Suara bel pulang sekolah berbunyi memberi tanda bahwa waktu jam pelajaran telah berakhir. Seluruh murid segera merapikan buku-buku mereka lalu memasukkannya ke dalam tas untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Lelah sekali rasanya seharian berkutat dengan pelajaran yang membuat kepala mereka serasa ingin pecah. Terlebih lagi pelajaran matematika yang memuat banyak angka-angka dan rumus-rumus penting yang membuat siapapun rasanya ingin pingsan. Namun mereka harus yakin kalau semua rasa lelah mereka selama ini akan terbayar dengan kesuksesan esok hari di dunia pekerjaan.
Sekarang ini yang ada dipikiran mereka hanyalah pulang, mandi, makan, dan tidur.
"Jessie!" panggil salah seorang siswa di kelas 11 IPA 1.
Jessie menoleh saat ada seseorang yang memanggil namanya, ia hanya meliriknya meminta untuk temannya melanjutkan apa yang ia katakan.
"Lo anak baru kan?" tanya siswi itu seperti orang bodoh. Padahal sudah jelas kalau Jessie anak baru di kelas itu. Memang ada-ada saja kelakuan human +62. Sementara Jessie membalasnya dengan anggukan.
"Pasti lo belum dapat eskul?" ucapnya lagi dan dibalas anggukan untuk yang kedua kalinya oleh Jessie.
"Kalau gitu lo ikut jadi anggota OSIS aja ya. Lo gantiin gue OSIS. Soalnya gue mau ngundurin diri." katanya seenak jidat.
"OSIS?" kedua alis Jessie saling bertautan. Yang benar saja ia baru sehari sekolah di sana langsung menjadi anggota OSIS.
"Iya, pokoknya lo gantiin gue. Titik nggak pakai koma nggak pakai tanda seru. Tenang aja pasti kepilih kok!"
"T-tap—"
"Yok ikut gue ke ruang OSIS!" tanpa menunggu persetujuan Jessie, siswi itu segera menarik tangan Jessie membawanya menuju ruang OSIS untuk memberikan semua beban dan amanah keanggotannya kepada Jessie. Benar-benar menjengkelkan!
Fathan yang sedang memasukkan buku pelajarannya ke dalam tas agak sedikit kesal dengan sikap yang dilakukan teman sekelasnya itu kepada Jessie yang notabene-nya adalah anak baru.
Jujur saja, Fathan tidak mengerti dengan nasib anak baru yang terkadang suka dikucilkan atau dipaksa oleh murid yang sudah lama bersekolah di sana. Padahalkan tujuan sekolah adalah belajar bukan mencari ketenaran ataupun menjadi preman.
Sebenarnya tidak semua sekolah yang mempunyai murid lama yang gila hormat seperti ini. Tapi terkadang tetap saja hal itu menjadi boomerang sendiri untuk Fathan.
Terlebih lagi jika murid baru itu memiliki sifat yang tertutup dan pendiam sama seperti yang dimiliki oleh Jessie. Terkadang anak-anak yang sudah lama bersekolah di situ bisa seenaknya memerintah dan menjadi penguasa karena sudah tahu sifat manusia pendiam yang akan selalu diam bila dibantah. Padahal anak baru jugalah manusia dan sama derajatnya dengan mereka. Anak baru juga membayar SPP sama seperti anak lama. Memang dasarnya trend senior-junior yang semakin merajai sekolah-sekolah.
Sama halnya seperti Jessie sendiri. Ah, Fathan jadi kasihan kepadanya.
"Kenapa mikirin Jessie?" ucap Fathan tiba-tiba bingung. Ia langsung membuang pikirannya yang sudah terlalu larut dengan apa yang ia pikirkan. Setelahnya Fathan segera melangkah keluar kelas bergegas pergi dari sana menuju ruang OSIS.
***
20 menit berlalu. Akhirnya rapat OSIS selesai juga. Fathan bernapas lega. Fathan menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Azra di sana. Tadi, Fathan sudah bilang kepada Azra kalau hari ini ia mempunyai jadwal kegiatan rapat OSIS seusai pulang sekolah ini.
Biasanya Azra selalu menunggunya di halte bus sembari membuat t****k. Tetapi sekarang tidak ada Azra di sana.
Drt... Drt...
Ponsel Fathan bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Azra.
Fathan segera mengeceknya.
Azra kunyuk : Azra habis beli koyo di warung belakang sekolah. Kepala Azra sakit karena tugas fisika dan matematika tadi. Tunggu ya, ini lagi di jalan.
Fathan menggelengkan kepalanya membaca pesan yang Azra kirimkan untuknya. Ada-ada saja kelakuan sobat kecilnya itu. Busa-bisanya ia dengan entengnya berkata kalau sedang di warung membeli koyo. Dasar konyol!
Sembari menunggu Azra datang. Fathan memilih untuk duduk di halte. Ia tidak sadar jika disampingnya sudah lebih dulu ada Jessie yang sedang duduk menunggu jemputan.
Karena polusi udara yang diakibatkan oleh debu, refleks Jessie terbatuk membuat Fathan sadar akan keberadaannya.
"Uhukkk!"
"Jessie?" kata Fathan refleks sementara yang dipanggil namanya malah diam.
Fathan yang mengerti situasi yang sedang dialami Jessie segera mengambil antisipasi. Ia mengambil satu lembar masker mulut yang ada di dalam tasnya dan memberikannya kepada Jessie. Bukan tanpa sebab Fathan melakukannya itu semua demi kebaikan orang lain sendiri.
Jessie menerima masker yang diberikan Fathan untuknya. Fathan kira Jessie akan mengucapkan 'terimakasih' tetapi nyatanya malah tidak sama sekali. Jessie hanya membalas rasa 'terimakasih' ia dengan senyuman.
Tak lama kemudian jemputan Jessie datang, tanpa berbasa-basi lebih dulu Jessie segera pergi dari sana.
"Wah, gue ada saingan. Ternyata dia lebih pendiam daripada gue." Fathan membatin.
“Cie... Cie... Sama siapa nih?” ucap Azra tiba-tiba datang. Ya, ia melihat Fathan memberikan maskernya kepada Jessie, “Asiiiik! Ternyata benar kalau Fathan sekarang udah punya pacar!"
"Nggak."
"Halah, udah nggak usah ngelak! Azra malah senang kalau Fathan udah punya pacar. Akhirnya setelah lama sendiri Fathan laku juga ya. Azra kira ngg—“
“Gue nggak pacaran.” Fathan langsung memotong perkataan Azra. Aneh-aneh saja anak itu kalau bicara seenak jidatnya.
“Masa iya?”
“Iya, Zra.”
“Tadi ngasih masker itu apa? Fix, Fathan udah ada pacar. Ayo traktir Azra."
"Gue cuma membantu."
"Dih, bohong!"
"Yaudah kalau nggak percaya." kata Fathan mengakhiri. Ia berjalan mendahului Azra.
"Loh, Fathan mau kemana?"
"Makan."
"Dimana?"
"Angkringan samping lampu merah."
“Ih, mau ikut!"
"Yaudah." ucap Fathan menyetujui. Ia memang gemar makan di sana bersama Azra kalau sedang lapar saat pulang sekolah begini. Walaupun Fathan berasal dari keluarga yang berada, Fathan tidak sombong. Ia juga tidak selalu makan di tempat-tempat mahal. Ia malah lebih menyukai angkringan.
***
Fathan dan Azra sedang melahap makanan mereka di angkringan yang terletak di samping lampu merah.
Di saat Fathan sedang melahap makanannya tiba-tiba saja Azra mengambil piring Fathan menyembunyikannya di balik tubuhnya.
"Ngapain?" heran Fathan.
"Sebelum Fathan ngabisin makanannya. Azra mau nanya dulu sama Fathan."
"Nanya apaan?"
"Fathan udah punya pacar kan?"
"Lo sakit?"
"Enggak."
"Oh."
"Ih, Fathan yang bener!"
"Apaan, sih?"
"Cewek tadi itu siapa? Pacar Fathan ya?"
"Cewek yang mana?"
"Yang di halte itu."
"Kenapa lo bisa beranggapan kayak gitu?"
"Soalnya kan Azra ngeliat Fathan kayak deket terus sama cewek itu. Dari awal istirahat sampai pulang Fathan sama dia terus. Padahalkan Fathan jarang main sama cewek atau berinteraksi sama cewek lain. Paling juga sama Azra atau Bunda."
"Kenapa memangnya?"
"Hah? Maksudnya?"
"Lo cemburu gue dekat sama dia?" pancing Fathan.
"Eh? Enggak kok! Kata siapa? Pede banget jadi orang!"
"Terus kenapa lo nanyain cewek itu?"
"Ya karena kan Azra kepo. Kok bisa Fathan es batu jadian sama orang. Seharusnya Fathan jadian sama es batu juga biar sama!"
"Dasar aneh!" kata Fathan malas menanggapi, "sini makanan gue! Balikin!"
"Nggak mau." Azra menjulurkan lidahnya dan tetap menyiapkan makanan Fathan.
"Zra..."
"Iya, Fathan?"
"Balikin."
"Nggak mau."
"Azra, gue laper."
"Oke, Azra bakal balikin."
"Sini."
"Tapi ada syaratnya."
"Apa lagi sih?"
"Cewek yang tadi itu siapa? Pacar Fathan bukan?" tanya Azra untuk yang kesekian kalinya. Entah sudah berapa banyak Azra mengoceh tanpa henti yang membuat kepala Fathan rasanya ingin meledak sendiri.
"Ck, bukan!" decak Fathan sembari membalikkan bola matanya dengan malas.
"Fathan ih, siapa?"
"Siapa apanya, sih?"
"Cewek tadi."
"Siapa?"
"Ih, Fathan pura-pura nggak tahu ah!"
"Hm."
"Yang rambutnya sepundak mukanya imut kayak odading itu!"
"Bakpao kali!"
"Nah, iya pokoknya itu!"
"Nggak tahu."
"Ih, Fathan jangan pura-pura nggak tahu! Fathan pasti udah jadian kan sama dia? Siapa sih namanya Azra belum tahu."
"Nggak."
"Halah bohong!"
"Yaudah kalau lo nggak percaya. Dasar ribet!" Fathan menjitak Azra.
"Ih, sakit ah!" Azra membalas jitakan Fathan dua kali lebih keras membuat Fathan sedikit meringis.
"Nggak usah usil! Gue mau makan."
"Makanya jawab dulu! Cewek tadi siapa?"
"Temen sekelas gue, Azra. Dia anak baru." kata Fathan akhirnya menjelaskan.
"Oh, gitu."
"Puas?"
"Enggak."
"Lo mau gue pukul?"
"Yaudah."
"Nggak usah bercanda, Zra. Gue laper!" gerutu Fathan.
Saat Fathan dan Azra sedang perang. Terdengar suara balita kecil menangis meminta makan. Azra dan Fathan menoleh, mereka melihat seorang ibu yang langsung menyuapi putra kesayangannya itu.
"Ngapain lo ngeliatin orang?" tanya Fathan bingung melihat Azra yang fokusnya tidak buyar melihat ibu-ibu yang tengah menyuapi anaknya.
Tiba-tiba saja sebuah ide gila terlintas di benak Azra. Ya, ia ingin memiliki balita seperti ibu-ibu itu. Terlebih lagi menyuapinya. Kedua netra Azra segera menyipit dan melirik kepada Fathan. Entah mengapa batin Fathan sudah dapat merasakan adanya hal-hal yang tidak diinginkannya dengan tatapan sipit Azra seperti itu.
"Azra pengin punya anak kayak ibu itu."
"Hah?" beo Fathan.
"Azra pengin nyuapin anak."
"Hah? Maksudnya?" kata Fathan nambah bingung.
"Fathan lihat kan ibu-ibu itu lagi nyuapin anaknya?"
"Iya, lihat."
"Azra jadi kepengin nyuapin anak tapi belum punya anak."
"Ya terus?"
"Fathan harus mau jadi anak Azra pokoknya, fix." tukas Azra tidak menerima penolakan sedikit pun.
"Anak?"
"Nih, makan." Azra mengambil sendok makan Fathan dan mendekatkannya kepada mulut Fathan, "Azra mau nyuapin Fathan."
"Gue udah besar. Gue bukan anak bayi lagi, Azra. Gue makan sendiri aja."
"Nggak apa-apa Fathan, Azra lagi ngebayangin kalau Fathan jadi bayi dan Azra ibunya. Ayo makan!"
"Nggak mau! Malu!"
"Ih, nggak usah malu! Anak kecil itu aja mau disuapin masa Fathan nggak mau?"
"Zra. Plis udah, jangan aneh-aneh malu dilihat orang!"
"Fathan milih Azra suapin atau Azra teriak biar orang-orang dengar?"
"Heh!"
"Makanya pilih yang mana?"
"Nggak mau, Zra."
"Oke, kalau gitu Azra bakal teriak. Satu... Dua... Ti—"
"Yaudah gue mau jadi anak lo." kata Fathan pasrah.
"Nah, gitu dong dari tadi!" cengir Azra tanpa dosa.
Ia merasa senang sekali karena Fathan mau menurutinya. Azra pun segera menyuapi Fathan seolah-olah memperlakukannya seperti anak kecil.
"Ayo buka mulutnya pesawat mau masuk. Ngeng... Ngeng... Ngeng..."
"Aum..."
"Enak kan makananya, anak Mama?" tanya Azra kepada Fathan.
"Iya Mah, enak." jawab Fathan mengikuti alur drama.
Azra tertawa ngakak mendengar respon dari Fathan yang mau menjadi anak asuhnya sementara. Sedangkan Fathan hanya bisa diam dan merutuk dalam hati. Dasar Azra!
***