BLAS • 07

1200 Kata
Bel istirahat berbunyi, Maxel langsung berdiri menghampiri meja Kania dan Viola. Ia berdiri di sebelah Viola saat berkata, "Gue keluar dulu, lo pada ke kantin aja kayak biasanya." "Heh? Mau ke mana lo?" Kania bertanya. Maxel menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Ada urusan bentar, gue pergi duluan ya!" Ketika tubuh tinggi tegap itu menjauhi mereka, Viola hanya melihatnya dengan pandangan bertanya-tanya. Ada yang tengah disembunyikan oleh Maxel dari mereka, tapi ia tidak mengetahui apa yang tengah disembunyikan laki-laki dari mereka. "Biarin aja, gue yakin dia nggak papa!" Viola menatap Kania yang sudah berdiri dengan senyum cerahnya seperti biasa. Sesaat sebelum ia mengangguk, ia melihat ke arah pintu keluar sekali lagi. Benarkah, Maxel tidak kenapa-kenapa? "Ayo ke kantin!" Viola mengangguk sebelum keduanya berjalan berdampingan menuju kantin. Dalam perjalanan itu, mereka saling bercanda, saling melontarkan kata-kata, hingga mata Kania menatap sosok Bintang yang berjalan dengan gerakan mantapnya. "Pak Bintang beneran ganteng banget ya ternyata," ucap gadis itu tanpa sadar. Viola ikut melihat ke arah yang sama. Bagaimana kakaknya yang kini menyapa siswa yang lewat di sekitarnya dengan senyuman tipis, sebelum menghilang di balik pintu ruang guru. "Jangan bilang lo naksir sama dia, kan? Mendingan jangan." Viola berkata sembari melanjutkan perjalanannya. Kania menatap temannya dengan kebingungan sebelum berlarian kecil untuk mengejar langkah kaki Viola dari belakang. "Kenapa jangan?" Viola berhenti melangkah, diikuti Kania yang kini berdiri di depan gadis itu dengan pandangan bertanya-tanya. "Dia bukan orang yang baik," jawabnya. Mungkin memang benar, jika Viola mengatakan hal itu kepada Kania. Bagaimana di kenyataannya, Bintang tidak terlihat sebaik rupanya. Kakaknya memang bukan orang jahat, tapi kakaknya juga bukan orang yang tepat untuk disukai. Namun Viola tidak bisa memungkiri, bahwa dirinya juga terjatuh pada pesona ketampanan kakaknya sendiri. "Banyak orang nggak baik di dunia ini, Vio! Lagi pula nih ya, nggak ada orang yang sempurna di dunia ini, kan—" "Lupakan aja," kata Viola memotong ucapan Kania yang pasti tidak akan ada artinya. "Dia bukan orang yang bakalan tertarik pada anak SMA." Viola melewati sahabatnya ketika Kania baru menyadari sebuah keganjilan di sana. "Eh... jangan bilang lo udah kenal sama Pak Bintang jauh sebelum ini?" Namun Viola tidak menjawabnya. Jelas ia mengenal Bintang, karena Bintang adalah kakaknya. Namun ia tidak mengenal kakaknya sebagai orang yang tadi pagi memasuki kelasnya. Ia sangat tahu pasti, bahwa kakaknya bukan guru, dia tidak kuliah pada jurusan itu. Walau saat itu ia masih polos dan bodoh tentang jurusan apa yang diambil kakaknya sewaktu kuliah, tapi ia tahu pasti. Bintang tidak akan mengambil jurusan guru sebagai tempat pengabdian profesi seumur hidupnya, ketika ia pernah mengemis pada sang ayah untuk ikut terjun ke perusahaan keluarga mereka. Namun sekarang apa? Bagaimana ia bisa menjelaskan keanehan ini, jika ia tidak bisa bertanya pada Bintang. Tidak. Viola memang harus bertanya, karena rasanya ... soal ini tidak akan mendapat jawaban tanpa klarifikasi jelas dari Bintang secara langsung. *** Bintang Alvaro. Laki-laki dengan rahang tegas dan tatapan mata tajam yang entah mengapa bisa membuatnya bertanya-tanya. Membuat Maxel tertarik pada Bintang, tapi bukan rasa ketertarikan yang bisa diartikan sebagai rasa suka. Maxel laki-laki normal, dan ia yakin Bintang juga sama. Namun kini, Maxel tertarik untuk mengetahui tentang guru baru itu lebih lanjut. Tentang mata hitam tajam dengan hunjamannya yang serasa mematikan. Tentang mata hitam yang tampak redup dan menyimpan sebuah kepedihan. Maxel penasaran, apa yang tengah disimpan laki-laki itu sekarang ini. Namun ia tidak bisa mendekat, menanyakannya langsung dan menjadi murid kurang ajar yang mungkin akan dicap sebaga gay baru di sekolah ini. Laki-laki itu menghela napas dan menghentikannya. Dengan cepat kepalanya menoleh ke samping saat suara itu terdengar. "Ngapain lo liatin dia? Lo nggak kelainan kan, Xel?" "Buset lo ... dateng-dateng udah kayak setan aja, nakutin tahu nggak!" "Elo-nya aja yang terlalu fokus liatin dia." Mata laki-laki itu menatap Bintang dari kejauhan. Laki-laki tampan dengan pandangan yang menantang. Sebelum ia mendengus dan berbalik untuk menghadap Maxel yang masih menatapnya. "Jadi, ada apa sama dia? Kenapa lo liatin dia kayak gitu?" "Enggak, ini bukan urusan lo Zil." "Iya tahu, tapi tumben aja lo liatin cowok kayak dia. Biasanya lo kan Cuma liatin Viola, gue mah lewat gitu aja." Maxel menatapnya sinis, jelas saja Maxel enggan melihat Zillo karena ia laki-laki normal. Mana mungkin ia memperhatikan Zillo ketika laki-laki lewat di depannya. Maxel belum segila itu untuk melakukannya! "Gue ngerasa ... kayak pernah ketemu entah di mana, jauh sebelum ini." Zillo bungkam, sebelum ia berbalik dan berbicara pelan yang hanya bisa didengar oleh laki-laki itu seorang. "Jangan lihatin dia terus, dia bisa aja sadar saat lo ngelihatin dia kayak tadi. Hati-hati, Xel!" "Hm." Zillo melangkah pergi, menyusul Maxel yang melihat Bintang sekali lagi sebelum mengikuti jejak sahabatnya yang pergi terlebih dahulu. Zillo dan Maxel beda kelas, tapi mereka sering bertemu di kantor guru di jam istirahat atau pulang sekolah. Jadilah mereka memiliki ikatan tersendri, seperti sebuah kedekatan layaknya teman. Namun Maxel sanggup menganggap Zillo lebih daripada teman dalam hidupnya. Ketika dua sosok itu menghilang, di saat itulah ia menolehkan kepalanya ke arah pintu keluar. Melihat jejak kepergian mereka dengan wajah datar. Bagaimana jejak-jejak itulah yang memperlihatkan petunjuk bagi Bintang, tentang alasan laki-laki yang diketahuinya bernama Maxel itu mengikutinya, bahkan bisa dibilang mengawasinya. Bintang juga tidak tahu, tapi ia cukup penasaran akan apa alasan laki-laki itu hingga melakukannya. Ia sangat penasaran. *** Viola mengetuk pintu kamar di depannya dengan pelan, mennggu sang pemilik kamar memerintahknnya untuk membuka pintunya atau langsung masuk begitu saja. Namun tak ada jawaban, tak ada sahutan. Bagaimana kesepian yang suram itu seperti menyelimuti kamar yang ada di depannya saat ini. Melingkupinya dan tak mengizinkan satu orang pun mendekatinya. Viola menghela napasnya, mengembuskannya dengan kasar sebelum kembali mengayunkan tangannya untuk mengetuk pintu di depannya lagi. Bintang membuka pintu, tepat ketika Viola mengayunkan tangannya dan tidak bisa tertahankan lagi bahwa Viola akan menyentuh d**a bidang itu. Merasakan bagaimana kuatnya otot yang tercetak di kaos ketat kakaknya itu dengan tangannya secara langsung. Bagaimana sentuhan itu membuat darah Viola berkumpul di kepala, menjadikan pipinya memerah sedang isi pikirannya menguap pelan-pelan. "Ada apa?" Bintang menambahinya dengan kalimat tanya yang lebih bisa dibilang dingin itu. Viola mendongak, melihat wajah datar kakaknya yang sama sekali terlihat tidak bersahabat sebelum ia sadar bahwa tangannya masih berada di tempatnya tadi. Gadis itu nyengir, menurunkan tangannya dan menatap Bintang dengan wajah polos tidak berdosa miliknya. "Um... itu...." "Itu apa? Ngomong yang jelas." "Makasih." "Buat apa bilang makasih?" "Buat PR Vio, kakak kan yang ngerjain semuanya?'" Bintang mendengus, dia berniat menutup pintu begitu saja, tapi Viola menarik ujung kaosnya dari luar pintu kamar. "Viola masih mau ngomong," ujar Viola tiba-tiba yang membuat Bintang bertanya-tanya. Ada apa? "Mau ngomong apa, kakak sib—" "Kenapa kakak bisa jadi guru?" Bintang menatap adiknya dengan pandangan meneliti. Bagaimana keseriusan dari mata itu agak sedikit membuatnya yakin, bahwa ia ingin membagi jawabannya pada Viola. Namun secepat kilat ia menggelengkan kepalanya. "Kepo!" "Ish, gue tahu kok, kalau lo nggak kuliah di jurusan pendidikan kayak gitu. Tapi kenapa lo bisa jadi guru?" "Terus apa urusannya, kalau gue jadi guru? Bukan urusan lo juga, kan?" Kini ganti Viola yang membelalak ketika mendengar jawaban kakaknya. "Denger Viola, walaupun lo yang nanya, gue nggak bakalan ngasih tahu jawabannya." "Tapi kenapa? Gue penasar—" "Lupain aja kekepoan lo itu, selamat malam!" Bintang berniat berbalik pergi begitu saja saat ia merasakan sebuah pukulan di lengan atasnya. "Nyebelin tahu nggak!" jerit gadis itu sebelum berlari ke arah kamarnya, meninggalkan Bintang yang kini menatap punggung adiknya dengan wajah bertanya-tanya. "Salah gue apa, kenapa dia sampai mukul gue segala?" "Nyebelin darimana juga? Gue kan cuma bilang nggak mau jawab pertanyaan dia aja." "Aneh." Namun mengapa kalau aneh, ia sampai melihat punggung adiknya tanpa kedip dan berniat untuk mengejarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN