ia melihat Nera berekspresi begitu. Mereka telah bersahabat sejak kecil dan Nera hampir tidak pernah membuat ekspresi malu-malu begitu. Selama ini, gadis itu lebih sering berekspresi datar bahkan dingin.

Vasilissa Neraida, seorang selebgram sekaligus mahasiswa fakultas kedokteran tahun kedua. Memiliki wajah yang rupawan, otak cemerlang, sekaligus keluarga beruang. Laman media sosialnya dipenuhi foto-foto Nera dalam berbagai pose, di tempat yang berbeda-beda, dengan senyum terkembang penuh kebahagiaan. Ratusan hingga ribuan 'like' selalu mampir di tiap foto Nera. Belum lagi kolom komentar yang juga dipenuhi kalimat-kalimat pujian dan dukungan. Sekilas, hidup Nera benar-benar tampak sempurna. Namun, benarkah ada manusia yang sempurna dengan hidup yang sempurna?

chap-preview
Pratinjau gratis
1
"Oke, suara terakhir." Suara Aidan, ketua BEM Fakultas Kedokteran yang penuh karisma itu menggema di seluruh ruangan. Tangannya bergerak membuka kertas kecil di genggaman. "Vasilissa Neraida." Mata Aidan bergerak, menatap pada sosok mahasiswi yang duduk persis di sudut ruangan. Wajah mahasiswi itu terlihat terkejut. Matanya membulat, alisnya terangkat. "Oke. Pemungutan suara sudah selesai. Sekarang kita sudah dapat ketua, wakil, dan sekretaris. Beri tepuk tangan untuk mereka bertiga!" Seketika, gemuruh tepuk tangan membahana memenuhi langit-langit ruang BEM. Setelah beberapa kalimat penutup rapat, para anggota BEM mulai meninggalkan ruangan satu persatu. Hanya tersisa lima orang di sana. Aidan dan Wina selaku ketua Departemen Pendidikan dan Profesi BEM, serta tiga orang yang telah terpilih tadi. "Selamat, ya, Nera." Aidan tersenyum, menyalami Nera. "Ah, iya, Kak." Nera menyambut kikuk uluran tangan Aidan. "Kenapa?" Aidan memiringkan kepalanya, menatap bingung adik tingkatnya itu. "Saya cuma nggak nyangka aja bakal dapat suara terbanyak." Nera berdehem di akhir kalimat. Memperbaiki ekspresinya yang kebingungan sejak tadi. Mengembalikan air mukanya menjadi setenang mungkin. "Kenapa? Kamu layak, kok, dapat suara terbanyak." Aidan lagi-lagi tersenyum. Menatap lurus lawan bicaranya. Baru saja ekspresinya kembali tenang, Nera dibuat terkejut dengan kalimat Aidan. "Layak?" Alisnya bertaut. "Iya. Kamu cerdas dan objektif. Bukannya itu sudah cukup untuk membuatmu layak mengetuai kegiatan kali ini?" Aidan mengangkat alis. Tak mengerti mengapa lawan bicaranya seolah merasa tidak layak mendapat kepercayaan penting itu. Nera menahan nafas. Terkejut bukan main. Ini pertama kalinya ada orang yang mengakui kemampuannya lebih dulu daripada wajahnya. Sedetik kemudian, Nera tersenyum. "Terima kasih, Kak. Saya nggak bakal ngecewain kepercayaan orang-orang yang sudah memilih saya." Aidan mengulurkan tangannya yang terkepal. "Aku suka semangatmu, Ra." Nera yang bingung segera ikut mengepalkan tangan. Tinju mereka bertemu. "Oke!" Aidan menepuk tangannya keras. Mengembalikan fokus orang-orang yang ada di ruangan itu pada kalimat-kalimat yang akan ia ucapkan. "Kurang dari empat bulan lagi, lomba tahunan kampus kita akan diadakan. Bertepatan dengan libur kenaikan kelas murid-murid SMA. Karena itu pemungutan suara tadi diadakan. Tiga bulan itu mungkin terasa sangat lama. Tapi untuk menyiapkan even tahunan dengan skala nasional, sepertinya tiga bulan itu waktu yang sedikit terburu-buru. Betul, nggak?" Semua orang mengangguk dalam diam. Membenarkan kalimat Aidan. "Tapi, karena acara ini termasuk acara dengan konsep baku yang sudah ada secara turun temurun, kita bisa memaksikal waktu yang ada." "Mungkin kita bisa mengadopsi dan mengembangkan sedikit dari konsep tahun-tahun sebelumnya?" Nera bersuara. "Yap. Nanti minta aja proposal tahun-tahun sebelumnya ke sekretaris. Kalian pelajari. Lalu sebaiknya pembagian divisi segera ditentukan. Tiga hari cukup?" Aidan menatap Nera. Yang ditatap justru melihat dua orang yang duduk di sebelahnya. "Cukup, in syaa Allah, Kak." Izza, seorang mahasiswi berkerudung yang terpilih sebagai sekretaris menjawab. "Oke. Tiga hari lagi akan kita adakan rapat seluruh anggota BEM. Jadwalnya nanti akan diumumkan di grup." Semua orang mengangguk. "Setelah rapat penentuan panitia Neomicin, kita akan menghadap Dokter Anita. Beliau penanggung jawab acara tahunan ini. Kalau ada konsep yang mau didiskusikan, pikirkan detailnya dan kita bicarakan saat itu. Oke?" "Oke, Kak." Nera menjawab tegas. Izza dan seorang lagi mengangguk mantap. Beberapa kalimat masih meluncur dari bibir Aidan. Diskusi sederhana. Setelahnya, semua orang berpamitan. Meninggalkan ruang BEM yang hampir tak pernah lengang. Ruangan yang tampak selalu sibuk, bahkan hingga malam hari. *** Neomicin adalah nama sebuah obat, tepatnya antibiotik, yang dijadikan singkatan dari nama sebuah kegiatan tahunan fakultas kedokteran. National Medical Science Competition for Highschool Students yang disingkat menjadi Neomicin adalah sebuah lomba cerdas cermat kedokteran dengan peserta murid-murid SMA sederajat. Lomba ini hanya bisa diikuti oleh murid SMA kelas XI dan XII. Neomicin sudah menjadi kegiatan rutin tahunan sejak lima tahun lalu. Kegiatan ini menjadi bergengsi dan diminati banyak murid SMA di seluruh Indonesia karena hadiah utamanya yang sangat menggiurkan. Hadiah utama dari lomba ini adalah free pass masuk fakultas kedokteran dengan beasiswa penuh. Hadiah utama ini boleh ditolak, tapi tidak bisa dipindahtangankan. Alias, jika ditolak maka akan hangus. Tidak ada kesempatan untuk pemenang kedua atau ketiga. Dua tahun lalu, Nera juga mengikuti kompetisi itu. Menjadi salah satu peserta utusan dari sekolahnya. Dan bersama dua orang temannya, dia berhasil meraih juara pertama. Mendapatkan hadiah utama yang diinginkan semua peserta Neomicin. Mengangkat tinggi-tinggi trofi kemenangan dan piagam penghargaan. Membayangkan di depan matanya, sebentar lagi, ia akan menjadi mahasiswa kedokteran. Ingatan Nera masih hangat tentang hari itu. Ia berlari membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Mencari mamanya, menunjukkan piagam penghargaan itu. Menerima pelukan hangat dari sang mama. Selanjutnya ia berlari lagi. Kali ini mencari ayahnya. Laki-laki itu sedang duduk membaca berkas perkara di ruang kerjanya. "Ayah!" Nera berseru. Wajahnya sumringah. Semangatnya meluap-luap. "Ada apa?" Bambang melepas kacamatanya. Menatap putri bungsunya bingung. "Lihat ini!" Nera menunjukkan piagam penghargaan di tangannya. "Ini, ini!" Telunjuknya mengarah ke bagian bawah piagam itu. "Nera dapat free pass masuk FK, Yah! Beasiswa penuh lagi!" Matanya berbinar-binar. Wajahnya memerah saking bahagianya. "FK? Kedokteran?" Bambang mengernyit. "Iya!" "Kamu mau jadi dokter?" Suara dingin Bambang seketika mengubah ekspresi putrinya. Nera menatap ayahnya lamat-lamat. Tatapan mata ayahnya dingin. Rahangnya kaku. Tak ada satupun kebahagiaan dan kebanggaan di sana. "Jawab, Nera!" Nera diam. Ia paham situasi ini. Ayahnya tak suka dengan pilihannya. Maka ia balik badan. Melangkah gontai menuju kamarnya yang sepi. Ia tak lagi menghiraukan suara ayahnya memanggil di belakang. Semua pencapaiannya itu sama sekali tak berarti di mata sang ayah. Nera menghela nafas, itu kejadian sudah lama sekali. Sudah jauh tertinggal di belakang. Hari ini, setelah berlalu lebih dari satu tahun sejak namanya resmi terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran, ia terpilih menjadi ketua pelaksana Neomicin. Nera melangkah pelan menyusuri halaman depan kampusnya. Memutari taman berbentuk setengah lingkaran yang sangat luas. Sore hari begini, gerbang B kampus sudah ditutup. Satu-satunya yang terbuka hanya gerbang A. Karena itu gerbang utama, letaknya jauh berada di depan. Butuh waktu lama untuk mencapai gerbang A dengan berjalan kaki. Tapi, Nera selalu suka berjalan seorang diri. Menikmati hembusan angin sore yang semilir, membiarkan dirinya disiram cahaya matahari senja yang siap tenggelam. Nera mengeluarkan ponselnya dari saku. Jemarinya bergerak-gerak di atas layar ponsel. Ia sibuk membaca beberapa pesan dan komentar di media sosialnya. Nera tersenyum. Ia selalu senang membaca komentar-komentar dari para followers-nya di media sosial. Satu-dua komentar berisi kalimat menyakitkan. Tapi puluhan komentar lain berisi kalimat pujian, memberi semangat, atau sekedar menyapa hangat. Nera juga selalu senang melihat angka jumlah likes di bawah foto yang ia unggah. Tak kurang dari seribu likes selalu ia dapatkan di setiap foto yang ia unggah. Bahkan, sekedar foto dirinya yang duduk berpangku tangan tanpa caption apapun, mampu menarik 1500 likes dari para pengguna media sosial. Karena popularitasnya itu juga, tak jarang Nera menerima tawaran kerja sama endorsement. Meski sampai hari ini belum ada yang ia terima. "Hei! Ngapain?" "Aduh! Kaget!" Nera berseru. Menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Hahaha. Memangnya ada yang lagi seru di medsos?" Fatih, dokter gigi muda yang baru saja menyapa Nera, mencoba mengintip ke ponsel sahabatnya itu. "Medsosku 'kan memang selalu seru." Nera memutar bola matanya. Mengabaikan Fatih yang mulai berjalan di sebelahnya. "Habis upload foto apa?" "Nih!" Nera menyodorkan ponselnya. Menunjukkan foto siluet dirinya dengan latar langit yang sedang bersemburat jingga. "Wah, gila!" Fatih berseru. "Kenapa?" Alis Nera bertaut. Waspada dengan reaksi Fatih. "Bahkan, foto siluet gini doang kamu tetep keliatan cantik, ya? Luar biasa!" Fatih bertepuk tangan. Menatap tak percaya perempuan berambut panjang itu. Tentu saja, ia sedang pura-pura kagum. "Apaan, sih? Berisik!" Nera cepat-cepat memasukkan ponselnya ke saku. Bibirnya cemberut. Dahinya berkerut. Ya, Nera kesal. Ia kesal setiap kali ada orang yang memuji yang kecantikannya. Ia kesal setiap kali ada lawan bicara yang tak fokus dengan obrolan hanya karena sibuk menatap wajahnya. "Hahaha…" Tiba-tiba, tawa suara Fatih membuat Nera menoleh. Ia menatap Fatih heran. "Becanda, Ra." Fatih menepuk bahu Nera pelan. Tapi Nera masih tak mengubah ekspresinya. "Eh, kamu marah beneran, Ra?" Fatih jadi salah tingkah begitu melihat wajah Nera yang masih berlipat. Nera tak menjawab. Ia tetap menatap tajam laki-laki berkacamata itu. "Duh, Ra. Maaf." Fatih menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku muak, Fatih!" Nera mendesis. "Iya, iya. Aku paham." Fatih bergegas memotong. Beberapa mahasiswa yang sedang berlalu lalang jadi melihat pertengkaran mereka. Ini bukan kejadian yang pantas dijadikan tontonan. "Aku minta maaf, bercandaku kelewatan." Nera mendengus. Meski masih kesal, ia tahu bahwa Fatih hanya bercanda. "Hm, sebagai permintaan maafku, aku traktir es krim, deh. Mau?" Fatih tersenyum takut-takut. "Di mana?" "Biasa, deket rumahmu. Mau nggak?" Nera tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Fatih tersenyum. "Kamu di sini dulu, aku ambil mobil di parkiran FKG. Oke?" Nera mengangguk dalam diam. Selepas Fatih berlalu, Nera memilih berdiri bersandar di dinding pagar gerbang utama. Menghela nafas pelan. Bisu menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan. Dulu, rasanya sangat menyenangkan setiap kali mendengar pujian orang lain. Suara-suara riang yang memuji tentang kecantikannya. Tentang rambut panjangnya yang hitam legam. Tentang matanya yang bulat jernih. Tentang hidungnya yang mancung. Tentang bibirnya yang merah merona. Namun, semakin hari, kecantikannya itu justru menjadi penghalang bagi kemampuan dan keterampilan yang ia miliki. Pertama kali ia menyadari hal itu adalah saat kelulusan sekolah dasar. Nera, sebagai peraih juara pertama lomba cerdas cermat matematika tingkat SD se-provinsi, diminta untuk menjadi model di brosur sekolah dan banner pendaftaran siswa baru. Saat itu, Nera senang saja. Ia memamerkan trofi dan piagam penghargaan dengan senyum cerah. Menatap bangga potret dirinya yang terpampang di banner dan brosur sekolah. "Kok bisa Nera yang dipilih?" Salah seorang kerabat ayahnya bertanya saat mereka berkumpul merayakan hari lebaran. "Iya. Katanya karena Nera juara satu lomba matematika." Ujarnya bangga kala itu. "Yakin? Bukannya cuma karena kamu kelihatan cantik?" "Enggak. Kepala sekolah bilang karena Nera membanggakan sekolah." "Halah. Paling juga cuma karena kamu cantik. Biar bagus gitu kalo dipajang di brosur kayak gini." Wanita seusia ayahnya itu tersenyum sinis. "Ya berarti Nera juga membanggakan sekolah karena Nera cantik." Jawab Nera polos. "Apa?!" Wanita itu mendelik. Wajahnya terlihat tidak senang. Saat itu, Nera menyadari ada yang salah dengan jawabannya. "Memangnya kenapa kalo Nera cantik, sih, Tan?" Tanya Nera tak mengerti. "Buat apa cantik kalau b**o?!" Nera yang saat itu baru menginjak usia sebelas tahun, mengerti betul maksud ucapan Tantenya itu. Ia mengerti bahwa kecantikan bukan satu-satunya kelebihan seorang wanita. "Tapi Nera nggak b**o!" Nera berteriak kencang. Membuat wanita itu terbelalak. Kemudian ia berlari menuju kamarnya. Menyembunyikan dirinya selama beberapa jam di sana. Sejak saat itu, Nera mati-matian menunjukkan kemampuannya. Ia ingin membuktikan bahwa kelebihannya tak hanya wajah yang cantik. Ia juga mahir di beberapa bidang yang mengandalkan otaknya. Namun, tetap saja. Tak ada seorang pun yang mau mengakui kemampuannya. Bahkan ayahnya sendiri.   

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Terjebak Asmara Majikan

read
10.5K
bc

Revenge

read
32.4K
bc

Beautiful Pain

read
12.5K
bc

MY LITTLE BRIDE (Rahasia Istri Pengganti)

read
18.0K
bc

Oh, My Boss

read
384.7K
bc

Penghangat Ranjang Tuan CEO

read
28.8K
bc

The CEO's Little Wife

read
670.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook