3

1548 Kata
Malam semakin pekat, hiruk pikuk jalanan justru semakin padat, orang-orang masih ramai keluar masuk restoran, pertokoan, hingga mal. Malam di akhir pekan selalu tampak lebih sibuk dari biasanya. Mungkin karena sebagian besar orang lebih suka mencari hiburan di luar rumah daripada menghabiskan malam bersama keluarga. Aidan baru saja berpamitan pada orang tua satu-satunya, sang ibu. Ia bergegas memacu motornya, membiarkan dirinya bergabung bersama kendaraan lain seperti arak-arakan. Malam ini tujuannya hanya satu. Sebuah apartemen kelas menengah di tengah kota. Ia sudah membuat janji dengan si penghuni. Malam ini, seharusnya semua persiapan sudah mencapai sembilan puluh persen. Ban motor Aidan berbelok di pertigaan jalan. Melaju pelan hingga halaman sebuah gedung apartemen sepuluh lantai. Aidan semakin menurunkan kecepatan, mencari tempat parkir yang pas. Di sebuah sudut gelap, Aidan membiarkan motornya beristirahat. Sementara ia berlari kecil memasuki lobi apartemen. "Malam, Pak." Aidan menyapa satpam yang bertugas. Tersenyum ramah. "Malam." Pak satpam balas tersenyum, kemudian kembali sibuk menyeruput kopi hitam. Aidan menuju lift, memencet tombol, pintu lift terbuka. Kosong. "Syukurlah!" Gumamnya. Jari telunjuknya menekan tombol angka 7, lift melesat pelan. Membawa tubuhnya ke lantai yang dimaksud. Ting! Pintu lift terbuka. Aidan bergegas, si penghuni pasti sudah menunggunya. Aidan mengetuk pintu. Menunggu lima detik, pintu terbuka. Menampilkan sesosok laki-laki berkacamata dengan rambut sedikit berantakan. "Sudah datang? Masuk, Dan!" Pintu dibuka lebar-lebar. "Makasih, Om." "Duduk!" Laki-laki itu mempersilakan tamunya. "Seperti biasa, duduklah di manapun kamu mau. Aku nggak sempat membereskan tempat ini." "Haha, iya, Om." Ruangan apartemen itu tampak berantakan. Kertas di mana-mana, kardus barang bekas berserakan, cangkir bekas kopi yang belum dicuci, dan lain-lain. Untungnya, penerangan di ruangan ini cukup baik. Jadi tidak ada suasana suram yang terasa. "Mau minum apa, Dan?" Laki-laki itu berteriak dari kamar satu-satunya di apartemen itu. "Nggak usah, Om. Saya nggak haus." Aidan balas berteriak. Ia duduk di salah satu sofa yang paling layak diduduki. "Ya sudah. Kalau haus, ambil saja minuman dingin di kulkas." "Iya, Om." Sudah tiga tahun terakhir Aidan berhubungan dengan laki-laki itu. Bukan hubungan pertemanan apalagi persahabatan. Ini hubungan yang cukup rumit. Aidan adalah klien orang itu. Dan orang itu pernah menjadi klien orang tua Aidan. Yah, kira-kira begitu. Sepuluh menit menunggu, laki-laki itu keluar dari kamarnya. "Kabar gembira, Dan!" Laki-laki itu menghampiri Aidan dengan tergesa-gesa. Wajahnya sumringah sekaligus antusias. Tangannya sibuk memegang laptop. Aidan ikut antusias. Duduknya lebih maju. Telinganya ia pasang baik-baik. Siap mendengarkan kabar gembira. Laki-laki itu duduk di hadapan Aidan. Memutar laptopnya, menunjuk layar laptop yang berisi puluhan gambar dan video. "Datanya selamat, Dan!" Ujarnya penuh semangat. "Serius, Om?" "Yes! Ini akan jadi bukti luar biasa dan tak terbantahkan, Dan." Aidan tak menjawab. Jarinya sibuk bergerak di atas touchpad, matanya awas menatap layar laptop. Ia mengetuk touchpad, layar laptop menampilkan sebuah video. Aidan dan laki-laki berkacamata itu memperhatikan dengan seksama. Semenit, dua menit, lima menit. Aidan mematikan video. Ia mengusap wajahnya. Matanya memerah. "Semangat, Dan! Ini akan jadi amunisi perang yang berbahaya. Simpan baik-baik. Pengacara itu tidak akan tahu perang akan segera meletus. Dia pikir semuanya sudah usai. Belum, Dan. Kebenaran harus diungkapkan" Aidan mengangguk. Matanya semakin memanas. Dadanya bergemuruh. Tiba-tiba, memori masa lalu memenuhi kepalanya. *** Matahari sudah tergelincir ke arah barat, tapi hari Senin masih saja sibuk. Mahasiswa lalu lalang di halaman dan koridor, membawa setumpuk buku tebal atau menggendong tas yang tampak berat. Beberapa baru keluar dari ruangan-ruangan kelas. Beberapa lagi sibuk berdiskusi di gazebo. Ruang BEM FK pun masih sibuk dan ramai. Pasalnya, hari ini akan diadakan rapat penentuan susunan panitia Neomicin. Sesuai dengan kesepakatan rapat tiga hari lalu. Nera dan Izza sudah lebih dulu tiba di ruang rapat. "Sudah beres susunan panitianya?" Aidan baru saja tiba, ia segera duduk di sebelah Nera yang sedang berdiskusi dengan Izza. "Sudah, Kak." Jawab Nera singkat. "Boleh saya lihat?" "Iya." Izza menjulurkan kertas yang dipegangnya. Aidan tampak mengamati dengan seksama isi kertas itu. Lalu ia mengajukan beberpa pertanyaan. Menanyakan apa pertimbangannya saat memilih sj A sebagai bendahara atau si B sebagai sie acara, dan lain-lain. Kemudian Aidan akan mengangguk-angguk setelah dijawab oleh Nera atau Izza. "Oke. Sudah bagus, tinggal kita tunggu pendapat anggota yang lain." Persis setelah Aidan mengembalikan kertas berisi susunan panitia itu, beberapa anggota BEM mulai memasuki ruangan. Mereka saling menyapa satu sama lain. Bercengkrama sejenak sebelum rapat benar-benar dimulai. "Oke, teman-teman!" Aidan bertepuk tangan keras. Membuat hening seisi ruangan, menarik perhatian setiap mata yang hadir. "Karena semua sudah datang, kita mulai aja rapatnya. Silakan dimulai Nera." Nera mengangguk. Mencolokkan kabel proyektor ke laptopnya. Seketika, susunan panitia yang telah ia rapatkan sebelumnya tampak di dinding ruang BEM. Nera mulai menjelaskan susunan panitia, menyebutkan nama-nama yang ada di layar. "Ada yang keberatan dengan susunan panitia ini?" "Apa susunan ini sudah disetujui ketua BEM?" Seorang mahasiswa yang duduk tepat di tengah ruangan mengajukan pertanyaan. "Sudah, saya setuju dengan pembagiannya." Aidan yang menjawab. "Apa ada yang keberatan?" "Oh, enggak, Kak. Tanya aja, takutnya Kak Aidan belum tahu." Mahasiswi itu tersenyum simpul. Nera mengernyit. Merasa janggal dengan sikap mahasiswi itu. Tapi, ia tak ambil pusing. Ia harus bergegas ke topik selanjutnya. "Ada lagi yang mau berpendapat?" Nera melempar pertanyaan. "Sudah. Lanjut saja, Dik." Seorang mahasiswi berkerudung panjang yang duduk di pojok kiri memberi saran. Ia tersenyum di ujung kalimatnya. "Oke. Selanjutnya akan kami jelaskan job desc masing-masing sie." Kini, layar proyektor menampilkan susunan tugas masing-masing sie. Nera menjelaskan singkat tugas-tugas tersebut. Di semua sie, ia sudah memilih ketua sie yang menurutnya paling kompeten di bidangnya. Ia berharap, job desc yang diberikan mampu dikerjakan dengan baik tanpa perlu penyesuaian yang panjang dan lama. Karena waktu persiapan yang singkat, semua panitia harus bergerak cepat. Usai menjelaskan tugas-tugas, beberapa anggota rapat tampak mengajukan pertanyaan. Meminta penjelasan lebih jauh mengenai tugas-tugas yang diberikan tadi. Nera mampu menjawab dengan baik, Aidan juga selalu membantu memberi penjelasan yang lebih detail. Rapat hari ini berjalan cukup lancar. Ah, ini baru permulaan. Ke depannya, rapat seperti ini akan lebih sering dilakukan. Nera hanya berharap, tak ada masalah berarti selama proses persiapan kegiatan. "Kalian sudah baca proposal tahun-tahun sebelumnya?" Aidan membuka obrolan setelah anggota yang lain keluar ruangan. "Sudah, Kak." Kini Izza yang menjawab. "Gimana? Ada konsep yang menarik?" "Hm, sebenarnya konsep dasarnya sama, nggak banyak yang bisa kita beri sentuhan. Tapi saya ada sedikit usulan, Kak." Nera mengacungkan tangannya setinggi pundak. "Ya? Apa itu?" "Soal babak penyisihan. Karena peserta kompetisi ini dari seluruh daerah di Indonesia, gimana kalau babak penyisihannya diselenggarakan secara online aja? Selama ini babak penyisihan 'kan dilakukan di beberapa kota tertentu, lalu lembar jawabannya dikirim ke sini. Nah, untuk meminimalisir cost pengiriman, penggandaan soal dan lembar jawaban, tip pengawas, dan lain-lain, sepertinya akan lebih efektif dan efisien kalau babak penyisihannya online aja." "Hm… ide bagus." Aidan mengangguk-angguk. "Menurutmu gimana?" Ia menoleh ke mahasiswi berkerudung panjang yang sejak tadi duduk di sebelahnya. Wina, penanggung jawab Neomicin bersama Aidan sekaligus ketua departemen pendidikan dan profesi BEM FK. "Ide ini sudah pernah diusulkan tahun lalu, sih. Tapi entah kenapa belum dieksekusi waktu itu." Wina berpendapat. "Oh ya?" Aidan mengangkat alis. "Padahal idenya cukup bagus, ya." "Gimana kalau besok kita ketemu dokter Anita aja buat ngomongin ide ini?" Wina mengusulkan. "Oke. Nera sudah punya kontak dokter Anita?" "Sudah, Kak." "Hubungi dokter Anita sekarang, ya. Tanyakan besok beliau bisa ditemui atau tidak. Bilang juga kalau kamu panitia Neomicin." "Oke, Kak." Nera segera mengeluarkan ponselnya, namun ia teringat satu hal. "Eh, ada satu lagi, Kak." "Ya?" Aidan berpangku tangan. Siap mendengarkan Nera. "Biasanya di sela-sela menunggu babak final, akan ada seminar gitu, 'kan? Gimana kalau di sela-sela itu juga diisi dengan semacam tour kampus? Saya yakin, siswa-siswi yang mengikuti kompetisi ini setidaknya punya ketertarikan lebih soal dunia kedokteran. Tour kampus mungkin akan menambah wawasan mereka tentang kuliah kedokteran." "Waw, nice!" Aidan melebarkan matanya. "Catat! Sampaikan juga besok saat ketemu dokter Anita." Nera mengangguk. Lalu kembali ke ponselnya. "Ada usulan lagi? Kita bahas di sini dulu sebelum besok menghadap dokter Anita." "Soal tema seminarnya, Kak." Kali ini Izza angkat bicara. "Ya, kenapa?" "Temanya dari kita atau dokter Anita sudah ada daftarnya?" "Kita bisa mengusulkan temanya, nanti dokter Anita menyesuaikan dengan pemateri dan SDM lainnya." Wina menjelaskan. "Oh iya, biasanya tema seminar akan disesuaikan dengan tema aplikasi medical science di babak grand final." Nera dan Izza mengangguk-angguk mengerti. "Kalian ada usulan tema?" Tanya Aidan. "Kalau lihat dari proposal sebelumnya, tema yang sudah pernah dipakai ada respiratory, metabolic disease, hematologi, dan onkologi. Saya usul untuk tahun ini gimana kalau temanya tentang pediatric?" Izza menyampaikan idenya. "Hm, pediatric, ya? Bagus bagus. Catat aja." Aidan mengangguk. "Bagus, sih. Ilmu pediatrik itu susah susah gampang, 'kan, Dan? Karena anak-anak tuh benar-benar nggak bisa disamakan dengan orang dewasa. Menarik, nih." Wina ikut berpendapat. Izza tersenyum karena idenya mendapat sambutan baik. Nera ikut tersenyum, merasa lega mendapatkan partner kerja sebaik Izza. Selanjutnya rapat masih berjalan beberapa menit kemudian. Obrolan-obrolan ringan seputar teknis acara Neomicin dibahas sambil lalu. Nera dan Izza jadi semakin mengerti betapa kompleksnya kegiatan yang akan mereka selenggarakan. Untungnya, karena ini kegiatan berskala nasional, dosen-dosen akan banyak terlibat dan memberi masukan. Kampus sudah sepi ketika mereka keluar dari ruang BEM. Izza dan Wina berpamitan terlebih dahulu, tempat kos mereka berdekatan. "Langsung pulang, Ra?" Aidan menyapa. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor yang sepi. "Iya, Kak." "Rumahmu di mana?" "Eh?" Nera menoleh. Kemudian menyebutkan lokasi rumahnya. "Oh, sejalan dengan rumahku. Kamu bawa kendaraan?" "Enggak." Lagi-lagi Nera menjawab singkat. Selain dengan Fatih, ia selalu bersikap dingin pada orang lain. "Mau kuantar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN