BLAS • 05

1800 Kata
Kedua orang tuanya sudah pergi terlebih dahulu, sedangkan ia harus menunggu adiknya yang masih bersiap-siap untuk pergi. Bintang melihat penampilannya sekali lagi, celana jeans panjang berwarna hitam dan kaos polo berwarna biru tua yang tertutupi oleh jaket hitamnya. Ia menguap beberapa kali saat akhirnya penantiannya membuahkan hasil. Viola keluar dengan dress berwarna peach selutut dengan lengan pendek. Dress sederhana yang seperti menyatu dengan kulit putih milik Viola. Bintang menahan napasnya dlam sepersekian detik ketika melihatnya. Adiknya cantik, kedewasaannya tampak sempurna dan membuat Bintang terpikat begitu saja. Viola menatap Bintang kebingungan. "Kenapa Kak? Apa Viola salah kostum atau gimana? Kenapa kakak ngelihatin Viola kayak gitu, terus juga kenapa kakak pakai pakaian seperti itu?" "Hm." Hanya deheman yang diberikan laki-laki itu pada adiknya. "Kita pergi sekarang, sebelum hari semakin gelap!" Bintang berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Viola yang kini menatap punggung laki-laki itu dengan kebingungan yang semakin parah. "Bukannya emang udah gelap ya?" tanyanya pada kesepian setelah punggung Bintang menghilang dari indra penglihatannya. Gadis itu mengeluarkan senyum tipisnya sebelum mengikuti Bintang keluar, masuk ke mobil kakaknya dan mendapati Bintang yang langsung saja men-starter mobilnya untuk segera meninggalkan rumah. Dalam perjalanan hening itu tidak ada apa pun yang terjadi di antara mereka. Hanya sunyi, senyap, dan kesepian. Hening itu terlalu kental dan enggan teruraikan. Hingga mobil laki-laki itu berhenti di sebuah klub malam yang langung membuat mata Viola membelalak. Ketika mesin mobil dimatikan, Bintang menoleh menghadap Viola dan menatapnya dengan serius. "Apa pun yang terjadi, jangan minum satu pun gelas dari dalam sana nanti!" "Kenapa?" Viola bertanya kebingungan. Bagaimana jika ia haus nanti? Apa iya, dia harus menahan haus selama itu? "Minumannya banyak mengandung alkohol, kalau lo mau mabuk ya silakan aja, kakak nggak bakalan tanggung jawab kalau sampai Ayah atau Bunda tahu kalau lo abis minum malam ini." Bibir Viola mencebik, bagaimana kini matanya sanggup menghadap mata sang Kakak dengan berani. "Kakak aja sering mabuk, kan?" "Gue enggak mabuk, cuma minum dikit aja nggak sampai mabuk. Gue nggak akan pulang kalau mabuk." "Kenapa enggak akan pulang?" tanya Viola penasaran. Namun Bintang tidak menjawabnya. Ia malah membuang muka dan meminta Viola agar segera turun dari mobilnya. Sebuah perintah yang akhirnya membuat Bintang lari dari soal yang tidak bisa dijawabnya. Kenapa dia tidak akan pulang ketika mabuk? Hanya satu jawaban yang kadang membuat Bintang geli sendiri. Jika ia mabuk, kemungkinan besar dirinya akan berada di salah satu kamar hotel bersama wanita sewaannya. Atau alasan lainnya, mengapa ia tidak akan pulang? Ia tidak cukup gila untuk membiarkan Viola mengetahui sisi liarnya. Belum bila ayahnya sampai tahu, semua masalah tidak akan berakhir sesederhana itu. Memang ayah mana yang akan tinggal diam saja begitu melihat anaknya pulang dalam keadaan terpengaruh alkohol? Tentunya tidak ada ayah yang akan membiarkan anaknya seperti itu. Jika memang dia ayah yang waras. Ketika kaki keduanya mulai memasuki tempat haram itu, Bintang langsung menarik tangan Viola agar tetap berada di dekatnya. Bukan masalah apa, tapi kadang ada mengapa yang mengikutinya. Tidak semua orang yang berada di sekitar mereka adalah orang baik, terutama di tempat ini. Membiarkan Viola terpisah dengannya di sini itu seperti melihat neraka tersendiri dalam bayangan kepalanya. Bintang tidak mau hal itu terjadi. Ia tidak mau membayangkan adiknya dalam kondisi terburuk yang pernah ada di kepalanya. Apalagi Viola tidak memiliki pengalaman tentang betapa busuknya laki-laki selama ini. Bahkan kebusukkannya pun Viola tidak tahu sama sekali. Klub malam yang mewah, memiliki tempat privasi tersendiri jauh di dalamnya. Hanya tempat yang biasa digunakan oleh orang-orang dengan kantong tebal dan kurang kerjaan. Mengapa mereka menggunakan tempat seperti ini untuk melaksanakan reuni? Reuni apa tadi? Para model, ayahnya model. Model b******n, pasti pantas sekali. Melihat bagaimana rupa ayahnya yang tampan itu, Bintang tahu pasti bagaimana busuknya pria itu di masa mudanya. Bintang berdecak kesal ketika pintu terbuka dan melihat bagaimana pria dan wanita seumuran ayahnya atau lebih muda itu berkumpul bersama keluarganya. Matanya bergerilya, mencari keberadaan Cia atau mungkin Akasa. Sama seperti kata ibunya, jika tantenya ikut berarti ada kemungkinan bahwa tantenya dulu juga model atau mungkin pamannya? Bintang tidak tahu sama sekali tentang masa muda orang-orang tua itu. Karena sedalam ingatannya, Bintang hanya mengetahui bahwa Cia dan Leo hidup di Jepang. Sedang ayahnya bekerja sebagai bawahan kakeknya di kantor. Ya, hanya sedalam itu yang sanggup Bintang ingat. Semua orang menoleh ke arah mereka berdua dengan tatapan kebingungan dan terkejut. Viola merasakan perasaan tidak enak. Bagaimana mata-mata itu menatapnya seperti orang asing dan tampak mengintimidasi. Gue mau pulang! Jeritnya di dalam hati. Bintang berdehem, tangan laki-laki itu masih memegangi tangan Viola dan menariknya untuk masuk ke dalam ruangan dengan empat buah sofa panjang berwarna merah yang menghadap pada meja kaca dengan botol-botol alkohol di atasnya. Bintang membawa Viola ke sudut ruangan, di mana ada satu sofa kosong yang berada di pojokan sana. Salah seorang berdehem dan membuat Bintang menghentikan langkahnya. "Apa kamu anaknya Alex?" tanya seorang pria yang bisa dibilang cukup tampan itu. Bintang mengangguk, mewakili Viola yang sepertinya menjadi batu di tempat itu. Di sana ada sekitar empat orang pria dan tiga orang wanita. Tidak ada tanda-tanda tantenya berada, bahkan Akasa juga tidak. Ada satu kemungkinan yang kini terpikirkan oleh Bintang, bahwa keluarganya itu tidak akan datang ke sana. Darian yang tadi bertanya pun mengulum senyumnya. Tangannya menepuk sofa kosong di sebelahnya, isyarat agar Bintang mendekati pria itu di sana. Bintang menurut, ditariknya Viola agar mengikutinya pergi ke asana. Tidak mungkin kan, Bintang meninggalkan adiknya begitu saja. "Duduk sini, duduk sini! Saya manajer ayahmu dulu." "Oh." Hanya jawaban singkat yang diberikan Bintang pada pria paruh baya itu. Lagian siapa dia? Bintang tidak mengenalnya. "Siapa namamu? Kau sangat mirip dengan Alex, kuharap kau tidak sebajingan dia di masa mudanya dulu!" Ada suara tawa menyusul setelahnya. Bintang mendengus, sedang Viola menatap pria itu dengan senyum tidak enak miliknya. "Syukurlah aku tidak sebajingan itu, sepertinya dia dulu sangat b******n ya?" tanya Bintang sedikit memancing. Lumayan juga mengetahui aib masa muda ayahnya, kan? "Kakak!" panggilan Viola membuat Bintang menghadap adiknya. "Hm? Kenapa, apa kau haus atau lapar?" "Lo belum jawab soal paman itu," ujarnya mengingatkan Bintang. Bahwa laki-laki itu melewatkan satu soal Darian. "Oh ya, namaku Bintang dan dia Viola!" "Adikmu?" tanya Darian langsung. Matanya mengawasi Viola dengan minat. Bagaimana kecantikan gadis itu yang terasa sangat memikat. Aura kepopulerannya membuat Darian tertarik untuk meliriknya terus-menerus. "Kekasihku, ya kuharap aku bisa menikahinya suatu saat nanti." Darian kembali menghadap Bintang. "Kenapa suatu saat nanti kalau kau bisa mendapatkannya saat ini?" "Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan sebelum menikah, bukankah begitu sayang?" tekannya pada kata sayang sembari matanya melihat Viola yang syok menghadap ke arahnya. "Oh... apa kau sudah bekerja?" tanyanya ke arah Bintang yang menggelengkan kepalanya. "Belum, tapi akan." Darian mengumbar senyumnya, matanya fokus menatap Viola yang kini memilih menunduk saja. "Kalau kau tertarik menjadi model, datanglah padaku! Aku akan mengwujudkan hal itu dengan mudah." Semua mata menatap terkejut pada Darian, tapi Darian lebih memilih memfokuskan dirinya kepada Bintang kali ini. "Terutama dia, jangan sampai kau menyesal karena gagal mendapatkannya!" Bintang hanya tertawa kecil. Model memang pekerjaan yang menggiurkan. Bagaimana jam yang dikeluarkan untuk bekerja dan berapa bayarannya. Tentunya sangat besar daripada menjadi guru. Namun Bintang tidak minat sama sekali akan pekerjaan itu. Entahlah ... walau ia tahu ayahnya mantan model sekalipun, Bintang tetap tidak tertarik untuk menjadi seperti ayahnya. Bagaimana jalur hidup mereka memang diciptakan dengan perbedaan yang kentara, walau sifat dasar Bintang sangat mewarisi sifat ayahnya. Viola mendongak, melirik Bintang yang telah menghentikan tawanya sebelum matanya tidak sengaja menghadap seorang wanita dewasa. Dia sempurna, kecantikannya sanggup membuat Viola tidak percaya bahwa kemungkinan besar umur wanita itu sudah di atas empat puluh tahun. "Kau tertarik padanya?" Darian bertanya, dengan mata yang menunjuk wanita yang sedari tadi dilihat Viola. Bintang sendiri memilih meneguk satu minuman dalam gelas yang ada di atas meja. "Dia cantik." "Namanya Kartika, dia mantan istriku beberapa tahun lalu." "Eh?" Viola melihat Om itu dengan terkejut. Bagaimana matanya yang menampilkan kesedihan yang bercampur kebahagiaan tersendiri. "Ada banyak kisah di masa lalu, kalau kau tahu kisah itu pasti ada sesuatu yang lucu dan juga mengejutkan." "Misalnya?" "Misalnya apa ya?" Darian mendongak, memasang ekspresi berpikir miliknya. "Kisah Alex dulu sama Cia, sama Leo juga, sebelum Alex menikah sama Fisha. Udah, pokoknya mereka bertiga adalah sesuatu yang bisa ditertawakan." "Aku baru tahu ayah punya masa lalu dengan Omku dan istrinya?" Bintang bertanya, mewakili raut wajah Viola yang juga memancarkan keingintahuan. "Dulu Leo sama Alex musuhan, ya entah bisa dibilang kayak begitulah. Leo suka sama Cia, tapi Cia tunangan sama Alex." Bintang mendengus, dia jadi penasaran bagaimana ayah dan ibunya bisa bertemu bahkan sampai menghasilkan dirinya dan Viola hingga sebesar ini. Bintang penasaran. "Lalu di mana Bunda bisa ketemu sama Ayah?" tanya Viola tiba-tiba yang membuat Darian menatapnya terkejut, bahkan Bintang pun sama. Apa adiknya lupa kalau Bintang mengatakan bahwa dia itu kekasihnya Bintang, bukan adiknya Bintang? Menghilangkan rasa terkejutnya, Bintang pun segera menambahi agar dramanya tidak terbongkar sampai di sini. "Viola suka manggil ayah dan ibuku dengan panggilan begitu, dia sudah teramat dekat dengan mereka." Bibir Viola mencebik. Kakaknya apa-apaan sih, kenapa sampai bermain bohong-bohongan seperti ini? Bukannya Viola itu adik kandungnya, kenapa ia malah diakuin sebagai pacarnya segala? Dasar kakak syaraf! Darian tertawa. "Wah kalian udah deket banget ya berarti?" Bintang mengangguk, sedang Viola mendengus. "Kalau pertemuannya aku kurang tahu sih, coba tanya sama mereka langsung aja. Bagi-bagi kisah cinta masa mudanya ke calon menantu kan nggak masalah, ya kan Bintang?" Bintang menatapnya tidak enak, walaupun begitu ia agak berterima kasih karena pria bernama Darian itu enak diajak ngobrol. Hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam, Bintang dan Viola pamit undur diri. Dia sudah memberitahu Fisha akan ke rumah sakit besoknya saja, apalagi Viola perlu tidur. Melihat gadis itu yang kini berjalan dengan kepala terantuk-antuk dan menyebabkan Bintang harus memeluknya hingga sampai di parkiran. Ketika keduanya berada di dalam mobil itu, Viola bersuara dalam ketidaksadarannya. "Kenapa kakak bilang kalau kita ini sepasang kekasih sih, bukannya kita ini saudara ya Kak?" Bintang tidak menjawabnya, karena ia tahu hasilnya akan percuma. Viola tidak sadarkan diri, dan gumaman-gumaman Viola hanyalah ucapan dari sisa kesadaran adiknya. Bintang menghela napasnya tepat ketika ponsel adiknya berbunyi dan Bintang terpaksa harus mengangkatnya. "Hallo Vio, gue kira lo ke mana sampai nggak jawab panggilan gue sama Kania. Oh ya, besok mau belajar bareng nggak? Ada banyak PR kan?" Bintang melihat layarnya, membaca nama yang tertera di sana sebelum membalas. "Sepertinya dia tidak akan bisa ikut, besok kemungkinan kami akan ke rumah sakit. Selamat malam, Maxel Ardinanta!" Dan Bintang menutup panggilan itu dengan paksa, tanpa menunggu jawaban apa pun dari orang di seberang sana. Matanya melirik Viola yang kini bergumam sesuatu padanya. "Tahu nggak sih Kak, kalau gue itu suka sama lo." "Bullshit, nggak mungkin lo suka sama gue sedangkan lo udah punya cowok lain Viola!" balasnya kesal. Bintang ingin marah-marah, tapi entahlah ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan di hatinya yang ingin sekali meledak jauh di dalam sana. Tunggu dulu ... mengapa ia ingin marah? Mengapa ia kesal karena adiknya bilang suka padanya, tapi sudah punya cowok lain jauh di sana? Rasanya itu bukan urusannya, kan? Toh mereka hanya saudara? Mengapa ia harus kesal dan ingin marah tidak jelas seperti ini. Ia tidak tengah cemburu pada adiknya sendiri, kan? Kalau iya, Ini sama sekali nggak lucu! Makinya di dalam hati sembari matanya melihat wajah damai Viola yang tertidur di sebelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN