2

1538 Kata
"Baik, silakan ditunggu pesanannya." Seorang pramusaji mengangguk sopan. Membawa kertas berisi menu pesanan pelanggan, kemudian berlalu. "Kamu pesen apa?" Tanya Fatih. "Seperti biasa." Nera menjawab tak acuh. Setelah berkendara selama sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di kedai es krim legendaris ini. Rumah Nera terletak sekitar seratus meter ke arah selatan dari sini. Ini adalah kedai es krim favorit mereka berdua. Sejak kecil, mereka paling suka menghabiskan uang jajan di sini. "Nggak bosen?" Nera menggeleng. Matanya fokus menatap layar ponsel. Membuka salah satu pesan, membaca isinya sekilas, kemudian beralih ke pesan berikutnya. "Menurutmu, es krim yang dijual di sini es krim khas negara mana?" Kebiasaan Fatih, sembarangan mencomot topik obrolan. "Hm?" Mau tak mau, Nera mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Tertarik dengan pertanyaan Fatih. "Es krim dari negara mana?" Fatih mengulang inti pertanyaannya. "Hmmm…" Nera memutar otak. Pandangannya menyapu ruangan. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah tulisan besar di dekat kasir. Es Krim Legendaris sejak tahun 1925. Begitu yang tertulis di sana. "Belanda?" Entah ide dari mana itu. Tapi, jika kedai ini berdiri sejak masa penjajahan kolonial Belanda, itu artinya pendiri kedai ini adalah orang Belanda. Begitu logika Nera. "Hahaha, itu jawaban kebanyakan orang." Fatih tergelak. "Emangnya bukan?" Nera sudah meletakkan ponselnya di atas meja. Benar-benar tertarik dengan topik pembicaraan yang dipilih Fatih. "Yah, wajar kalau kebanyakan orang mikir begitu. Karena kedai ini sudah ada sejak jaman Belanda menjajah kita. Sayangnya, jawabannya bukan Belanda." Fatih menggeleng. Belum memberi jawaban. "Jadi dari negara mana?" Tanya Nera gemas. "Italia." "Hah? Kok bisa Itali? Ngapain orang Itali ke sini terus buka kedai es krim?" "Hahaha." Suara tawa Fatih cukup keras untuk didengar orang yang duduk di sebelah meja mereka. "Jangan ketawa! Coba jelasin!" Nera bersungut-sungut. "Dulu, ada orang Itali yang tinggal di Hindia Belanda. Lalu tahun 1925 dia pindah ke sini dan mendirikan kedai es krim ini. Ah, namanya gelato. Tahun 1960 dia harus kembali ke negara asalnya…" "Kenapa?" Nera memotong. "Hahaha, kamu nggak bisa menghilangkan kebiasaanmu itu, ya?" Fatih sudah sangat terbiasa ucapannya dipotong oleh Nera. Dari dulu, sahabatnya itu sudah begitu. "Jangan mengalihkan pembicaraan!" Nera tak sabar. "Hahaha, oke oke." Fatih berdehem pelan. "Dulu, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, para WNA yang tinggal di Indonesia diberi pilihan, mau jadi WNI atau tetap jadi WNA. Mereka yang memilih tetap jadi WNA, dipulangkan ke negara asalnya. Termasuk pendiri kedai ini." "Wah, pengetahuanmu luar biasa, ya?" Nera menatap kagum. "Duh, aku tersanjung, nih." Fatih tergelak di ujung kalimatnya. "Terus, sekarang kedai ini dikelola siapa?" Nera belum selesai dengan topik kedai ini. "Permisi…" Seorang pramusaji sudah berdiri di dekat meja mereka. "Satu pancake ice cream, satu tutti frutti. Silakan dicek pesanannya." Pramusaji itu terampil meletakkan piring-piring di atas meja dengan tetap mempertahankan senyum di bibir. "Terima kasih, Mas." Fatih balas tersenyum. "Jadi siapa pengelolanya yang sekarang?" Nera belum melupakan pertanyaannya. "Kamu segitu penasarannya?" Fatih balik bertanya sembari menyendokkan sesuap penuh es krim. "Ya, berarti bukan si pendiri lagi, dong?" "Iya, sesaat sebelum dia kembali ke Italia, kedai ini dan resepnya dijual ke sahabatnya sendiri." "Hm, menarik." Nera mengikuti gerakan Fatih. Menyuapkan es krim ke mulutnya. "Ah, gara-gara kamu bilang ini gelato, aku jadi baru sadar. Rasanya memang beda, ya?" "He'em. Lebih lembut, lebih pekat. Tapi, lebih rendah kalori." "Serius?" Mata Nera membulat. "Katanya, sih, begitu." "Hmmm…" Nera memandangi es krim di hadapannya. Entah kenapa, es krim ini jadi lebih menggugah selera daripada biasanya. "Jangan diliat aja, dimakan, Ra." Fatih menahan tawa. "Omong-omong, kok kamu bisa tahu banyak soal kedai ini?" "Hm, bisa dibilang tuntutan pekerjaan?" Nera mengernyit. "Memangnya dokter gigi perlu tahu soal sejarah kedai es krim?" "Hahaha, bukan bukan." "Lalu?" "Penulis. Jadi penulis tuh harus banyak baca, supaya punya banyak pengetahuan." Fatih tersenyum. "Oh…" Mulut Nera membulat. Kemudian fokus kembali pada makanannya. "Aku masih salut sama kamu, Ra." Fatih memulai topik obrolan baru. Ia selalu begitu, pandai membuka obrolan. "Hm? Kenapa?" "Kamu berani keluar jalur." Tiba-tiba Fatih menghela nafas. "Berani mengambil risiko." Lanjutnya. Nera mengerti arah obrolan sahabatnya itu. Ini pasti soal jurusan kuliah yang dipilihnya. "Kamu juga hebat. Berhasil menyelesaikan pilihan yang dipilihkan orang tuamu." Nera tersenyum tipis. "Yah, aku bisa bertahan karena aku memang suka belajar. Belajar apapun. Termasuk kedokteran gigi ini. Untungnya aku juga menemukan pelepas penat di sela-sela kesibukan yang benar-benar melelahkan ini." Suara Fatih terdengar sedih. "Nulis?" Fatih mengangguk. "Iya. Rasanya lega tiap kali bisa menuliskan apa yang mengganjal di kepala dan dadaku." Laki-laki itu mengaduk es krimnya yang mulai mencair. Bibirnya tersenyum getir. Nera menghela nafas pelan. "Novelis laki-laki tuh memang sentimentil, ya?" "Hm? Maksudmu?" Fatih menautkan alis. "Kamu sekarang begitu. Sentimentil." "Hahaha." *** Langit sudah sempurna gelap ketika Nera tiba di rumah. Fatih memutuskan untuk mampir sejenak. Menyapa orang tua Nera sekaligus sahabat orang tuanya. "Assalamu'alaikum, Om." Fatih menguluk salam begitu melihat ayah Nera duduk di ruang tamu. "Wa'alaikumsalam." Bambang melepas kacamatanya. Tadi ia sedang membaca beberapa berkas perkara. "Sudah pulang, Yah?" Kali ini Nera menyapa basa-basi. "Sudah, baru saja." Enggan mengobrol lebih lama, Nera meninggalkan ayahnya dan Fatih di ruang tamu. Sementara ia bergegas ke ruang tengah. "Apa kabar orang tuamu, Tih?" "Baik, Om. Om Bambang sehat?" Fatih duduk di salah satu kursi. Membersamai laki-laki yang berusia hampir separuh abad itu. "Yah, beginilah." Suaranya mengambang. "Itu… pekerjaan, Om?" Fatih melirik kertas yang sedang dibaca Bambang. "Iya. Ini kasus yang ringan tapi bagus buat pembelajaran." Bambang menjeda kalimatnya, menghela nafas sesaat. "Kalau saja Nera mau sekolah hukum, dia akan jadi partner diskusi yang menyenangkan." Mata Bambang menerawang. Nera yang tanpa sengaja mendengar obrolan dua orang di ruang tamu itu, seketika mengetatkan rahangnya. Ini obrolan yang amat ia benci. Demi menghindari mendengar kalimat yang lebih menyakitkan, Nera bergegas ke kamar kakaknya. "Kak Angeeeel…" Nera berseru. Mencari kakak perempuan satu-satunya. "Nera!" Perempuan itu ikut berseru. Beranjak dari duduknya. Tangannya kotor oleh cat warna warni. "Ya ampun, Kak! Lagi gambar apa?" Suara Nera riang. Ia selalu begitu setiap bertemu kakaknya. Seolah sang kakak adalah sumber kebahagiaannya. "Ini! Ini!" Perempuan terpaut dua tahun lebih tua dari Nera itu menunjukkan kertas gambarnya dengan antusias. "Ini siapa, Kak?" Nera menunjuk gambar orang berambut panjang. "Ini Nera." Suara Angel selalu terdengar riang. "Nera?" "Iya. Nera jadi dokter!" Angel bertepuk tangan. Ia tampak sangat gembira. Nera tersenyum lembut. Matanya menatap sang kakak haru. Entah kenapa, Angel selalu mampu menghapus gundah dan amarah di dadanya. "Aamiin. Semoga Nera jadi dokter yang baik. Kakak harus hadir di wisuda dan pelantikan Nera nanti, ya?" "Harus, dong!" Kakak beradik itu akhirnya berpelukan. *** "Tapi, jadi dokter nggak buruk juga, kok, Om." Fatih mencoba berpendapat. Menanggapi kalimat Bambang sebelumnya. "Memang. Kau lebih tahu daripada Om soal profesi itu. Keluargamu keluarga dokter. Kamu juga akhirnya memilih jadi dokter gigi." Bambang menatap langit-langit ruang tamu, menyandarkan punggungnya. "Sama seperti papamu, Om juga ingin anak Om meneruskan apa yang sudah Om mulai." Fatih menelan ludah. Ini obrolan yang sensitif. "Saya… justru bangga sama Nera, Om." Ucapnya terbata. Banyak yang bilang Fatih itu pandai bicara. Pandai pula mengarahkan topik obrolan. Tapi sebenarnya ia selalu ragu mengutarakan pendapat pada orang yang jauh lebih tua darinya. "Hm?" Bambang mengernyit. Tak mengerti maksud ucapan Fatih. "Kenapa?" "Bukannya dia justru mandiri? Memulai sendiri jalan karirnya, jalan hidupnya. Tanpa harus terbayang-bayang kesuksesan orang tuanya." Keluar sudah kalimat yang selalu tertahan di kerongkongan itu. Kalimat yang tak pernah sempat ia ucapkan pada orang tuanya sendiri. "Begitukah?" "Ya, itu menurut saya, Om." Fatih menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sedikit terkejut dengan reaksi Bambang. Sejujurnya ia sudah siap dengan reaksi apapun dari Bambang. Karena ia tahu betul bahwa Bambang sangat menentang pilihan Nera. Bambang menarik nafas dalam. Wajahnya tampak rumit sekali. Fatih tak berani menebak apa yang ada di pikiran laki-laki itu. "Om…" Setelah beberapa menit hening, akhirnya Fatih bersuara. "Ah, ya? Kenapa, Fatih?" Bambang menggeragap. "Saya pamit pulang, ya, Om? Sudah malam." Fatih meraih tasnya yang tergeletak di lantai. "Ah ya ya. Salam untuk orang tuamu. Kamu nggak pamitan dulu sama Tante?" "Iya, Om." "Masuklah! Sepertinya Tantemu lagi di dapur, menyiapkan makan malam." Fatih menunduk sopan. Berlalu dari ruang tamu. Menuju dapur sesuai instruksi Bambang, berpamitan pada mama Nera. "Hei, mau ke mana?" Nera keluar dari kamar Angel. "Aku pulang dulu, ya? Angel mana?" "Ada di dalam." Fatih melongokkan kepalanya ke dalam kamar Angel. "Hai, Angel!" Suara Fatih riang, senyumnya terkembang. "Fatih!" Angel tak kalah gembira, ia bergegas menyambut tamunya. "Aku pamit dulu, ya? Sudah malam, pasti ditungguin Mama." "Sudah mau pulang?" Air muka Angel segera berubah. Alisnya turun, bibirnya cemberut. "Iya. Kapan-kapan aku main ke sini lagi, kalau libur. Biar bisa lama di sini." Fatih masih tersenyum. Ia bicara seolah-olah sedang menghibur anak kecil. "Janji, ya?" Angel mengulurkan kelingkingnya. "Iya." Fatih menautkan kelingkingnya dan Angel. "Yuk, aku anter ke depan." Nera menawarkan. "Dah, Angel!" Fatih melambaikan tangan yang dibalas dengan lambaian tangan juga oleh Angel. "Ngobrol apa aja sama ayah?" Tanya Nera. "Hm? Bukan apa-apa." "Ngomongin aku, ya?" Nera langsung menodong. "Hahaha, kamu dengar?" "Sedikit." "Nggak usah terlalu dipikirkan. Fokus aja sama yang sedang kamu jalani." Tiba-tiba Fatih memberi petuah. "Iya." Suara Nera pelan. Hampir seperti berbisik. "Oh, iya! Aku lupa bilang." "Apa?" Gerakan tangan Fatih yang hendak membuka pintu mobil seketika terhenti. "Tahu Neomicin? Kompetisi tahunan FK." Wajah Nera sudah berbinar. "Iya, kenapa?" "Aku terpilih jadi ketua pelaksananya." "Wow!" Fatih ikut antusias. "Ini saatnya kamu membuktikan kemampuan, Ra." Nera mengangguk mantap. Selain Angel, Fatih juga selalu mampu membuat harinya menyenangkan.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN