"Dia tidur?" ucap Ditto, serupa bisikan saat mendengar deru nafas Jingga yang teratur.
Ditto bangkit, membawa Jingga ke dalam gendongan setelah mengetahui jika gadis itu terlelap dalam pangkuannya. Ia melangkah pelan, lantas membaringkan Jingga ke atas ranjang di kamar Jingga. Setelah memastikan Jingga tak terusik, Ditto lalu memilih menutup pintu balkon dengan gerakan hati-hati.
Bukan kembali pulang ke peraduannya, Ditto justru bertahan di kamar Jingga. Memilih ikut membaringkan diri tepat di sisi yang tak Jingga gunakan. Perlahan ingatan Ditto menerawang pada kejadian beberapa saat lalu. Lebih tepatnya pada interaksinya bersama Jingga tadi.
**
Flashback
"Please, don't cry. Don't cry my little girl. Please!"
Tangis Jingga semakin menjadi, membuat Ditto segera membalikkan tubuh demi menghadap sang sahabat. Tangan Ditto terulur. Menghapus air mata Jingga yang membasahi seluruh wajah gadi itu.
"Jangan nangis, jangan nangis lagi, please." pinta Ditto, sembari menghapus air mata yang berjatuhan di wajah Jingga.
"Jahat!" Jingga melayangkan pukulan. "Lo jahat, sumpah!" lagi.. Pukulan itu kembali singgah di d**a Ditto, namun sama sekali tak menyakiti dirinya. "Apa yang harus gue lakuin? Apa?! Lo suruh gue berhenti tapi gue nggak bisa. Bilang ke gue apa yang harus gue lakuin?"
Ditto menghentikan pukulan Jingga. Menahan lengan sang sahabat ke udara, sebelum melingkarkan pada tubuhnya sendiri. Pelukkan kembali terjadi.
"Sstt..." desis Ditto. "Jangan nangis, please.."
Gelengan terjadi pada kepala Jingga. Ia melirih. "Apa yang harus gue lakuin supaya gue bisa berhenti To? Apa To, Apa?!" Ucapan itu nyatanya mampu menusuk tepat pada jantung Ditto.
Terdengar hembusan nafas. "Kalau gitu benci gue. Benci gue biar rasa cinta lo ke gue ilang Ngga. Benci gue biar lo nggak kesakitan kaya gini." Meski tak rela, nyatanya ucapan itu tetap terlontar dari bibir Ditto. Membuat Jingga terdiam beserta air mata yang juga terhenti.
Jingga tidak menangis. Tidak juga meronta. Gadis itu hanya diam mematung dengan lengan telah terkulai, meninggalkan pinggang Ditto.
Ditto merasakan itu. Ia merasakan bahwa hanya dia yang memeluk Jingga. Jingga sudah melepaskan pelukkannya dan berhenti menangis. Ditto lantas membawa Jingga untuk duduk. Dan entah mengapa dia membawa Jingga duduk dipangkuannya.
"Maafin gue, maafin gue yang nggak bisa bales perasaan lo. Maafin gue yang egois dan jahat sama lo. Maafin gue. Maaf karena gue mencintai wanita lain Ngga. Maaf.." meski sebanyak apapun kata maaf terucap, nyatanya Jingga masih menutup mulut rapat. Permintaan Ditto hanya mampu Jingga balas dengan tetesan air yang jatuh dari matanya.
Tak kunjung mendapat balasan, Ditto lantas membingkai wajah Jingga. Menahan agar sang sahabat tetap mau menatap dirinya.
Deg.. Jantung Ditto berpacu kala melihat air mata mengalir, bahkan tanpa suara.
Lagi.. Ia menyakiti Jingga. Menyakiti gadis yang paling ia sayangi setelah Mel. Menyakiti sosok yang ia anggap tak ubahnya Melia sang adik.
"Say something, please.." lirih Ditto. Matanya menatap sedih air mata yang turun di tengah bungkamnya bibir Jingga.
Please, Ngga. Tak tahan, Ditto memiringkan kepala. Mendekatkan kepala, hingga wajah keduanya tak memiliki jarak.
Cup..
Untuk pertama kalinya bibir Ditto mendarat. Tak hanya memberi ciuman, lelaki itu nyatanya juga melakukan lumatan kecil pada milik sang sahabat. "Please, say something." pinta Ditto namun tak ada pergerakan.
Ditto kembali mencium Jingga. Menyalurkan rasa frustasi meski si pemilik tak kunjung membalas dirinya.
"Maaf.. Maafin, aku." ucap Ditto setelah bibirnya terlepas. Ditto lantas membawa Jingga ke dalam pelukkan. Mendekap erat tubuh sang sahabat yang tak kunjung bicara.
[Kamar Jingga, saat ini]
Cup..
Ditto mencium kening Jingga. Ingatan tadi membuatnya menghela nafas. Kenapa dia harus mencium bibir Jingga?! Ditto pun tak tahu jawabnya.
"Ngga, kamu tahu kalau aku sangat banget kan sama kamu?! Jangan gini, please..." lirih Ditto. Ia mendekap tubuh Jingga, hingga tanpa sadar rasa kantuk membawa seluruh kesadaran Ditto. Melupakan fakta bahwa harusnya sekarang ia harus kembali pulang.
****
"AAaaaaaaaaaaaaaaa. Apa yang kalian lakukan?!" Jerit histeris Bunda Jingga karena menemukan putri dan pemuda yang sangat ia kenal tidur saling berpelukan di atas ranjang.
Tak hanya Bunda Jingga, sang Ayah yang melihat Ditto berada di ranjang yang sama dengan putrinya pagi buta turut berteriak. "Apa yang sedang kalian lakukan sepagi ini?!" hardikan keras terdengar membuat mata Jingga terbelalak dan seratus persen mulai tersadar.
's**t! Gue ketiduran,' rutuk Ditto dalam hati.
"Bunda kira kamu sudah pulang semalam, apa yang kamu lakukan Ditto?! Ayah telepon Mas Haryo Yah, ini nggak bisa dibiarin. Anak kita Yah." Ucap Bunda Jingga panik.
Bagaimana tidak panik. Anaknya bangun dengan kondisi acak-acakan, muka sembab dan seorang laki-laki yang memeluknya dengan erat.
Melihat kekacauan yang terjadi. Jingga bergegas turun dari ranjang. "Bunda ini nggak seperti yang Bunda kira. Jingga berani sumpah, Bun." ujarnya mencoba meyakinkan.
"Bunda ini nggak seperti yang Bunda kira, Jingga berani sumpah Bunda." Kata Jingga turun dari
"Kalian jangan ke mana-mana. Ayah telepon papa kamu dulu Ditto. Ayah kecewa sama kalian." Ujar Ayah Jingga lalu meninggalkan istri dan putrinya.
Di sini lah pada akhirnya Ditto. Duduk berdua dengan Jingga dihadapan seorang penghulu. Kedua orang tua mereka memaksa agar menikah. Ditto jelas tak punya kuasa setelah Pak Haryo memberondongi dirinya amarah meski tak menggunakan bogem mentah.
"Saya terima nikah dan kawinya Patricia Jingga binti Awan Sukmana dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai." setelah sempat dua kali salah menyebutkan nama, akhirnya Ditto resmi menyunting Jingga meski berdasar paksaan orang tuanya.
"Bagaimana saksi?! Sah?!" tanya Penghulu.
"Saaah..." teriakan serempak dari lima orang saksi yang merupakan keluarga inti kedua belah pihak mengawali rumah tangga Ditto dan Jingga.
Menghela nafas, Ditto akhirnya mengalihkan tatapan demi mengetahui reaksi Jingga atas pernikahan mereka. Di sana, Ditto menemukan seberkas kecewa. 'Ck! Kalau gini caranya gimana gue bisa ngejar Vena lagi!,' batin Ditto gusar.
Setelah kepergian Penghulu dari rumahnya, Jingga bangkit."Aku mau ke kamar dulu." Meninggalkan perkumpulan keluarga yang belum selesai. Ditto lantas bangkit. Ia mengikuti langkah istri yang beberapa waktu lalu ia nikahi secara agama.
"Ngga.." panggil Ditto ketika ia membuka kamar Jingga.
"Duduk! Gue mau ngomong." Ditto masuk ke dalam kamar. Persis seperti titah si pemilik. Ia melihat tatapan istrinya yang kini duduk sembari tak melepaskan sorot.. Ah! Entah.. Dito tak bisa menjelaskan arti dari tatapan Jingga untuknya.
"Duduk aja, kita bahas tentang pernikahan ini." Jingga berkata datar, namun di sana Ditto dapat menangkap kemarahan dari aura yang Jingga pancarkan. Ditto lantas mendudukkan diri ke atas ranjang, tak mau mendebat.
"Kita buat perjanjian pernikahan secara hukum pakai materai. Gue pengen setelah satu tahun kita cerai aja. Gue nggak mau bikin lo menderita nikah sama orang yang nggak lo cintai. Kita bebas mau sama siapa aja. Silahkan lo kalau mau terus ngejar Vea, dan gue bakalan tetap pacaran sama Rayi. Oh, satu lagi rahasiain pernikahan ini dan nggak akan ada yang namanya hubungan suami istri. Cukup oke kan? Ini bisa juga buat terus lo sama orang yang lo suka." ujar Jingga tanpa memberi kesempatan untuk Ditto berbicara.
"Ngga..." Sela Ditto. Bukan kah Jingga terlalu banyak bicata?
"Gue harap lo setuju. Ah ya, jangan saling campurin urusan satu sama lain. Gue bakal tulis suratnya lo tinggal tanda tangan aja."
Ditto diam sejenak. Matanya tak lepas dari manik Jingga. Satu kata, hanya satu yang mampu Ditto jelaskan terkait gadis yang kini menjadi istrinya. 'Berubah,' dan Ditto tak lagi mengenal siapa manusia dihadapannya.
"Oke." Dengan berat hati Ditto mengatakan itu pada istrinya. Istri yang memang tidak ia cintai. Namun sebagai seorang sahabat dan Kakak, Ditto sangat menyayangi Jingga, lebih dari apapun sama besarnya dengan rasa sayangnya pada Merliana adiknya. Toh, perjanjian itu juga tidak merugikan Ditto sama sekali. Ia masih bisa mengejar wanita pujaannya. Harusnya Ditto kan berterimakasih pada Jingga.
Oke?!
'Ah, lo berharap apa emang, Jingga?! Ditto jelas nggak akan nolak,' batin Jingga miris.
Tanpa kata balasan, Jingga bangkit. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Perlahan Jingga menutup pintu, lalu menyandarkan punggung di sana. Kakinya tiba-tiba saja terasa seperti jelly, membuat ia jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi.
"Gue punya raga lo, tapi enggak hati lo, To." Lirih Jingga sembari membenamkan kepala diantara lengan dan kaki yang ia tekuk.
Air mata mengalir, tak bisa lagi Jingga tahan lebih lama. Rasa sakit mendominasi hati dan jiwa Jingga. Pernikahan ini bukanlah hal yang Jingga inginkan meski dengan lelaki yang ia cinta.