Don't Cry, My Little Girl

1259 Kata
“Woy!” Tubuh Ditto terlonjak saking kagetnya mendengar suara sang adik. “Mesra banget lo berdua pacarannya!” Ya, suara Melia. Namun bukan ditujukan untuk dirinya, melainkan pada objek yang sedari tadi Ditto amati. “Ngga.. Ngga, lo nangis, beb?!” terdengar suara panik Melia. “Beb, lo kenapa?!” kali ini Ditto mendengar tuntutan sang adik pada Jingga. “Iya, lo beneran nangis!” Deg! Ditto tak salah dengar. Melia berteriak panik, mengatakan jika Jingga menangis. Entah mengapa, ia merasakan nyeri tepat di hatinya. Terlebih dirinya dihadapkan pada kenyataan, jika sang sahabat tak menangis di dalam pelukannya, melainkan milik laki-laki lain. Ditto iri.. Hatinya menginginkan itu semua hanya untuknya. Jingga bersandar pada dirinya, bukan orang lain. "Ibab, si Jingga katanya nangis tuh." Tunjuk Michell ke arah Jingga yang berlari meninggalkan kantin. Ditto hanya menjawab dengan kedikan bahu, meski sejujurnya ia pun kepo dengan alasan mengapa Jingga terkesan begitu emosional kali ini. " Iya loh To. Jingga kenapa ya To? Kok dia nangis?" tanya Vena pada Ditto. "Nggak tau Yayang Vena." Gelengan kepala Ditto berikan pada Vena. Pertanda bahwa memang ia sendiri tak tahu. Melia dan Ray sama-sama melayangkan tatapan tajam ketika melewati meja Dito CS. Apalagi Ray Husodo. Jangan ditanya. Mata laki-laki itu bahkan bisa terlepas, karena aksi melotot yang tak tanggung-tanggung. Ditto?! Tatapan Ray tentu saja terbalas, dengan sama tajamnya. Ditto masih merasa tak rela sekaligus marah, karena melihat Jingga memeluk Ray. Bukan dirinya. * Sampai tepat di depan mobil Ray, tubuh Jingga terjatuh tepat di atas kap mobil. Kedua tangannya bertupu di sana dengan tubuh membungkuk. Air mata Jingga kembali turun. Sakit... Hanya rasa itu yang terasa di relung hat Jingga yang paling dalam. Tangan kirinya menepuk-nepuk d**a sendiri, hingga tiba-tiba saja ada seseorang yang membalikan tubuh lemah Jingga secara paksa. "Ray…" ketika tangis Jingga semakin menjadi, Ray membawa tubuh bergetar itu ke dalam pelukannya. Mendekap erat sosok yang satu tahun lebih tua darinya. Si gadis cantik, pemanah hati Ray walau hanya bermodalkan senyum menawan saja. Ray tersenyum miris. Ingatan bahwa bukan dirinya yang Jingga cintai menyeruak. Ray ingin tertawa, meski ia yakin akan sumbang. Bagaimana tidak, ia memeluk gadis yang statusnya adalah pacar tapi gadis itu ternyata memiliki rasa pada laki-laki lain. Ray tak perduli. Selagi ia bisa bersama Jingga. Selagi ia mampu membahagiakan Jingga, tentu Ray tak akan menarik diri. "Stt, jangan nangis lagi. Ada gue, ada Mel. Kita ada buat lo, Sayang. Ada gue, pacar lo yang akan selalu ada." Tekan Ray pada kata pacar. Melia yang melihat itu juga ikut memeluk tubuh sahabatnya. Melia mengutuk keras Ditto. Karena kakaknya itu, tubuh sang sahabat bergetar karena tangis. Betapa bodohnya makhluk bernama Arnanditto Haryo! Melia yakin, suatu hari Ditto pasti akan menyesal. Terlebih ketika Jingga ternyata pada akhirnya memilih orang lain. Apakah Ditto tidak lihat, jika ada sosok yang selalu mendampingi Jingga bahkan mencintai sahabatnya dengan tulus?! Plakk!!!! "Sakit Michell." Ditto mengerang, kala Michell melayangkan tabokan dikepalanya. "g****k lo, anak orang lo bikin nangis!" hardik, Michell pada Ditto. Laki-laki itu kini tengah memandang lekat pada Jingga yang berada dalam pelukan Ray. "Ngapain lo liatin?! Lo yang bikin nangis, Ibab!" "Dih, emang si Jingga nangis karena gue?!" Sewot Ditto karena tidak rela dirinya di tuduh Michel sebagai penyebab dibalik tangis Jingga. "Anjir, nggak peka ya lo! Jangan sampek lo nyesel Ditto anaknya pak Haryo yang Botak." Peringat Michell pada Ditto, lalu memilih berjalan meninggalkan laki-laki itu. "Anjir si Michell baper." Ditto mengejar langkah Michell. Namun laki-laki itu bukannya berjalan bersampingan dengan Michell, malah berjalan sambil menunduk dibelakang sang sahabat. "Sorry." Ucap Ditto dalam hati lemah. ** Ray memperhatikan Jingga yang terlelap di atas ranjang apartemennya. Gadis itu menangis hingga tertidur di mobil tadi, sehingga mau tak mau Ray harus membawa Jingga. Menggendong gadis yang ia cintai untuk sampai di unit miliknya. "Bilang sama Kakak lo ya Mel! Jauhin cewek gue." Ujar, Ray keras pada Melia yang kini tengah asik memainkan games besutan Moonton di ponsel. Mendengar nada sinis itu, Merlia menghentikkan aktifitasnya, lalu menatap lekat tepat ke mata seorang Ray Husodo. "Jangan mencoba egois kalau nggak mau kehilangan Jingga. Cinta yang Jingga punya ke Kakak gue bukan cinta sebesar biji jagung Ray. Saran gue jangan gegabah." Ujar Mer lalu bangkit mengambil tasnya."Gue balik dulu, tolong nanti anter Jingga pulang ke rumah." Pamit Melia pada Ray. Setelah kepulangan Melia, Ray bangkit dari kursinya lalu duduk di samping Jingga yang terbaring. Tangan kanan Ray terulur untuk mengusap lembut rambut Jingga. Ray menundukkan kepalanya, mencium kening Jingga. "Kenapa lo nggak jatuh cinta sama gue aja Ngga, yang jelas cinta sama lo." Lirih, Ray. Ray lantas mengambil ponsel. Membidik wajah Jingga yang tidur dengan begitu damai. Wajah putih dan cantiknya tidak luntur walau habis menangis berjam-jam. Ray tersenyum melihat hasil jepretan kamera ponselnya. "Cantik.." puji, Ray. Ray membuka aplikasi i********:. Mengirimkan foto yang baru saja ia ambil, lalu menulis sebuah caption, yang pasti membuat seluruh wanita di dunia iri pada Jingga. Ma Beautiful Lady. Sleep tight, Beb.. *** Jingga melambaikan tangan pada Ray yang mengantarkannya pulang ke rumah. Senyumnya tiba-tiba saja luntur saat berpapasan dengan Ditto yang membawa sebuah kantong belanjaan dari salah satu mini market dekat rumah mereka. "Mau?" tanya Ditto sambil menyodorkan es krim Vanilla ditangannya. Jingga menggelengkan kepalanya."Gue masuk dulu To." Pamit, Jingga berbalik meninggalkan Ditto. Ditto menghela nafasnya kasar, menerima penolakan Jingga. Ia lantas kembali melangkan kaki. Masuk ke dalam rumahnya sendiri. Malam yang datang, tiba-tiba saja membuat Jingga merasa sedih. Biasanya dia akan menemani Ditto bermain Ps di rumah anak itu. Namun malam-malam ke depan nampaknya harus berjalan berbeda dari biasanya. Jingga kesepian. Ia tadi menolak ajakan kencan yang Ray tawarkan sebelum pulang. Andai saja tadi ia mengiyakan. Tentu dirinya tak akan mengingat Ditto. Jingga berjalan membuka balkon kamar. Ia berdiri di depan pembatas, sembari menerawang jauh. Matanya memandang lurus, tepat di kamar laki-laki yang dia cintai. Kamar itu terang benderang. Jingga yakin, Ditto pasti sedang melakukan sambungan telepon dengan Vena. Pikiran buruk itu entah mengapa membuat hatinya nyeri. Membayangkan Ditto menelepon Vena dan bergurau, layaknya tadi di kantin membuat air mata Jingga menetes perlahan. "Apa yang harus gue lakuin, To?" tanyanya lirih. Air mata itu terus menetes membasahi pipi putihnya. Jingga menutup mata, merasakan dinginnya angin malam yang menerpa. Ck! Terasa semakin perih. Di kamarnya Ditto melihat itu. Air mata Jingga yang terus saja menetes. Ditto mengintip melalui gorden yang ia buka sedikit. Dengan menggunakan sebuah teropong. Ditto melihat air mata turun semakin deras. Bahkan sesekali Jingga menepuk-nepuk d**a, hingga terbatuk. "s**t!" Maki, Ditto. Entah pada Jingga atau dirinya sendiri. Ditto melempar asal teropong tersebut. Ia berlari cepat keluar dari kamar, lalu menuruni tangga rumahnya dengan tergesa. "Mau ke mana lo Kak?" tanya Mel pada Ditto ketika laki-laki itu berlari melewati ruang keluarga tempatnya menonton drama. "Ck! Songong!" Mel, mengomel. Bukan mendapat jawaban, Mel justru seolah tak kasat mata karena Ditto bahkan melarikan diri dengan berlari menjauh. Sampai dibalkon kamar Jingga yang terbuka Ditto menatap sejenak punggung gadis yang bergetar di depanny. Ditto berjalan pelan tanpa suara. Lirih.. Tangis Jingga terdengar begitu menyayat, terlebih hati Ditto. Laki-laki itu maju, lalu melingkarkan tangan dipinggang Jingga. Memeluk sang gadis erat, sembari menyandarkan dagu ke pundak kanan Jingga. Jingga hapal betul aroma parfum yang menusuk hidungnya. Aroma khas yang hanya dimiliki Ditto. Karena hanya perpaduan keringat Dittolah yang akhirnya membuat bau parfum itu begitu berbeda dengan orang lain. Pelukkan Ditto justru membuat Jingga semakin terisak dan bergetar lebih kencang dari sebelumnya. Ia semakin menundukkan kepala. "Please, don't cry. Don't cry my little girl. Please." to be continued... Kalau diinjinin buat ucapin satu kata ke Ditto, apa yang pengen kalian ucalin, Gaes?!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN