Hans memijakkan kakinya di depan halaman rumahnya. Lelah sekali rasanya mengikuti turnamen basket dengan waktu yang terbilang lama. Tapi tenang saja semua rasa lelahnya terbayarkan sudah dengan hasil yang ia dapatkan.
Hans memencet tombol bel yang berada di pagarnya. Tak perlu menunggu waktu lama, pembantu yang bekerja di rumah Hans datang dan membukakan pagar rumahnya.
"Nak Hans sudah pulang?" tanya sang pembantu.
"Belum Bi." jawab Hans yang membuat pembantu itu bingung dengan apa yang ia katakan.
"Lah, terus ini siapa?"
"Alien."
"Aduh Nak Hans mah omongannya teh suka ngawur, mana ada alien ganteng begini."
"Saya bukan Hans. Saya adalah alien yang bereinkarnasi menjadi Hans Jonathan." ucap Hans serius. Ia memutar bola mata matanya menjadi putih keseluruhan yang membuat pembantunya menjadi ketakutan sendiri.
"Ya Tuhan, matanya warna putih! A-Apa benar dia adalah alien?!" katanya terbata-bata.
Karena mudah percaya dengan guyonan yang dibuat Hans, pembantu itu segera mengambil ancang-ancang untuk pergi dari sana. Baru selangkah kakinya berpijak, Hans langsung menahan tangan pembantunya tersebut dengan kedua mata yang masih putih bak seperti Zombi.
"Kau tidak bisa lari dariku! Kau akan kusantap sebagai makan malamku! Hahaha!" ujar Hans sembari terkekeh dengan nada yang terbilang menyeramkan.
"J-Jangan makan saya. Saya sudah tua, Daging saya nggak enak! Lebih baik kamu cari anak muda aja!"
"Nggak mau. Saya maunya kamu bukan dia!"
"Ya Tuhan, ini alien juga kenapa malah gombal sih. Jadi baper sendiri kan saya-nya," ujarnya, "lah, kok malah jadi bucin, sih? Eh maksudnya jangan makan daging saya! Apa yang mau kamu dapatkan dari saya?! Daging saya keras dan sepertinya sudah basi! Nanti kamu bisa pusing kalau makan daging saya! Cari anak muda aja ya!"
"Saya bilang saya cuma ingin kamu. Saya nggak mau yang lain karena di dalam pikiran saya hanya ada kamu."
"Aduh, ini alien kenapa malah ngebaperin, sih! Saya teh bingung mau baper apa gimana. Tapi kalau mau baper ingat umur juga sih, udah tua."
Tanpa mendengarkan apa yang pembantunya katakan. Hans langsung menggenggam lengan pembantunya ke luar pagar dan berjalan entah kemana.
"Eh, mau kemana?" pembantunya kebingungan sendiri.
"Mau ngajak kamu berumah tangga."
"Nggak mau! Saya nggak mau berumah tangga sana alien kayak kamu! Lagipula saya udah punya suami di rumah yang harus saya jaga perasaannya!"
"Saya nggak peduli."
"Heh, nggak boleh gitu! Udah ya tolong lepas!"
"Nggak."
Karena takut dibawa kabur oleh alien jadi-jadian itu, sang pembantu pun memutuskan untuk berteriak meminta pertolongan warga komplek. Ia benar-benar sangat takut bila alien berwujud Hans itu membawanya ke planet lain. Mau dikasih makan apa dia di sana? Huh, benar-benar di luar nalar!
"TOLONG SAYA DIBAWA KABUR ALIEN! TOLONG—"
Seketika itu juga Hans langsung memutar bola matanya kembali seperti sedia kala.
"Bibi ngapain teriak-teriak! Malu di dengar tetangga!" oceh Hans.
"Lah, alien yang tadi kemana? Kok sekarang berubah jadi Nak Hans lagi?"
"Alien tadi itu cuma prank, Bi. Bukan beneran. Haduh, Bibi ini gimana lah."
"Oh, jadi kamu ngeprank Bibi? CK, dasar anak muda!" omel sang pembantu, "Nak Hans jangan bikin bibi jantungan deh! Haduh, bibi ini sudah tua kalau jantungan gimana? Bikin takut aja deh."
"Iya-iya Bi, maaf. Abisnya Bibi lucu sih!"
"Hah, lucu kenapa Nak Hans?"
"Lucu gemesin gitu. Hehe."
"Duh, Bibi jadi salah tingkah nih dibuat Nak Hans."
"Ingat Bi, ingat! Bibi udah punya suami loh."
"Ya ampun benar juga. Yaudah yuk masuk ke rumah, Bibi sudah siapkan makan malam untuk Nak Hans. Bibi masak nasi goreng spesial pokoknya!"
"Asik! Makasih ya, Bi."
"Iya Nak Hans."
"Mama udah pulang?"
"Belum. Katanya ada rapat. Maklum kan mama kamu dosen jadi banyak kerjaannya di kampus."
"Iya, Bi."
Hans menghela napasnya kasar. Ia harus memaklumi keterlambatan jam pulang Arela karena kesibukannya. Di rumahnya, Hans hanya tinggal bertiga dengan sang mama dan pembantunya yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya sendiri.
Sedangkan sang papa sudah tidak satu rumah lagi dengannya karena telah memiliki istri baru. Mama dan papanya sudah lama bercerai sejak Hans masih duduk di bangku SD. Ya, Hans adalah anak broken home yang dibesarkan oleh mamanya sendiri dan juga pembantunya.
Walaupun keluarganya mengalami perpecahan, Hans tetap menjadi anak yang lurus. Dalam artian tidak 'ugal-ugalan' seperti balap liar, clubbing, minum amer, dan dunia tipu-tipu lainnya.
Ia melampiaskan kekesalannya dengan menonton video-video lucu yang terpampang jelas di media sosial. Hal itu malah yang menjadi penyemangatnya tersendiri dan juga membuat dirinya garing ketika melawak.
Hans juga kurang setuju dengan pribahasa, "Hidup itu hanya sekali, jadi nikmatilah selagi belum mati."
Tidak.
Tidak, itu tidak benar. Kalau kita hanya menikmati hidup tanpa mengingat kematian apakah kita akan bahagia di alam kedua kita nanti? Tentu saja tidak. Maka dari itu Hans memutuskan untuk menjadi anak yang lurus-lurus saja. Ya, meskipun terkadang oleng yang terpenting ia harus tahu batasannya.
***
Sesudah mandi membersihkan diri, Hans berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada dua piring nasi goreng yang dimasak oleh pembantunya untuk dirinya dan Arela, sang mama yang belum pulang juga dari kampus.
"Bibi udah makan belum ya?" Batin Hans. Ia pun bertanya kepada sang pembantu yang sedang membersihkan dapur.
"Bibi udah makan?" tanya Hans menghampiri.
"Oh, udah Nak Hans. Bibi udah makan kok."
"Kapan?"
"Tadi siang."
"Makan malam udah?"
"Belum."
"Astaga Bi, itu mah namanya makan siang bukan makan malam. Sok mari makan dulu bareng Hans nanti lanjut kerjanya. Ini Bibi makan nasi goreng punya Hans aja. Hans makan punya Mama."
"Nggak usah Nak Hans. Itu kan Bibi buatin untuk Nak Hans sama Bu Arela."
"Mama biasanya udah makan di luar Bi, kalau ada rapat sampai malam-malam begini. Daripada kebuang lebih baik dimakan, bukan?"
"Eh? Iya juga ya."
"Yaudah yuk makan."
"Tapi pekerjaan Bibi belum selesai gimana ini?"
"Nanti kan bisa dikerjain, Bi. Bibi udah lama kerja di sini masih aja malu-malu. Ayo atuh makan biar kenyang biar bisa jadi Iron Man!"
"Yeee, Bibi mana bisa Nak Hans! Bibi mah udah tua! Masa mau jadi Iron Man. Diketawain cicak nanti."
Hans terkekeh mendengar perkataan sang pembantu. Ia memang suka bercanda saat makan bersama. Mereka pun makan malam dengan canda tawa yang menyenangkan. Hans bercerita banyak tentang hari-harinya, mulai dari turnamen, bertemu Azra, dan hal menyenangkan lainnya.
***
"Ih, Fathan bagi!"
"Nggak mau!"
"Jangan pelit!"
"Tadi gue tawarin lo nolak. Giliran udah mau habis lo malah minta."
"Kan otak Azra masih labil kayak perasaan Azra sendiri."
"Apaan, sih, nggak nyambung!"
"Fathan, bagi, ih!"
"Nggak mau!"
"Dasar pelit!"
"Bodo amat."
"Bagi!"
Ya, begitulah pertengkaran kecil yang terjadi di depan TV. Benar-benar pemandangan yang sangat indah. Fathan dan Azra sedang bertengkar mengenai masalah keripik singkong yang baru saja Fathan beli di mini market depan kompleknya.
Sebenarnya masalahnya sepele tetapi mereka besar-besarkan menjadi seperti perang dunia kedua. Jadi ceritanya, Fathan sudah menawarkan keripik singkong itu kepada Azra, namun Azra menolaknya. Ia sibuk bermain ponselnya. Oh, tidak bukan sibuk bermain ponselnya. Ralat, melainkan tengah sibuk berbalas pesan dengan Hans.
Fathan tidak memaksa Azra untuk menerima tawaran keripik singkong itu, namun saat keripik itu tinggal sedikit lagi karena sudah Fathan makan. Akan tetapi tak kama dari itu Azra tiba-tiba memintanya kembali. Fathan yang tak mau mengalah karena ingin menghabiskan keripik itu tentu saja menolak. Tetapi Azra tidak tinggal diam, ia terus saja merengek meminta Fathan untuk memberikan sisa keripiknya kepada dirinya. Mereka memang sepasang sahabat yang aneh. Kadang berteman dan kadang musuhan.
"Hei, kalian kenapa kok pada berisik?" kata Fani yang mendengar keributan di ruang TV.
"Fathan nggak mau bagi keripiknya sama Azra." Azra mengadu.
"Astaga Fathan, Azra itu mau keripiknya loh. Bagi dia, masa sama keripik aja rebutan. Kalian kan sudah SMA, haduh." Fani menepuk jidatnya.
"Nggak mau, tadi kan Fathan udah bilang sama Azra. 'Mau nggak?' Kata Fathan gitu, terus Azra malah nolak. Pas Fathan lagi enak-enaknya makan keripik dia minta tiba-tiba. Fathan nggak mau kasih karena keripiknya enak." Fathan membela dirinya membuat Fani nambah pusing.
"Ya ampun Fathan, sama Azra sendiri loh. Kasih dia keripiknya cepat!"
"Iya, ih. Kasih sini keripiknya buat Azra!"
"Yaudah nih." Fathan memberikan keripiknya dengan wajah murung.
"Yeay! Makasih Fathan. Fathan baik banget sama Azra!" kata Azra senang.
"Hm."
"Ikhlas nggak?" cengir Fani.
"Ikhlas."
Fathan menghela napasnya. Lagi-lagi ia harus mengalah demi sahabatnya itu. Dia harus menahan rasa lezat dari keripik itu. Memang terdengar aneh jika sepasang sahabat memperebutkan keripik singkong. Tapi itulah adanya, keripik singkong yang berjualan di depan komplek perumahan Fathan memang juara. Soal rasa sudah tidak diragukan lagi. Fathan pun juga harus mengantre membelinya, itulah alasan yang membuat Fathan tidak tega jika Azra memakan keripiknya saat sudah ia rasakan kelezatannya.
"Yaudah, Bunda mau pergi ke kamar dulu." tukas Fani.
"Iya Bun..." jawab Fathan dan Azra bersamaan.
"Kalian jangan berantem-bera teman ya, ingat!"
"Siap Bun..."
Sepeninggal Fani di sana. Kini tersisa lah Azra dan Fathan yang sekarang sama-sama fokus dengan ponsel yang digenggam mereka masing-masing. Menunggu notifikasi dari orang yang mereka tunggu pesannya.
"Than," panggil Azra.
"Hm?" saut Fathan.
"Fathan pernah ngerasain jatuh cinta nggak?"
"Kenapa?"
"Ya nggak apa-apa. Azra nanya aja sih."
"Nggak tahu."
"Masa sih nggak tahu?"
"Kayaknya nggak pernah."
"Nggak mungkin. Pasti pernah." Azra menatap Fathan dalam membuat Fathan bingung dengan tatapannya.
"Azra ngerasa Fathan punya ketertarikan sama Kak Jessie karena kalian punya sifat yang sana. Benar kan?"
"Maybe."
"Itu berarti namanya Fathan jatuh cinta!"
"Masa iya?" Fathan balik bertanya.
"Iyalah! Fathan suka sama Kak Jessie!"
"Oh, gitu. Jadi ini yang namanya jatuh cinta." Fathan mengangguk-angguk berlagak paham.
"Fathan nggak ada niatan serius gitu sama Kak Jessie?"
Deg!
Perkataan Azra membuat Fathan tertampar.
Andaikan tidak ada penghalang. Andaikan tidak ada jarak yang menghadang. Dan andaikan tasbih Fathan dan rosario Jessie dapat bersatu. Pasti Fathan dapat menjawab perkataan Azra.
"Kok lo nanya gitu?"
"Kan biasanya kalau orang suka itu pasti ngajak serius."
"Serius-serius pala lo botak! Masih SMA kita ini! Belajar dulu yang bener, soal serius mah gampang," Fathan menjawab ucapan Azra dengan santai, "lagipula cinta nggak harus memiliki, bukan?"
"Iya sih, tapi kalau nggak dimiliki itu kayak ada yang kurang nggak sih, Than?"
Fathan menghela napasnya pelan, "Ya gitu, susah kalau dijelaskan. Ikut alur aja gimana takdir berjalan dengan semestinya."
"Tumben bijak." kekeh Azra.
"Gue bijak salah, gue diam juga salah. Maunya apa?" sinis Fathan langsung.
"Dih, ngamuk. Iya-iya nggak kok bercanda."
Di saat Azra dan Fathan sedang berbincang-bincang. Kedua ponsel mereka sama-sama berbunyi menampilkan notifikasi dari orang yang sama-sama mereka sukai.
Ya, Fathan dikirimi pesan oleh Jessie. Sedangkan Azra dikirimi pesan oleh Hans.
Mereka pun mulai fokus dan masuk ke dalam dunia mereka masing-masing. Saling berbalas chat dan senyum-senyum sendiri seperti orang yang sedang kasmaran. Hal yang paling menonjol dan berbeda ada pada diri Fathan, ya, Fathan yang terkenal pendiam dan cenderung menutup diri itu kini sudah mulai bisa membuka diri kepada seorang wanita bernama Jessie.
Dalam kehidupan ini ada satu momen yang dimana saat kita melakukan sesuatu akan memberikan kesan terbaik dan tak terlupakan, yaitu saat kita melakukan sesuatu untuk pertama kalinya.
Contohnya saja pertama kali jatuh cinta, cinta pertama, bertemu dengannya untuk pertama kalinya, jalan bersamanya untuk pertama kalinya, berbincang-bincang dengan orang yang satu frekuensi untuk pertama kalinya, dan semua hal baru dalam hidup kita pasti memberikan kesan terbaik.
Meskipun sesuatu itu hasilnya kurang baik, atau di luar keinginan kita, akan tetapi masih ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri setelah melakukannya. Hal ini terjadi karena kita telah menemukan jawaban tentang sebuah pertanyaan-pertanyaan "apakah ini yang disebut dengan kenyamanan?"
Atau, "apakah ini yang disebut dengan jatuh cinta?" Terlepas dari hasilnya, kita pada akhirnya tahu bahwa kita bisa melakukannya. Takdir semesta memang bermacam-macam bentuknya.
Mau sejauh apapun kita pergi, takdir akan terus mengejar kita dengan segala hadiah misteriusnya yang membahagiakan. Asalkan kita selalu berpikir positif.
Kadang-kadang, banyak orang yang masih takut untuk mencoba hal-hal baru, mereka yang terlalu bertumpu pada titik nyaman dan tidak mau melangkah ke titik lain dan memulainya kembali dari sedia kala. Sebenarnya inilah penyebab mengapa kita mudah merasa hidup ini tidak ada perkembangannya sama sekali. Jangan pernah salahkan perasaan, karena terkadang kitalah yang salah memilihnya.
Maka dari itu, jangan pernah takut mencoba sesuatu yang baru, bahkan untuk pertama kalinya. Jangan pedulikan hasilnya, tapi pedulilah pengalaman yang akan kita dapatkan nantinya.
Ya, seperti Fathan yang mulai jatuh hati dengan seorang gadis bernama Jessie.
***