45 - Acara Terakhir Neomicin

1651 Kata
Empat Puluh Lima “Pak, apa yang akan Anda lakukan?” Tanya Danu khawatir. “Sewa seseorang untuk mendatangi si Handoko. Jangan sampai Handoko tahu bahwa orang itu dari pihak kita. Suruh dia menggali informasi tentang kedatangan Pramana ke sana.” Bambang memberi perintah. “Siap, Pak!” Jawab Danu mantap. “Sebaiknya orang suruhan itu bisa mendapatkan informasi tentang isi dokumen yang akan dicek, supaya kita bisa menyiapkan bantahannya. Tapi kalau tidak pun tidak masalah. Kita hanya perlu menyiapkan semua dokumen yang berkaitan dengan kasus ini. Toh, kita punya seseorang yang bisa dimintai tanda tangan jika memang butuh.” Bambang menyeringai. Orang yang ia maksud tentu saja adalah Direktur Rumah Sakit Suka Sembuh delapan tahun silam, Baskara. “Baik, Pak. Apakah saya bisa pergi sekarang?” Tanya Danu sembari mengangkat bokongnya dari kursi. “Ya, pergilah! Ingat, jangan sampai gagal.” Bambang menatap tajam sekretarisnya. “Serahkan saja pada saya, Pak.” Danu menepuk dadanya. Bibirnya tersenyum bangga. Bambang mendengus, tangannya mengibas cepat. Menyuruh sekretarisnya itu pergi. Sementara itu di tempat lain, Pramana baru saja keluar dari rumah Handoko. “Terima kasih banyak, Pak.” Tangannya terulur, meminta bersalaman. Handoko membalas uluran tangan Pramana. “Sama-sama.” Laki-laki yang sebagian rambutnya sudah beruban itu tersenyum. “Sudah menjadi tugasku untuk menyampaikan kebenaran. Beruntung sekali kamu bisa mendapatkan file dokumen itu. Kamu juga sudah mendatangi orang yang benar. Karena meski dokumen itu hanyalah hasil scan, aku tetap bisa menganalisis keasliannya.” “Tentu saja. Saya sudah tahu sepak terjang Anda bahkan sebelum saya terjun ke dunia ini. Sejak dulu, saya selalu ingin bekerja sama dengan Anda. Beruntung, kasus ini membawa saya untuk bertemu dan mengenal Anda.” Tutur Pramana. “Hahaha.” Handoko tertawa lebar. Merasa senang bertemu dengan anak muda yang penuh semangat, jujur, sekaligus pandai bersopan santun. “Oh iya, berapa lama Anda bisa menyelesaikan analisis Anda?” Pramana lupa belum menanyakan hal itu tadi. “Ah, iya…” Handoko juga lupa tidak menyampaikan batas waktunya. “Sekitar tiga hari.” Katanya sembari mengacungkan tiga jari tangannya. “Kalau begitu, bisakah Anda menyampaikan hasil Analisis Anda di pengadilan?” Pramana menembak langsung ke tujuan kedua ia mendatangi grafolog ternama itu. “Wah, kamu mengundangku untuk menjadi saksi ahli?” Handoko mengangkat alis. “Yah, semacam itu.” Pramana tersenyum penuh arti. Sebenarnya ia ingin menyudahi obrolan mereka, tak nyaman juga mengobrol di teras rumah begini. Tapi ia tak bisa melepaskan kesempatan untuk menjadikan Handoko sebagai saksi ahli kubunya. “Akan aku pertimbangkan.” Handoko tersenyum. Laki-laki separuh abad itu jarang sekali muncul sebagai saksi ahli. Ia lebih memilih memberikan hasil analisisnya dalam bentuk dokumen. Tapi, sesekali ia tetap menerima permintaan sebagai saksi ahli. Karena sejatinya, itulah salah satu fungsi profesinya. “Terima kasih, Pak. Jawaban itu saja sudah cukup untuk saya.” Pramana tersenyum puas. “Kalau begitu, saya pamit pulang.” “Iya, hati-hati di jalan.” Pramana berjalan keluar dari teras rumah Handoko, melewati taman bunga yang indah dan asri. Tadi, begitu ia memasuki rumah ini rasanya seperti memasuki rumah nenek di kampung. Menenangkan dan menyenangkan. Sepertinya ia bisa betah berlama-lama di sini. Setelah mengenal langsung, ternyata Handoko juga orang yang rendah hati dan menyenangkan untuk jadi teman mengobrol. Pramana tersenyum, cukup puas dengan hasil pertemuannya hari ini. Setelah ini, masih ada satu urusan lagi yang tersisa. Urusan yang mirip dengan urusan dengan Handoko. Mengundang seorang ahli untuk menjadi saksi ahli di persidangan. Bedanya, ia sudah berteman baik dengan ahli yang satu ini. *** “Sidang tambahan akan dilaksanakan pekan depan, kamu mau datang lagi, Dan?” Sebuah pesan masuk ke ponsel Aidan, dari Reza. Aidan gegas menjawab. “Tentu saja, Om. Saya harus menyaksikan kehancuran Bambang dan sekutunya.” Kalimat Aidan terasa berapi-api. Meski begitu, ekspresinya tetap datar. Bagaimana tidak, ia sedang bersama Nera. Menjemput gadis itu di rumahnya. Usai mengirim pesan balasan, Aidan mengembalikan ponselnya ke saku celana. Ia melirik Nera yang sudah duduk di boncengan motor. Gadis itu sedang sibuk memasang helm. “Sudah siap, Ra?” Tanya Aidan. “Sudah, Kak. Ayo berangkat!” Ajak Nera. Suaranya terdengar antusias. Motor butut Aidan melakukan putar balik, kemudian melesat pelan di jalanan sempit gang rumah Nera. Dalam sekejap, ban motornya sudah bergesekan dengan aspal jalan raya. Melesat kencang, berkejaran dengan waktu, khawatir mereka terlambat tiba di kampus. Tadi, tiga puluh menit lalu, usai babak grand final berakhir, semua peserta dan panitia dibubarkan. Mereka diminta bersiap-siap untuk menghadiri acara terakhir. Penutupan sekaligus pengumuman pemenang kompetisi Neomicin. Aidan dan Nera mendapat giliran pertama yang bersiap-siap, pulang ke rumah atau kos, mandi, memakai pakaian yang baik dan rapih lalu kembali ke kampus. Sementara Wina dan Izza akan bergantian dengan Aidan dan Nera untuk memantau persiapan acara penutupan. Motor Aidan berbelok di depan gerbang kampus. Memasuki halaman depan kampus yang mulai terlihat gelap. Petang itu, kampus fakultas kedokteran tampak meriah sekali. Banner besar dipasang di depan gedung utama kampus, dikelilingi oleh lampu kelap-kelip. Gedung tua yang menjadi simbol kebanggaan bahwa kampus ini telah berdiri selama lebih dari seratus tahun. Banner itu bertuliskan nama acara yang berlangsung beberapa hari ini. National Medical Science for Highschool Student yang disingkat menjadi Neomicin. Puluhan mahasiswa terlihat berlalu-lalang, sebagian tampak mengangkat barang-barang berat. Sebagian lagi berjalan cepat menuju aula dua kampus. Tempat berlangsungnya acara penutupan Neomicin. Aidan dan Nera juga menuju ke sana. Mereka berdua berlari kecil menuju aula dua dari tempat parkir motor. “Ayo cepet, Kak. Kasihan Izza, dia belum siap-siap.” Nera menyuruh Aidan untuk bergegas. “Iya.” Tapi Aidan justru berlambat-lambat. Mungkin laki-laki itu sedang lelah saja. “Aduh, cepetan, Kak!” Nera tak sabar. Ia segera menarik tangan Aidan. Menyeretnya. Aidan tersenyum simpul, berlari kecil di samping Nera. Kemudian tangannya yang berada di dalam genggaman kekasihnya itu melakukan manuver, mengunci tangan mereka. Nera menoleh, mendelik kaget. Kemudian ia justru tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Menurutnya, tingkah Aidan itu sangat menggemaskan. Tapi, tak ada wkatu untuk mencubit gemas pipi Aidan, mereka harus bergegas. Kurang dari empat puluh lima menit lagi acara penutupan akan dimulai. Aidan dan Nera tiba di aula dua tepat waktu. Persis saat Izza dan Wina sedang bersiap-siap untuk pulang. “Kalian pacaran dulu atau gimana, sih? Lama banget!” Semprot Wina begitu keduanya tiba di sana. “Enggak, kok, Kak.” Nera buru-buru meluruskan kesalahpahaman. Meski begitu, rona merah di wajahnya sudah menjadi petunjuk yang cukup seperti hubungannya dengan Aidan. Wina mendengus, pura-pura kesal. “Ya sudah, kami balik ke kos dulu, ya? Kalian siapin deh sisanya.” “Apa yang belum?” Aidan menahan langkah Wina. “Menghubungi semua pihak yang harus hadir. Mengingatkan untuk datang tepat waktu.” Jelas Wina cepat. “Belum dihubungi semua?” “Iya.” “Oke.” Wina dan Izza gegas beranjak keluar ruangan. Waktu mereka tidak banyak. Untungnya kos mereka dekat dari kampus, hanya perlu berjalan beberapa meter saja. Aidan dan Nera berbagi tugas. Nera bertugas menghubungi dosen dan pengisi acara yang wajib hadir saat acara penutupan malam ini. Sementara Aidan memilih untuk membantu menyiapkan ruang aula bersama panitia lainnya. Menata kursi, menyiapkan konsumsi dosen, guru, dan peserta, memajang hadiah di tempat yang seharusnya, memeriksa kesiapan pengeras suara, dan lain-lain. Acara malam ini harus sempurna. Tak boleh ada kesalahan. Ini adalah acara puncak, jangan sampai kesalahan kecil membuat acara malam ini menjadi tak berkesan. Lima belas menit sebelum acara, para siswa SMU yang sebelumnya telah lolos ke babak perempat final mulai memasuki ruang aula. Guru-guru pendamping yang dua hari lalu datang mengenakan kemeja batik, malam ini memilih memakai pakaian kasual. Panitia gegas mengarahkan mereka untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Bersama rombongan itu, ada Wina dan Izza yang berlari kecil ikut masuk ke dalam aula. “Wah, udah pada dateng, ya?” Tanya Izza. “Iya.” Nera yang menjawab. “Sebentar lagi acara dimulai. Aku ke depan dulu, ya?” “Oke.” Nera segera menuju ke depan aula. Berbicara dengan MC yang bertugas malam ini. “Kita harus mulai tepat waktu, supaya nggak kemalaman. Lima belas menit lagi, harus dimulai, ya?” Kata Nera memberi instruksi. “Oke, Kak.” Setelah memastikan semua persiapan selesai, Nera turun dari podium. Beberapa langkah setelah turun, dosen-dosen mulai berdatangan. Termasuk dokter Anita. Dosen pembimbing mereka. Syukurlah, mereka tak perlu mengundur acara hanya karena dosen penyelenggaraan belum datang. Dokter Anita mendekati Nera, berbisik pelan. “Pak Dekan berencana untuk datang, sebaiknya acara dimulai setelah beliau datang, ya?” Nera menahan nafas. Tak setuju. Tapi, mau bagaimana lagi. Kadang-kadang hal begini terjadi. Hal yang berada di luar kendali mereka. “Baik, Dok.” Nera kembali ke kursinya di belakang dengan langkah gontai. Ia menghembuskan nafas pelan sembari menghempaskan tubuhnya ke kursi. “Kenapa, Ra?” Tanya Aidan. “Pak Dekan mau datang.” Jawabnya lesu. “Bagus, dong! Jarang-jarang loh Pak Dekan bisa datang ke acara yang diadakan malam hari begini.” “Iya, sih. Tapi ‘kan biasanya beliau telat. Bisa-bisa molor dong acaranya?” Nera memasang muka sedih. “Nggak apa-apa. Pengisi acara udah datang, ‘kan?” Nera mengangguk. “Nah, kalau Pak Dekan belum datang sampai waktu acara dimulai, pengisi acara bisa mulai menghibur peserta dulu. Kita buat fleksibel aja acara malam ini. Jangan terlalu saklek. Nanti kita yang pusing sendiri.” Tutur Aidan panjang lebar. Nera menoleh, menatap kekasihnya lekat. Kemudian menghembuskan nafas pelan. “Iya, ya. Karena sebelum-sebelumnya semua berjalan sesuai ekspektasi, jadi maunya sampai akhir juga begitu. Nggak ada yang melenceng. Tapi mau gimana lagi, memang ada hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Mending fokus sama yang bisa kita kontrol aja, ya, Kak?” “Nah, itu kamu tahu.” Aidan tersenyum. “Sana cepat beritahu pengisi acara buat jaga-jaga kita bakal pakai plan B.” Nera mengangguk mantap. Segera bergegas menuju tempat para pengisi acara menunggu. Pengisi acara yang dimaksud adalah grup vokal akapela fakultas kedokteran. Belakangan ini, grup vokal yang terdiri dari empat orang mahasiswa itu memang sedang naik daun. Diundang mengisi acara di berbagai kegiatan kampus. Salah satunya Neomicin ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN