Tak terasa pengumuman SNMPTN sudah di depan mata. Inilah saatnya untuk bergerak menuju kehidupan baru. Ya, kehidupan perkuliahan yang melibatkan banyak pihak di dalamnya. Jenjang pendidikan tinggi untuk mendapatkan ilmu yang lebih spesifik dibandingkan di sekolah menengah atas. Jenjang yang menentukan tempat pekerjaan kita nantinya.
Malam ini, Fathan sekarang berada di depan layar monitornya. Ia tengah duduk di kursi meja belajarnya. Ia benar-benar sangat takut dan kacau. Semua pikirannya bercampur aduk padahal ia belum tahu lolos atau tidaknya di SNMPTN kali ini.
Fathan sangat cemas. Ia takut tidak lolos. Fathan tidak bisa membayangkan wajah kedua orang tuanya yang nampak sedih jikalau dirinya tak lolos pada seleksi nasional menuju perguruan tinggi negeri ini.
"Huft." Fathan menghirup udara di dalam kamarnya berusaha untuk menenangkan diri.
Fani dan Farid tidak tahu jika hari ini adalah hari di mana pengumuman SNMPTN. Fathan tidak memberitahu mereka, Fathan ingin tahu dulu dirinya lolos atau tidak.
Tring... Tring...
Terdengar suara notifikasi dari ponsel Fathan. Fathan pun segera mengambil benda pipih itu.
Dilihatnya percakapan para murid kelasnya grup chat tersebut, mereka saling bertukar kabar tentang info lolos atau tidaknya mereka di PTN yang mereka inginkan.
Diantara mereka ada yang lolos maupun tidak. Bagi yang lolos mereka sangat bersyukur kepada Tuhan yang sudah mengabulkan doa mereka dibarengi dengan usaha juga. Sedangkan bagi yang tidak lolos, mereka tidak berkecil hati mungkin rezeki mereka bukan di SNMPTN melainkan di SBMPTN. Para murid yang lolos juga ikut serta menyemangati dan mendoakan mereka agar mereka tidak berkecil hati atau terlalu larut dalam kesedihan.
Fathan menggeser jemarinya ke sebuah status w******p. Ia melihat Jessie memposting sebuah status di sana.
Fathan segera mengklik status Jessie tersebut. Fathan melihat Jessie memposting foto laptopnya yang bertuliskan bahwa Jessie lolos dalam SNMPTN ini. Tertulis juga jurusan yang Jessie pilih yaitu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Sama persis dengan apa yang Fathan pilih. Ya, setelah mencari-cari jurusan untuk kuliah, akhirnya Fathan memutuskan untuk mengambil jurusan matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Ia memilih jurusan tersebut karena merasa cocok dengannya.
Fakultas MIPA mengajarkan untuk berkontribusi dalam pengembangan ilmu-ilmu dasar dan juga terlibat dalam penelitian. Setelah lulus nanti, sarjana MIPA bisa bekerja sebagai tenaga ahli analisis data statistik, ahli dalam bidang produksi software atau jaringan komputer, field engineer, peneliti, dosen, ahli astronomi, ahli racik kosmetik, dan sebagainya.
"Sama dengan Jessie?" Fathan membeo seketika itu juga. Padahal sebelumnya Fathan tidak tahu Jessie mengambil prodi apa karena sudah lama tak bertukar kabar akibat insiden Jessie menjauhi Fathan dari beberapa bulan yang lalu.
Di saat Fathan sedang fokus dengan layar monitor di depannya itu. Azra datang mengetuk pintu kamar Fathan.
Tok... Tok...
"Masuk." ucap Fathan.
Ceklek.
Azra membuka pintu kamar Fathan.
"Fathan gimana? Lulus nggak?" tanya Azra langsung.
"Belum gue buka." jawab Fathan.
"Lah, kok gitu? Kenapa?"
"Takut. Gue nggak kuat liat ekspresi Ayah sama Bunda."
"Kan belum di cek masuk apa enggaknya. Jangan pesimis gitu lah, Fathan kan pintar." ujar Azra meyakinkan Fathan.
"Biar aja. Nggak usah di buka. Gue capek mau tidur." kata Fathan akhirnya. Ia terlalu cemas dengan pengumuman penerimaan itu.
Fathan akhirnya memilih untuk merebahkan dirinya di kasur lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Azra bingung melihat Fathan yang nampak demikian. Bisa-bisanya Fathan takut melihat pengumuman dirinya sedangkan Fathan itu orangnya pintar. Lantas kalau orang sepintar Fathan saja takut dengan hal seperti itu apalagi dengan Azra yang tidak pintar-pintar amat namun juga tidak bodoh-bodoh amat. Ya, standar.
"Fathan aneh, dia kan pintar tapi kenapa takut buat lihat hasil kelulusannya?" batin Azra bingung.
Seketika itu juga Azra mempunyai ide. Kalau Fathan tidak mau membuka hasil pengumuman tersebut kenapa tidak Azra saja yang membukanya? Huh, dasar Fathan pintar namun tidak punya nyali.
Tanpa ketahuan Fathan, Azra diam-diam duduk di kursi pas di depan layar monitor Fathan.
Azra pun mengklik pengumuman tersebut. Refleks, karena terkejut Azra segera berteriak kencang sampai-sampai Fani dan Farid terkejut dan mendatangi kamar Fathan.
"AAAAAAAAARGHH." teriak Azra sangat kencang.
Fathan langsung terbangun saat itu juga diikuti dengan pintu yang terbuka memperlihatkan Fani dan Farid yang kebingungan karena teriakan Azra.
Deg!
Jantung Fathan berdegup kencang saat melihat Azra yang sudah duduk di depan laptopnya. Apakah anak itu melihat hasil SNMPTN tersebut? Dan apakah ia tidak lulus makanya Azra berteriak karena terkejut?
"Jangan-jangan dugaan gue benar kalau gue nggak lulus." batin Fathan. Seketika itu juga tubuhnya langsung lemas. Ia benar-benar tak tega jika melihat wajah kecewa kedua orang tuanya nanti.
Karena cemas dan bingung ingin melakukan apa. Fathan memejamkan matanya seraya memohon kepada sang pencipta agar mendapatkan mukjizat ketenangan atau hal baik lainnya.
"Kenapa ini? Kok teriak-teriak?" kata Fani dan Farid bersamaan.
"Hari ini pengumuman SNMPTN Fathan, Bun, Yah." jelas Azra.
"Hah, serius?"
"Iya."
"Kok Fathan nggak ngomong?"
"Mungkin Fathan lupa, Bunda."
"Terus gimana? Fathan lulus nggak?"
Azra memasang wajah yang memelas. Ya, mirip seperti wajah yang tampak prihatin. Fathan yang penasaran juga dengan apa yang akan Azra katakan hanya bisa mengintip sedikit dari mata yang ia pejamkan tersebut.
"Azra kok diam aja kamu kenapa kok nggak ngomong?"
"Fathan..."
"Fathan lulus apa nggak?" kini Farid yang bersuara.
"Fathan..."
"Azra yang benar kalau ngomong."
Azra menghela napasnya perlahan ia tak berani mengucapkan kata-kata lagi. Ia hanya dapat menggelengkan kepalanya dengan senyuman kecutnya.
"Nah, kan kejadian juga akhirnya. Maaf, Ayah... Bunda... Fathan belum bisa membahagiakan kalian." Fathan membatin. Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri.
"YES! FATHAN KETERIMA DI ITB!" seru Azra yang langsung merubah wajahnya menjadi ceria.
Sontak saja hal itu membuat Farid dan Fani tersenyum bahagia. Mereka terlihat sangat bangga memiliki anak seperti Fathan.
Fathan yang tadinya sudah pasrah dengan keadaan menjadi tersenyum senang. Sial, dirinya ditipu Azra.
Bisa-bisanya anak itu berakting sedih seperti di film sinetron. Fathan sudah mengira jika dirinya ditolak namun kenyataannya malah tidak. Hampir saja jantung Fathan serasa ingin lepas dari tempatnya, dasar Azra!
"Selamat Fathan, kamu berhasil lolos! Ayah dan Bunda sangat bangga sama kamu!" kata Fani dan Farid yang mendekati Fathan. Mereka langsung memeluk Fathan bangga.
"Iya, Bunda, Ayah. Makasih."
Di sisi lain, Azra meneteskan air matanya. Ia juga bangga kepada Fathan atas hasil yang diperoleh sahabatnya tersebut. Bukan karena itu juga, Azra terharu melihat Fani dan Farid yang terlihat sangat bangga memiliki Fathan karena pintar. Fathan juga terlihat sangat bahagia setelah mendengar kabar bahwa ia lolos dalam seleksi perguruan tinggi negeri tersebut.
Terlebih lagi Farid dan Fani yang langsung memeluk Fathan, pasti Fathan sangat bahagia bisa mendapatkan semua kelengkapan dan kesempurnaan dalam hidupnya.
Ketampanan, kepintaran, kekayaan, dan keutuhan. Lengkap sudah kesempurnaan yang di dapatkan Fathan.
"Enak ya, jadi Fathan. Semua kebahagiaan ada di dirinya. Punya orang tua yang sangat sayang sama dia. Andai kata, orang tua Azra masih hidup di dunia. Mungkin bahagia Azra bisa melebihi bahagianya Fathan." batin Azra.
Ia langsung teringat dengan kedua orang tuanya yang sudah tiada. Wajar jika Azra merasakan kehilangan. Bayangkan saja sejak Azra kecil ia tidak tahu wajah orang tuanya seperti apa.
Sewaktu ia bayi, matanya selalu tertutup rapat dan tentu saja tidak mengingat bagaimana kehangatan sang ayah dan bunda yang menggendongnya lalu tiba-tiba mereka dipanggil Tuhan ke alam yang berbeda.
Jujur saja terkadang Azra iri dengan mereka yang mempunyai keluarga lengkap tidak seperti dirinya. Namun Azra harus bersyukur karena Tuhan tidak membiarkan dirinya hidup sendirian. Tuhan mendatangkan keluarga baru untuknya. Ya, Fani dan Farid.
"Loh, Azra kok kamu diam aja?" kata Fani menyadari Azra yang diam seperti patung.
"Eh? Nggak kok Bun."
"Ayo sini kita berpelukan merayakan hari diterimanya Fathan." ajak Fani kepada Azra namun Azra segera menolak dengan menggelengkan kepalanya.
Ia tidak mau mengganggu kebahagiaan keluarga Fathan yang sedang merayakan keberhasilan Fathan. Azra sadar jika ia hanya benalu untuk keluarga Fathan.
"Loh, kenapa nggak mau? Ayo sini, Azra! Kamu adalah bagian dari keluarga ini juga."
"Azra nggak apa-apa Bun. Azra ingin melihat Fathan dipeluk Bunda dan Ayah berdua tanpa Azra di sana."
"Kok kamu ngomong gitu?"
"Anak Bunda dan Ayah yang sebenarnya itu adalah Fathan. Azra hanya menumpang tinggal di sini. Azra tahu gimana perasaan Fathan jika kasih sayang seorang anak kandung dibagi dua dengan anak pungut seperti Azra yang jelas-jelas bukan anak kandung Ayah dan Bunda."
"Hei, Sayang..." Fani berjalan mendekati Azra lalu ia memeluk gadis itu, "walaupun kamu bukan darah daging Bunda tapi Bunda sangat menyayangi kamu seperti Bunda menyayangi Fathan. Bunda membagi kasih sayang antara Fathan dan kamu agar adil, Azra. Bunda nggak mau membeda-bedakan kamu dengan Fathan. Baik kamu dan Fathan itu di mata Bunda sama semuanya. Jadi, Azra jangan berpikir seperti itu lagi ya." kata Fani menenangkan Azra.
Hening.
"Bunda tahu kalau Azra merindukan sosok Ayah dan Ibu kandung Azra. Dari kecil Azra belum pernah bertemu dengan mereka. Azra juga nggak tahu gimana wajah mereka. Namun di alam yang berbeda nanti Azra bisa bertemu mereka kok. Azra bisa bercerita tentang apapun yang ingin Azra ceritakan."
"T-Tapi... Kenapa Allah nggak menyatukan Azra dengan kedua orang tua Azra? Kenapa Allah harus memanggil mereka lebih dulu?"
"Itu karena sudah garis takdir dari Allah, Azra. Kita semua memiliki takdir yang ada di tangan sang pencipta. Begitu pula dengan kedua orang tua Azra. Mereka dipanggil lebih dulu karena memang Allah sudah menggariskan takdirnya di panggil pada masa itu. Dan Allah juga mentakdirkan Azra untuk diurus oleh Bunda Fani dan Ayah Farid. Maka dari itu Azra dapat tinggal di sini. Oh, ya, ingat satu hal kalau Azra bukan anak pungut. Azra anak cantik, oke?" Fani merenggangkan pelukannya lalu menghapus air mata Azra hanya sudah meluncur dengan deras.
Seakan tahu kondisi yang memang memberatkan untuk Azra. Farid, Fathan, dan Fani memeluk Azra. Azra pun membalas pelukan keluarga keduanya tersebut. Mereka berempat melebur dalam satu pelukan hangat yang penuh dengan kenyamanan dan keharmonisan. Azra benar-benar sangat beruntung dapat tinggal di keluarga Fathan.
Fani dan Farid sangat menyayanginya tanpa membanding-bandingkan dirinya dengan Fathan tak seperti di film sinetron yang suka membanding-bandingkan anak sendiri dengan anak tetangga.
"Azra jangan pernah sedih lagi ya, jangan pernah ngerasa sendiri. Kalau ada masalah jangan dipendam. Azra bisa berbagi ke Fathan, ke Bunda, atau ke Ayah juga. Kami siap membantu Azra 24 jam Azra butuh." ucap Farid membuat Azra terenyuh mendengarnya.
"M-Makasih Ayah, makasih Bunda. Makasih udah mau mengurus Azra hingga sebesar ini. Azra sayang kalian."
"Kami juga sayang sama kamu, Azra."
***