Kring...
Bel istirahat berbunyi.
Para siswa yang berada di kelas X IPA 1 mulai sibuk membereskan buku mereka karena waktu istirahat ini mereka sudah merencanakan untuk pergi ke kantin mengisi perut mereka yang keroncongan karena belum adanya asupan untuk siang hari ini.
Di saat para murid yang lainnya sudah pergi keluar kelas. Kini tinggallah Fathan dan Jessie yang berada di sana. Seperti yang sudah kita ketahui Fathan dan Jessie adalah seorang introvert. Mereka tentu saja tidak mau membuka pembicaraan lebih dulu. Mereka lebih memilih diam saja.
Di waktu yang bersamaan, Fathan mengeluarkan bekalnya dari dalam tas begitupun dengan Jessie yang ternyata juga mengeluarkan bekal makan siangnya. Ternyata mereka sama-sama membawa bekal dari rumah mereka masing-masing.
Tidak sengaja, kedua manik mata Jessie dan Fathan bertemu. Membuat mereka saling bertatap wajah. Fathan menelan salivanya diikuti dengan Jessie yang mengikutinya juga.
Pada saat yang berbeda di kelas 10 IPA 2, Azra sedang menguncir rambutnya yang berantakan karena terlalu pusing mengerjakan fisika yaitu pelajaran yang baru dilewatinya tadi. Entah kenapa jika pelajaran fisika berjalan ia selalu mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Entah lah mungkin Azra terlalu pusing menghadapi deretan angka fisika yang hampir sama seperti matematika.
Azra sudah selesai memakan bekalnya sebelum jam istirahat tiba. Ya, ia makan diam-diam dibalik pundak temannya. Memang benar-benar tidak ada akhlak!
"Bosan." ucap Azra saat tidak memiliki arah tujuan hidup. Semua temannya sedang makan di kelas sementara dirinya sudah lebih dulu makan. Ia bingung ingin melakukan apa.
Sampai akhirnya pikirannya beralih kepada kelas Fathan.
"Ke kelas Fathan ajalah, sekalian minta air minumnya." kata Azra yang mengetahui air minumnya sudah habis. Ia memang benar-benar memanfaatkan keadaan yang sedang ia hadapi.
Azra berjalan keluar kelas menuju kelas Fathan. Banyak anak-anak dari kelas lain yang menyapa dirinya. Ia memang dikenal oleh banyak murid karena keramahannya kepada siapapun.
"Hai, Azra." sapa salah satu murid kelas sebelah.
"Hai, Anita! Mau kemana?" balas Azra ramah-tamah.
"Ke kantin, Zra. Kenapa memangnya? Mau ikut?"
"Boleh."
"Yaudah hayu!"
"Eh, bohongan ding. Nggak jadi Nit, Azra mau ke kelas Fathan mau minta air minumnya. Nita mau ikut nggak?"
"Eh? Ngapain gue ikut ke kelas Fathan. Ntar dikira carper lagi sama kakel."
"Ah, santai aja kali. Azra udah kenal semua anak kelas sebelas."
"Nggak ah, Zra. Gue mau ke kantin dulu ya."
"Oh, ya udah. Semoga selamat sampai tujuan di alam yang berbeda!"
"Ya Allah, Zra. Gue mau ke kantin loh bukan mau pergi ke alam baka." omel Anita tidak terima sementara Azra malah terkekeh atas lawakan garing yang ia buat sendiri.
Azra melanjutkan langkahnya melewati kelas demi kelas. Hingga tibalah manik matanya melihat ke arah lapangan basket dan sepak bola yang saling berhimpitan.
Azra melihat banyak sekali para jantan tampan yang sedang bertengger bermain basket atau sepak bola. Bahkan yang sedang diam saja juga ada. Senang sekali rasanya memiliki banyak stok cogan di sekolah. Tapi sayangnya tidak ada satupun yang bisa menarik hatinya.
"Di sekolah ini banyak bibit unggul cogan," ujar Azra tatkala melihat rombongan cowok tampan, "tapi kenapa nggak ada satupun yang nempel sama Azra ya? Apa karena Azra b***k?" Azra berasumsi sendiri.
"Nggak ada sejarahnya cewek itu b***k. Semua cewek itu cantik di mata orang yang tepat."
Karena mendengar sebuah suara, Azra menoleh melihat ada seorang kakak kelas yang tersenyum kepadanya.
"Aduh, makasih loh Kak atas pujiannya. Tapi Azra memang mengakui kalau Azra itu b***k. Buktinya nggak ada yang mau saja Azra, hehe." cengir Azra tanpa dosa.
"Bukan b***k. Tapi memang belum ketemu sama orang yang satu server sama kamu. Nanti juga ketemu kok. Nggak boleh insecure ya," tuturnya, "yaudah, gue mau ke lapangan dulu ya."
"Eh? Iya Kak." jawab Azra ia hanya bisa memandang seniornya pergi.
Tidak tahu kenapa ia seperti sulit membuka hati. Azra berpendapat bahwa dirinya hanya sekedar mengangumi saja, tapi tidak menaruh hati terhadapnya. Entah lah mungkin dirinya sudah senang menjadi single.
Dan kini, tibalah Azra di depan kelas Fathan. Matanya seketika itu juga tiba-tiba berubah menjadi bulat seperti uang logam recehan. Ya, ia melihat Fathan sedang makan berdua dengan seorang wanita di sampingnya yang tak lain adalah Jessie.
Sebenarnya itu sederhana dan sah-sah saja. Tetapi sudah tahu sendiri bagaimana sifat Azra. Ia selalu melebih-lebihkan sesuatu yang dilihatnya.
Brakkkk!
Azra mendobrak lebar-lebar pintu kelas Fathan yang tadinya tertutup setengah.
Sontak saja hal itu membuat Fathan dan Jessie yang sedang makan menjadi terkejut bukan main. Azra datang seperti malaikat pencabut nyawa saja. Benar-benar mengerikan!
"Widih? Siapa tuh lagi berduaan di dalam kelas? Awas loh yang ketiganya setan." cerocos Azra. Fathan hanya bisa memelototi Azra tetapi anak itu malah semakin menjadi-jadi.
"Wah, Fathan udah punya pacar rupanya ya. Kok nggak bilang-bilang Azra sih?!"
"Buk—"
"Siapa namanya? Rumahnya dimana? Kok Azra nggak pernah lihat ya kayaknya?" Azra mendekati Jessie dan memperhatikan seluruh mimik wajahnya.
Jessie diam aja saat Azra memperhatikannya. Sebenarnya agak risih tetapi ia tidak bisa mengelak karena tidak mau mencari-cari sebuah masalah yang malah akan membuat kepalanya menjadi pusing.
"Ya ampun kenapa cantik banget sih? Jadi insecure tahu nggak Azra lihat kakak? Ish!" gerutu Azra melihat cantiknya wajah Jessie.
Azra yang mengira Jessie akan berbalik meresponnya dengan humble ternyata salah besar. Jessie hanya diam dan kembali menunduk.
Suasana diantara mereka berdua mendadak canggung seketika. Azra membeo melihat tidak adanya respon yang diberikan oleh Jessie. Ia membolak-balikkan kepalanya ke samping kanan dan kiri menatap balik manik mata Jessie dan Fathan bergantian. Sungguh berada di posisi seperti ini sangat membingungkan baginya. Mau melawak tapi garing, nggak melawak nambah garing. Serba salah.
Sama seperti Jessie, Fathan juga ikut diam. Ia juga tidak tahu akan mengatakan apa nanti kepada Azra yang sangat bawel itu. Fathan sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Azra nanti terhadap kedekatannya dengan Jessie. Padahal kan Fathan tidak terlalu dekat dengan Jessie, baru saja hari ini ia mengenal Jessie. Itupun belum sempat berinteraksi dalam hal komunikasi.
Mereka bertiga mengalami suasana canggung yang terbilang cukup panjang. Apa kau tahu berapa? Ya, sepuluh menit baru mereka sadari jika mereka saling diam membisu seperti patung baju yang berada di dalam pusat perbelanjaan. Hingga akhirnya kecanggungan itu dihentikan oleh sebuah suara telepon genggam milik Jessie yang berdering.
Dring...
Terdengar suara telepon. Jessie segera merogoh saku bajunya dan mengambil ponsel miliknya itu. Ditatapnya nama pengguna yang meneleponnya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu kepada Fathan dan Azra, Jessie segera pergi keluar dari kelas Fathan.
Fathan menoleh melihat Azra yang sudah menatapnya lebih dulu. Gawat, kalau sudah begini tandanya Azra akan meminta penjelasan melebihi materi matematika.
Fathan dapat melihatnya dari kedua netra Azra yang tiba-tiba menyipit bak detektif dadakan yang meminta penjelasan lebih mengenai kedekatannya dengan Jessie yang dapat disalahartikan oleh Azra. Huft, menekankan sekali rasanya.
"Hayo, Fathan siapa itu?" Azra tersenyum jahat.
"Nggak."
"Siapa cewek tadi? Pacar Fathan ya?"
"Temen."
"Halah, bohong! Siapa?"
Fathan menghela napasnya berusaha sabar akan pertanyaan Azra, "Anak baru."
"Wah, serius dia anak baru?"
"Hm."
"Cantik tahu, Han."
"..."
"Siapa namanya?"
"Cari tahu sendiri."
"Dih, nggak jelas. Tinggal kasih tahu aja susah bener!"
"Ngapain?"
"Hah?"
"Lo ngapain ke sini?"
"Mau minta minum Fathan lah! Bagi dong!" kata Azra bersemangat.
"Minum lo kemana?"
"Habis."
"Terus kenapa minta ke gue?"
"Ya karena nggak bayar. Minta sama Fathan kan gratis. Lumayan Azra bisa nabung beli jajan."
"Nggak mau." tolak Fathan segera.
"Ih, kok nggak mau sih? Bagi nggak?"
"Nggak."
"Nggak usah pelit!"
"Beli. Ini punya gue."
"Males lagi bokek nggak ada uang!"
"Bodo."
"Ih, ngeselin! Gigit nih kupingnya!" ancam Azra yang sudah siap memasang ancang-ancang untuk menggigit telinga Fathan.
Anak-anak kelas Fathan mulai berdatangan memasuki kelas mereka. Takut dikira melalukan hal yang tidak-tidak, akhirnya Fathan menyerah saja. Ia memilih memberikan botol minumnya kepada Azra. Dengan tidak ikhlas lahir batin ia memberikannya kepada Azra.
"Nah, gitu dong dari tadi! Pelit banget!" sinis Azra.
"Jangan di habisin."
"Kenapa memangnya? Kan beramal sama Azra masa nggak mau sih air minum doang."
"Males."
"Males kenapa?"
"Ya males."
"Fathan kenapa sih kalau ngomong tuh setengah-setengah. Langsung gas aja kali. Ngirit bener ngomongnya kayak ngirit kuota utama."
"Males ke kantin maksud gue. Jadi, jangan dihabisin minumnya." Fathan berusaha sabar. Malas sekali rasanya berbicara panjang. Ini semua karena ulah Azra!
"Oh, gitu. Oke." Azra mengacungkan jempolnya tinggi.
Bukan Azra namanya kalau tidak melanggar apa yang dikatakan Fathan. Ya, Azra meneguk minum Fathan hingga habis tak bersisa.
"Ah, mantap!" Azra mengembalikan botol minum Fathan yang sudah kosong dan langsung berlari menuju kelasnya.
"Makasih Fathan! Jangan lupa beli minum lagi di kantin!"
"Bunuh orang dosa nggak ya?" Fathan membatin.
***
Pelajaran fisika selesai. Dilanjutkan dengan pelajaran olahraga. Pak Wono selaku guru olahraga memerintahkan para murid untuk mengganti seragam putih abu-abu mereka menjadi seragam olahraga.
"Ayo semuanya ganti seragamnya. Kita akan olahraga!" seru Pak Wono kepada seluruh murid di kelas sepuluh IPA 2.
"Materi apa hari ini, Pak?" tanya salah satu teman sekelas Azra.
"Hari ini kita akan praktek."
Setelah Pak Wono mengatakan hal tersebut, para murid pun langsung membuang napas merek dengan kasar. Mereka mengeluh. Jujur saja kegiatan sekolah yang tidak mereka sukai ini adalah praktek. Bagi sebagian orang praktek merupakan hal yang melelahkan memang.
"Yah, kok praktek sih, Pak?"
"Iya, Pak. Jangan praktek dong."
"Memangnya mau praktek apa, Pak?"
"Praktek roll depan." kata Pak Wono dengan lantangnya. Hal itu sontak saja langsung menjadi pro dan kontra dengan para siswa.
Sudah praktek, roll depan lagi. Apakah itu bukan paket lengkap namanya?
Bagi para siswi tentu saja hal itu menjadi beban. Ya, apalagi kalau bukan tidak bisa? Mereka tidak mau terjungkal dan ditertawakan oleh kaum adam. Hal itu benar-benar menyebalkan bagi mereka.
Sementara kaum Adam malah mendukungnya. Ya, karena mereka mempunya badan yang lentur dan elastis jadi mereka dengan mudah melakukan gerakan roll depan. Tidak seperti kaum hawa. Meskipun sebagian ada juga yang bisa.
"Bapak saya nggak bisa roll depan, Pak!" gerutu siswi di kelas Azra.
"Iya, Pak. Encok nanti saya."
"Pak, pokoknya saya nggak mau ikutan roll depan. Saya malu Pak, kalau nanti terjungkal kayak kodok kecetit. Please, saya nggak mau!"
"Saya juga, Pak!"
"Iya Pak, benar!"
"Saya nggak mau!"
"Saya juga!"
"Nggak mau saya, Pak!" sahut para siswi membuat Pak Wono bingung sendiri.
"Hei, sudah-sudah! Pokoknya hari ini pengambilan nilai praktek roll depan. Kalau tidak mau berarti tidak dapat nilai! Ayo cepat ke lapangan!" tukas Pak Wono mengakhiri.
***
Di pinggir lapangan, Azra sedang duduk bersama temannya menonton siswi lain yang sedang praktek roll depan. Azra belum mendapat giliran, Azra lebih memilih untuk menunggunya di dekat pohon yang terletak di pinggir lapangan. Ia memilihnya agar bisa mendapat sapuan angin yang menyegarkan.
"Zra," panggil temannya.
"Oi?" Azra menyahut.
"Gue takut."
"Kenapa? Lihat setan?"
"Heh! Jangan gitu ah, ngomongnya pemali tahu!"
"Ya terus?"
"Gue nggak bisa roll depan."
"Nanti Azra bantu dorong."
"Ih, Azra mah! Apaan, sih? Memang bisa?"
"Bisa lah. Tenang aja santai, Na. Kita harus menghadapi hidup ini dengan santai kalau nggak santai nanti stres pula."
"Keren sih, lo! Bisa ngegampangin semua hal."
"Biasa aja, Na."
"Eh, Zra,"
"Iya, Na?"
"Gue mau nanya sesuatu deh sama lo."
"Sok mangga atuh. Mau nanya apa?"
"Lo sebenarnya jadian nggak sih sama Kak Fathan?"
"Hah?"
"Iya."
Azra mendekati daun telinganya ke mulut temannya. Ia meminta temannya untuk mengucapkan kalimat tersebut sekali lagi.
"Nana ngomong apa tadi Azra nggak dengar?"
"Lo itu sebenarnya jadian nggak sih sama Kak Fathan?" ulangnya.
"Hah? Apa? Nggak dengar?"
"Azra jangan main-main!"
"Ulang."
Dengan sabar teman Azrayang bernama Nana itu kembali mengulangi kalimat yang sama. Dasar Azra! Melelahkan saja!
"Lo itu sebenarnya jadian nggak sih sama Kak Fathan?"
"Jadian?"
"Iya."
"Kenapa Nana bisa bilang gitu?"
"Kalian kan udah sahabatan dari embrio. Memangnya kalian nggak punya rasa?"
"Dih, mana ada Azra punya rasa sama Fathan! Ngeselin gitu orangnya!"
"Yakin ngeselin?"
"Iya, lima rius. Jadi tuh ya, Fathan itu orangnya dingin, ngeselin, kalo ngomongnya nggak disaring, kadang baik kadang jahat. Beh, pokoknya mah kalo di rumah Azra selalu gelud sama dia!"
"Tapi dia kalem loh keliatannya."
"Kalem di luar doang. Aslinya mah edan. Kayak es batu."
"Tapi gue lihat kalian itu sering berantem gitu, Zra. Dingin darimana coba? Humoris gitu?"
"Hah? Humoris?" Azra terkekeh mendengar kalimat yang dilontarkan Nana.
"Ih, kok lo malah ketawa sih?" heran Nana.
"Bisa-bisanya Nana bilang kalau Fathan adalah orang yang humoris."
"Lah, emang humoris kan?"
"Nggak Na! Apa-apaan itu humoris? Fathan nggak punya selera humor! Dia itu kebanyakan selera es batu!"
"Tapi kenapa kalau sama lo dia kayak biasa aja?"
"Maksudnya?"
"Sifatnya nggak dingin gitu. Ini sih menurut opini gue ya karena gue suka lihat lo sama dia."
"Pencitraan paling."
Saat Azra dan Nana sedang enak-enaknya berghibah, Pak Wono memanggil Azra untuk praktek roll depan.
"Azra ayo sekarang giliran kamu!" kata Pak Wono.
"Oh, saya ya Pak?"
"Iyalah."
"Na, gue ke sana dulu ya." kata Azra kepada Nana.
"Iya, Zra."
"Nanti kita lanjut lagi ghibahnya."
"Astaghfirullah." sebut Nana.
Setelah kepergian Azra, Nana jadi bingung sendiri. Mengapa Azra tidak menyukai Fathan? Sedangkan Fathan adalah salah satu tipe cowok yang ia idam-idamkan karena sifatnya yang dingin seperti cerita novel-novel remaja yang suka Nana baca.
"Aneh ya. Azra bisa nolak cowok kayak Fathan. Padahal udah ganteng, sifatnya nggak humble ke semua cewek tapi kalau sama Azra dia bisa berubah. Idaman banget tuh. Kenapa Azra nggak suka Kak Fathan ya?" Nana menerka-nerka sendiri.
"Apa jangan-jangan Azra nggak suka cowok?" Nana semakin takut, "astaga! Azra suka sama gue kali ya?" racaunya semakin gila.
***