39 - Sidang Kedua

1541 Kata
Di tempat lain, sidang kedua kasus penggelapan dana NICU kembali digelar. Sidang itu tetap disiarkan secara terbuka seperti sebelumnya. Para awak media sudah ramai menunggu di lorong ruang sidang sejak satu jam yang lalu. Para hadirin yang ikut menyaksikan berjalannya sidang kasus kontroversial itu juga sudah memenuhi kursi yang disediakan. Di antara puluhan hadirin itu, seorang laki-laki muda terlihat duduk sembari memangku tas. Ya, ia adalah Aidan. Putra Wirahadi yang terluput dari perhatian media massa. Aidan duduk tenang di kursinya, bersebelahan dengan Reza. Keduanya diam tak berbincang seperti hadirin lain. Beberapa saat kemudian, dua pengacara masuk ruang sidang dari pintu yang berbeda. Mereka adalah Bambang dan Pramana. Masing-masing membawa setumpuk dokumen. Dua orang itu sudah siap berperang, tentunya dengan amunisi perang mematikan milik masing-masing. Aidan menahan nafas di tempatnya duduk. Tangan kanannya mengepal demi melihat wajah Bambang yang masih bisa tersenyum menyapa beberapa rekannya. “Ssstt…” Reza menyentuh permukaan tangan Aidan. “Tenang…” Bisiknya lembut. Aidan menghela nafas pelan. “Iya, Om.” “Oh iya, memangnya kamu nggak ada kegiatan di kampus? Ini ‘kan masih pagi.” Reza membuka obrolan agar Aidan tak fokus dengan rasa marahnya. “Ada, sih.” “Kenapa malah ke sini?” Reza mengernyit. “Kamu nggak perlu selalu datang sidang, kok, Dan.” Aidan menggeleng tegas. “Ini jelas lebih penting daripada kegiatanku di kampus. Ini menyangkut keadilan untuk ayahku, Om.” Aidan menatap Reza lekat. Reza terdiam demi melihat sorot mata Aidan yang berkilat tajam. “Oh, oke. Kalau menurutmu begitu, Om nggak bisa bilang apa-apa.” Reza memundurkan tubuhnya, kembali fokus melihat ke depan. Tak butuh waktu lama, majelis hakim yang terdiri dari tiga orang memasuki ruangan. Serentak, semua orang yang berada di ruang sidang berdiri dan baru duduk setelah sang hakim ketua memberi izin. Sidang kedua kasus penggelapan dana NICU Rumah Sakit Suka Sembuh resmi digelar dan disiarkan secara publik. Beberapa stasiun televisi bahkan menyiarkannya secara langsung. Tentu saja masyarakat yang memang mengikuti jalannya kasus ini merasa sangat senang. Menonton langsung sidang yang mereka nanti-nantikan. Di antara jutaan masyarakat Indonesia yang sedang menonton sidang itu melalui siaran televisi adalah Fatih. Sejak akun media sosial Nera diserang sebagai akibat dari naiknya nama Bambang karena sidang ini, Fatih memang sudah mulai tertarik. Ditambah keterangan mengejutkan dari sang ayah yang ternyata mengetahui sedikit fakta dari kejadian delapan tahun silam. Dokter gigi muda itu jadi semakin tertarik dan penasaran. “Ngapain, Tih?” Seorang laki-laki yang mengenakan jas yang sama dengan Fatih menyapa. Ia berdiri bersandar tembok setinggi d**a yang memisahkan antarruang pemeriksaan. “Lagi nonton.” Fatih menjawab tak acuh. Matanya tetap fokus menatap layar ponselnya. “Nonton apa, sih, serius amat?” Laki-laki itu berjalan memutar, masuk ke bilik pemeriksaan Fatih. Fatih tak menggubris, pun ia tak menggeser duduknya saat kawannya itu mendekat. “Kamu nonton sidang?” “Iya.” “Ngapain? Emangnya kamu mau alih profesi jadi pengacara? Atau, dulu cita-citamu sebenarnya jadi pengacara?” Seloroh kawannya. “Sssttt, diam. Jadi nggak fokus, nih.” Fatih mengacungkan telunjuknya di depan bibir, tak menghiraukan kalimat kawannya. Saat itu, Pramana sedang menyampaikan argumennya. Memaparkan bukti-bukti yang ia dapatkan. Lalu, kamera awak media mulai bergerak. Menyorot kursi hadirin. Sekilas saja. Menampilkan wajah-wajah yang tampak fokus menyimak penjelasan Pramana. “Eh?” Tiba-tiba Fatih tersentak. “Kenapa?” Kawannya yang duduk di sebelah bertanya. Rupanya, ia ikut menonton sejak tadi. “Tadi, kayak kenal…” Jawab Fatih ragu. “Siapa?” “Ah, tadi… ada orang yang mukanya kayak aku kenal.” “Mirip aja mungkin.” “Mungkin…” Fatih mengedikkan bahu. Lalu, kembali fokus menonton jalannya sidang. Ya, sepersekian detik tadi, kamera memang sempat menyorot wajah Aidan. Hanya sekilas. Tapi, mata Fatih berhasil menangkap gambar yang sekilas itu. Meski tetap saja ia ragu dengan penilaiannya. “Hei, Tih. Kamu ada pasien, tuh.” Seorang dokter gigi muda lain mampir ke bilik Fatih. “Aduh, iya!” Fatih menepuk jidatnya. Lalu gegas mematikan siaran langsung yang tengah ditontonnya tadi. “Aku ke bawah dulu, ya!” Ia berpamitan pada kawannya yang ikut menonton tadi. “Oke.” Demi memuaskan rasa penasarannya terhadap kasus yang ditangani Bambang itu, Fatih sampai lupa bahwa ia ada janji untuk bertemu dengan seorang pasien. Semoga saja pasiennya mau sabar menunggu. *** Pukul sepuluh pagi, aula utama kampus penyelenggara kompetisi Neomicin sudah dipadati manusia. Puluhan siswa dari berbagai sekolah di seantero nusantara terlihat memenuhi kursi-kursi di dalam aula. Berjajar rapi menunggu acara dimulai. Para siswa itu terlihat saling mengobrol, tertawa ringan, menimbulkan suara dengung yang mirip seperti lebah memenuhi langit-langit aula utama. Wajah-wajah cerah itu terlihat bahagia. Hari ini mereka menjadi kawan, esok mereka akan menjadi rival pertandingan. Pagi itu, belasan guru yang mengenakan baju batik juga ikut meramaikan acara penyambutan peserta kompetisi Neomicin. Guru-guru itu berdiri di barisan depan, menyambut belasan dosen yang mulai memasuki ruangan. Mereka saling bersalaman, saling melempar senyum, tertawa ringan menerima dan memberi sambutan. Usai bersalaman, mereka semua duduk di kursi yang telah disediakan. Menyisakan satu kursi kosong. Kursi untuk Dekan Fakultas Kedokteran. Sementara itu, di balik pintu ganda besar aula utama kampus, Nera dan Izza terlihat sibuk berkoordinasi dengan panitia lain. Memastikan semua berjalan sesuai rencana. Tak ada yang kurang, tak ada yang terlupakan. “Ayo MC masuk! Pak Dekan sebentar lagi menuju ruangan.” Nera menepuk bahu seorang mahasiswa yang terlihat berdandan rapih. “Oke!” Mahasiswa itu memberi isyarat dengan tangannya. Lalu segera bersiap-siap masuk ke ruangan. Bersamaan dengan itu, dari arah timur tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan jas lengkap berjalan ke arah panitia. “Za, Pak Dekan datang.” Nera menyikut lengan Izza. Izza mengangguk mantap. Adalah tugasnya memandu Dekan memasuki ruangan. Ia gegas menyambut pimpinan tertinggi fakultas kedokteran itu. Tepat setelah Dekan duduk di kursinya dengan rapih, MC yang sudah beraiap sejak tadi mulai membuka acara. Tepuk tangan riuh membahana di langit-langit aula, menyambut kalimat-kalimat MC yang begitu bertenaga memberi semangat pada peserta. Nera tersenyum puas, permulaan yang baik. Tapi, di antara kegiatannya memantau acara yang kini sedang berlangsung, Nera masih tak bisa tenang. “Kak Aidan belum datang, ya, Za?” Tanyanya pada Izza yang baru saja kembali usai mengantar Dekan ke tempat duduknya. Gadis berkerudung panjang itu menggeleng. “Belum. Kamu nggak hubungi dia?” Ia justru bertanya balik. “Sudah, nggak dibales.” “Ya sudah nggak apa-apa. Mungkin urusannya lebih rumit dari yang diperkirakan. Lagipula masih ada Kak Wina di sini.” Izza menunjuk senior mereka dengan dagunya. “Iya, sih…” Tapi, tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Aidan tidak menyebutkan alasan keterlambatannya. Ia bahkan melewatkan pembukaan acara. Urusan apa sampai membuatnya melewatkan salah satu acara penting? Nera benar-benar penasaran. “Ra!” Panjang umur! Laki-laki yang sejak tadi dikhawatirkan Nera itu muncul di hadapannya. Dengan nafas tersengal-sengal dan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Jelas sekali ia berlari untuk datang ke sini. “Aduh, Kak Aidan.” Nera segera beranjak. “Minum dulu.” Ujarnya seraya menyodorkan gelas air mineral. Aidan mengangguk, mengucapkan terima kasih lalu meneguk air mineral itu hingga tandas. “Dari mana? Kok sampai lari-lari begitu?” Tanya Nera. Aidan mengusap sisa air minum dan keringat di wajahnya. “Takut telat. Udah mulai, ya?” “Baru aja.” Jawab Nera singkat. Aidan kembali beranjak. Mengintip ke dalam aula selama beberapa saat, lalu kembali duduk. “Dari mana, Kak Aidan?” Nera mengulangi pertanyaannya. “Oh, ada urusan.” Jawab Aidan sembari tersenyum. “Urusan apa?” “Hm… Oh, ya. Kamu masih tinggal di hotel itu? Belum pulang ke rumah?” Kentara sekali Aidan sedang mengalihkan pembicaraan. “Kak, jawab dulu pertanyaanku.” Nera memberi tekanan pada kalimatnya. Izza yang duduk di sebelah Nera segera menyingkir. Ia tahu diri. Lagipula, ia tak ingin terlibat dalam pertengkaran orang lain. “Aku sudah izin ke Izza.” Jawab Aidan datar. Wajahnya pun berubah dingin, tanpa ekspresi. Nera sedikit terkejut. Perubahan itu membuatnya seperti melihat sisi Aidan yang lain. “Kenapa nggak bilang juga ke aku?” Alis Nera bertaut. Ia mulai tak suka dengan sikap Aidan yang seperti merahasiakan sesuatu darinya. “Pada akhirnya, kamu tetap tahu ‘kan meski aku nggak bilang?” Aidan menatap Nera sinis. Sungguh, Nera sangat terkejut dengan perubahan sikap Aidan. Ia sampai tak bisa berkata-kata. “Ra…” Beruntung, Izza datang membuyarkan atmosfer panas di antara sepasang kekasih itu. “Bentar lagi giliranmu masuk.” “Oh, oke.” Nera segera beranjak. Sebelum benar-benar memasuki aula, ia sempat melirik Aidan sesaat. Laki-laki itu sudah terlihat mengobrol dengan mahasiswa lain. Tentu dengan ekspresi yang hangat. Sangat jauh berbeda dengan raut wajah yang ia tunjukkan pada Nera tadi. Seketika, salah satu sudut hari Nera terasa nyeri. Ia sangat kecewa dengan sikap Aidan tadi. Atau, apakah sejatinya laki-laki itu memang memiliki sisi dingin begitu? Entahlah. Nera baru mengenalnya secara dekat selama beberapa waktu. Belum saatnya untuk ia menyimpulkan secara sepihak. “Selanjutnya, penjelasan mengenai teknis pelaksanaan kompetisi akan dijelaskan langsung oleh Ketua Pelaksana Neomicin yaitu… Vasilissa Neraida.” Suara MC terdengar lantang hingga ke luar ruangan. Nera merapikan pakaiannya. Memperbaiki ekspresi wajahnya. Menyematkan senyum terbaik di bibirnya. Sejenak, melupakan kekecewaannya tadi. Lalu, dalam langkah-langkah yang begitu mantap ia memasuki aula utama. Seluruh peserta kompetisi bertepuk tangan, begitu juga dengan para guru dan dosen. Suara gemuruh memenuhi langit-langit ruangan. Acara pagi itu, sangat meriah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN