Bintang meletakkan tubuh itu di atas ranjang kamar adiknya. Mata Viola masih tertutup rapat, dan ia terpaksa harus menggendong adiknya ke kamarnya. Bintang menarik selimut untuk menutupi tubuh itu sebelum menghela napasnya kasar.
Kamar adiknya terlihat berbeda. Kapan terakhir kali ia ke sini? Melihat adiknya duduk di sana dan mengerjakan PR-nya dengan dia yang melihatnya dari belakang. Rasanya sudah lama sekali.
Matanya bergerilya, mengamati satu per satu perubahan yang ada di kamar itu. Dari warna dinding yang berubah, dari biru menjadi ungu muda, dan dari isinya yang tampak lebih banyak dengan beberapa make-up di depan cermin besar. Bintang menatapnya tanpa ekspresi, bagaimana adiknya yang kini berubah begitu drastis daripada dulu.
Jelas saja, bagaimana dulu Viola hanyalah anak SMP yang masih polos-polosnya dan sekarang? Dia sudah tumbuh dewasa. Kira-kira berapa umurnya sekarang? Bintang kenapa mendadak lupa pada perbandingan usia mereka, ya?
Bintang mendengkus, hingga matanya terhenti pada meja belajar yang tampak berantakkan. Meja itu masih sama seperti dulu. Meja agak panjang dengan tumpukkan buku berserakan di atasnya, pena dan pensil yang tidak berada di tempat aslinya, dan juga lampu belajar. Ada satu kursi tempat duduk untuk Viola tentunya, sejak dulu masih sama.
Bintang masih bisa mengingat bayangannya. Bagaimana ia yang dulu berdiri di belakang adiknya yang terduduk di sana dan mulai menjelaskan semua pelajaran yang tidak dimengerti adiknya.
Bibirnya mengulas senyum tipis yang menyusul dengkusan, ketika kakinya memutuskan untuk mendekat dan mulai merapikan kekacauan di atas meja itu. Merapikannya, sama seperti dulu. Ketika adiknya jatuh tertidur karena kelelahan belajar, maka ia ada di sana untuk membereskan semuanya.
Ia dan Viola memang berbeda, bukan hanya dari sifat serta kecerdasan. Bintang merasa bahwa mereka memang berbeda. Semua itu terbukti sewaktu ia kuliah ke luar kota. Meninggalkan adiknya dan tidak bertemu dengan keluarganya lagi selama bertahun-tahun.
Ia merasakan sesuatu yang berbeda, tapi ia tidak bisa menjelaskan sesuatu itu sama sekali. Hingga tangannya terhenti pada sebuah buku yang kertas tengahnya ada yang dilipat di sana. Kening laki-laki itu mengernyit ketika membukanya dan melihat seberapa banyak PR gadis itu di satu buku.
Bintang mendengkus, apalagi saat suara Maxel yang tadi menelepon adiknya tiba-tiba menyeruak masuk ke kepalanya.
... Ada banyak PR kan?
Ada banyak PR dan ia sangat yakin Viola tidak akan bisa mengerjakannya tanpa dibantu sama sekali. Bintang mendesah pasrah sebelum mulai duduk di kursi belajar itu, mengambil pensil dan mulai melanjutkan PR yang mungkin tidak akan bisa diselesaikan adiknya besok. Ya ... setidaknya, kali ini saja. Izinkan Bintang menjadi kakak yang baik lagi, malam ini!
***
Viola merasa ototnya kaku di beberapa bagian, kemarin ia mengalami hari yang melelahkan. Bangun tidur, mandi, sarapan, ke rumah sakit, dan pulangnya malam lagi karena mengantarkan kakeknya pulang ke rumahnya.
Kakeknya memang kambuh, tapi hanya dirawat selama satu hari satu malam saja, karena kakeknya benci rumah sakit. Dan sekarang adalah hari senin. Hari yang dibenci semua pelajar, tak terkecuali Viola yang kini merasakan pusing di kepalanya akibat upacara bendera dengan isi pidato yang panjang sekali.
Gadis itu menghela napasnya sebelum duduk di kursinya dengan malas. Kania menatap Viola dengan senyuman menggoda. "Lo kayak kecapekan Vio, padahal kemarin hari minggu loh. Jangan bilang lo abis kencan ya kemarin?"
"Kencan sama siapa sih Kan, ngaco lo!" bantah Viola tidak terima. Kencan sih enak bawaannya seneng, lah dia? Bawaannya sakit. Kebalikannya.
"Oh ya Vi, lo sabtu malam gue telepon kenapa nggak diangkat sih? Sibuk banget, ya?"
"Eh, sabtu malem? Emangnya lo ada telepon gue malam itu?" tanya Viola terkejut. Sabtu malam kalau ia tidak salah ingat, ponselnya ia tinggal di mobil sang kakak sewaktu ia masuk ke klub malam itu? Dan sewaktu pulangnya, Viola sudah jatuh tidur dan nyaris tak sadarkan diri karena kecapekan.
"Iya, dia nelepon elo bahkan sampai panik gangguin gue segala lagi." Maxel angkat suara, dia yang sedari tadi menyimak akhirnya ikut bicara juga.
"Ih apaan sih, Xel! Itu namanya khawatir tauk!"
"Tapi berlebihan Kania!"
"Iyain aja."
Sedang Viola masih bertanya-tanya. "Ah masa sih, kok gue nggak tahu sama sekali ya? Nggak ada notifnya juga loh!"
Maxel menatap gadis itu sebelum membalas, "Oh ya, jam sebelasan gue nelepon lo dan diangkat sama cowok. Siapa tuh cowok!"
"COWOKKK!" Kania menatap Viola dengan penasaran bukan main. "Siapa dia Vio, dia siapa? Pacar lo ya, kok nggak dikenalin? Eh, gue kok kepo gini sih, astaga! Siapa dia Vio!"
"Hm, kalau cowok mungkin Kakak gue. Sabtu malem gue emang lagi keluar sama dia, gantiin pergi Ayah ke reuniannya sama temen-temennya. Ya pokoknya gitulah, emang ada apa lo pada sampai telepon gue segala?"
"Kakak lo cowok? Kira-kira ganteng nggak? Bisa ngenalin sama gue nggak, kali aja bisa dipacarin, kok gue penasaran kayak gini sama dia sih!"
Maxel melirik Kania sinis, efek jomlo mungkin sampai segitunya kali, ya? Batinnya. "Ganteng sih ganteng, cuma apa ya? Gue ragu dia suka sama anak kecil kayak kita."
"Yah gituuu...," ujar Kania kecewa.
Viola mengabaikannya, Kania hanya akan mengajaknya bercanda jika ia meladeninya. Jadi ia menoleh ke belakang, menatap Maxel guna mendapatkan jawaban dari soalnya yang pertama. "Jadi ada apa, kok lo pada nelepon gue hari itu?"
"Lo nggak papa?" Maxel tidak menjawab dan balik bertanya.
"Nggak papa kok, emangnya gue kenapa?"
"Kata kakak lo, besoknya kalian mau ke rumah sakit. Gue kira lo kenapa gitu?"
"Oh itu ... gue kemarin jenguk kakek, penyakit jantungnya kambuh, tapi dia udah baikan kok sekarang."
"Hm, pantesan. Padahal kemarin gue sama Kania ada rencana belajar kelompok gitu, lo tau kan PR?"
PR? Mata Viola membelalak ketika mengingat yang satu itu. Wajah horornya menghadap Maxel yang kini penasaran menatapnya. "Kenapa Vi?'
"Hooh, Vio lo kenapa?"
"Mampus, gue belum bikin PR. Alamak! Buku mana buku! Gue mau nyontek ya Allah ... masa iya gue bakal dihukum lagi nanti!"
Gadis itu ampak panik bukan main, Kania menatap Viola shock. "Lo gila hah!"
Sedangkan Maxel hanya mendengus saja sebelum mengeluarkan buku PR-nya. "Nih, salin yang cepet. Lima menit lagi bel masuk!"
Viola mengambil buku itu dengan semangat, menghadap bangkunya dengan benar, mengeluarkan bukunya dan membukanya dengan cepat serta gelagapan. Dia terburu-buru, bagaimana rasanya dihukum ibu hamil itu adalah hal yang paling tidak mau Viola rasakan sedari dulu. Karena hukuman guru itu pasti, aneh banget ... sampai bikin urat malu putus.
Kania hanya menatapnya dengan gelengan kepala pelan. Biasanya Viola akan menjelma jadi anak rajin di hari senin. Bukan karena senin adalah hari yang dikutuk semua siswa, tapi karena senin adalah tempat para guru-guru killer bergabung dan mengajar di hari yang sama di kelas mereka.namun ketika buku catatan Viola terbuka, gadis itu malah terdiam, terpaku dan menatap bukunya.
"Lo kenapa Vio?" tanya Kania khawatir. Pasalnya tadi Viola tampak bersemangat gitu aja, tapi mengapa sekarang jadi pendiam seperti sekarang?
Maxel menaikkan kepalanya, mendongak dan melihat dua punggung sahabatnya itu dengan wajah bertanya-tanya sebelum ia berdiri. Menghampiri Viola dari sisi sebelah meja gadis itu dan melihat isi bukunya.
Ada jawaban di sana, semua soal terjawab tanpa terkecuali. Dan Maxel tahu pasti itu bukanlah tulisan tangan Viola yang cenderung lebih rapi lagi dari tulisan itu. Hingga matanya melihat Viola yang masih membeku, jangan bilang kalau—?
"Bukan lo yang ngerjain ini?" tanya Maxel pelan-pelan.
"Eh, kalau bukan Viola terus siapa dong?" Kania menyahut dengan wajah penasaran, tapi Viola masih bungkam.
Mulutnya menganga dengan mata terbuka lebar. Tatapan terkejut yang masih bertahan bahkan sampai sekarang. Bayangannya jelas tahu siapa pelakunya.
Tulisan itu milik kakaknya, Viola tahu itu. Ia sangat menghafal tulisan tangan kakaknya, karena kakaknya sering mengajarinya dulu. Namun selama empat tahun ini, ia tidak pernah meminta Bintang mengajarinya lagi. Karena bisa dibilang, selama empat tahun ini mereka tidak pernah bertemu selama dulu.
Namun mengapa?
Mengapa Bintang tahu tentang soal-soal itu dan menjawabnya?
Mengapa Bintang mengerjakan soal-soal yang harusnya dikerjakan oleh Viola?
Gadis itu tidak tahu, ia bingung, ia tidak tahu apa pun. Semua ini aneh, sangat-sangat aneh baginya. Bintang bukanlah orang yang peduli lagi padanya sejak empat tahun lalu, tapi ini apa?
Maxel ingin menanyakan sesuatu, tapi bel masuk berbunyi dan Bu Shakila sudah memasuki kelas itu dengan cepat. Seperti biasa. Guru matematika yang rajinnya mengalahkan guru BK di sekolahnya.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa guru yang hamil tua itu.
"Pagi Bu!"
"Mulai hari ini hingga beberapa bulan selanjutnya, kalian akan diajarkan oleh guru pengganti saya! Semoga kalian bisa menerimanya dengan baik ya!"
"Guru baru?"
"Siapa ya?"
"Cowok apa cewek ya?"
"Masih muda apa udah tua?"
Beberapa gumaman itu membuat Viola tersadar dari kebingungannya dan langsung menatap pintu di mana laki-laki dewasa itu memasuki kelas dengan langkah tegap, tapi santai khas dirinya. Itu dia.
Orang yang sejak tadi membuat Viola kebingungan akan tingkahnya. Orang yang sedari tadi membuat otaknya lambat bekerja. Dan orang, yang entah sejak kapan menjadi idolanya.
Suara napas yang tertahan membuat Viola mengernyit dan melihat sekitar. Semua orang menatap Bintang, bagaimana rupa ukiran senyum tipis di bibirnya yang membuat beberapa orang seperti tersihir untuk terus menatapnya. Bintang di sana, menawan semua hati anak perempuan di kelasnya hingga deheman dari Bu Shakila menghancurkan konsenterasi mereka.
"Dia yang akan menjadi guru baru kalian selama beberapa bulan ke depan, namanya Pak Bintang!"
Bintang mengangguk hormat dengan senyum tipisnya hingga matanya menangkap Viola di sana. Adiknya di sana. Mata bertemu mata, hitam bertemu cokelat. Tatapan dalam yang menghanyutkan, hingga gumaman dari sebelahnya membuat Viola menoleh dengan kernyitan alisnya.
"Dia ganteng banget ya Tuhan, buat gue aja, udah!"
Berbeda dengan Kania yang terpikat seperti anak perempuan lainnya. Maxel menatap laki-laki itu dengan wajah kebingungan miliknya. Ia merasa tidak asing dengan Bintang, tapi siapa laki-laki itu baginya? Ia sangat yakin mereka tidak saling mengenal.
Namun, perasaan apa yang kini dirasakannya?