Part 5

2180 Kata
Hening dan sunyi. Mungkin seperti itu penggambaran sekilas tentang apa yang terjadi di kelas 11 IPA 1. Seluruh siswa dan siswi yang berada di kelas itu sedang fokus terhadap banyaknya soal kimia yang terpampang jelas di depan kedua netra mereka. Nikmat sekali rasanya pagi-pagi seperti ini disuguhi soal yang memanjakan mata. Terlebih lagi dengan suara guru yang tiba-tiba berkata seenaknya, "Hari ini kita ulangan harian. Kumpul semua buku cetak di depan meja Ibu. Tidak ada waktu belajar lagi karena Ibu tidak suka menunggu. Sebenarnya tidak salah sih apa yang guru tersebut ucapkan. Ia juga sudah mewanti-wanti sejak seminggu yang lalu pada pelajarannya bahwasannya minggu depan akan diadakan ulangan harian. Para muridnya saja yang terkadang suka menambah-nambahkan. Entahlah, mungkin mereka lelah terlalu banyak makan soal. "Astaghfirullah, ini soal kenapa susah banget sih? Bisa-bisanya apel busuk dihitung berapa ketinggiannya karena jatuh dari atas pohon. Kalo gue jadi orang ini nggak bakal gue ngitungin beginian. Udah pusing tambah pusing." ucap salah satu murid di kelas itu membuat seluruh murid melirik dan melihat ke arahnya. "Kenapa kamu? Mau protes?" sambar guru kimia dengan sangar. "Eh?" "Kalau nggak suka pelajaran saya silakan keluar."  "Eh? E-enggak, Pak." "Cepat kerjakan!"  "Iya, Pak." Siswi tersebut termakan malu atas apa yang ia katakan dengan ceplas-ceplosnya. Ia tak sadar kalau guru kimia mereka sangatlah garang bak belalang. Ia benar-benar pusing terhadap soal kimia di depannya. Demi apapun, ia belum memahami materi yang diberikan. Tiba-tiba saja langsung ulangan dadakan begini. Rasanya ia ingin pingsan saja. Berbeda dengan Fathan, ia terlihat tenang sekali mengerjakan soal kimia. Tadi malam, Fathan sudah belajar dengan keras agar bisa mendapatkan grade nilai yang baik. Meskipun melelahkan tetapi hasilnya tidak akan mengkhianati. Hal itu sangat terbukti saat dirinya dapat dengan mudah menghitung rumus dari level rendah hingga level tinggi. Mantap sekali memang kalau kita belajar.  Tak jauh berbeda dengan Fathan, di sampingnya Jessie pun turut ikut serta menjawab soal kimia dengan tenang dan cepat. Meski ia terbilang murid baru tetapi Jessie tidak mau ketinggalan pelajaran. Ia juga belajar demi nilai yang tinggi sama seperti Fathan. Mereka memang benar-benar murid yang ambisius. 30 menit kemudian... "Waktu ujian habis. Silakan kumpul lembar jawaban kalian." ucap guru kimia tersebut. Sontak saja hal itu membuat trouble besar bagi murid yang belum selesai mengerjakan soal. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri. Lebih tepatnya sibuk mencari jawaban untuk mengisi lembar jawaban mereka yang masih kosong. Karena tidak mau lembar jawabannya dicontek. Fathan cepat-cepat mengumpulkannya ke depan meja guru. Sebuah trik yang bagus karena Fathan tidak ingin hasil kerja kerasnya dilihat begitu saja. Ia yang sudah belajar mati-matian mereka yang melihat dengan enaknya saja. Tidak bisa. Kecuali mereka memang dekat dengan Fathan. "Aduh! Nomor lima sama sepuluh belum lagi gue! Gimana ya gue lupa cara ngerjainnya? Eh, Fathan boleh minta tolong nggak?" tanya siswi itu berbisik yang dimarahi oleh guru kimia tadi. "Udah dikumpul." balas Fathan. "Lo tahu nggak cara ngerjainnya?" "Tahu tapi lupa." "Ih, gimana ya gue nggak tahu lagi!" gerutu siswi tersebut. Siswi tersebut adalah orang yang memaksa Jessie untuk menggantikan dirinya OSIS waktu lalu. Tanpa siswi itu duga, Jessie mendengar apa yang ia bicarakan perihal soal nomor lima dan sepuluh yang belum ia jawab. Dengan berbaik hati Jessie menuliskan jawabannya dan memberikannya kepada siswi itu. Siswi itu tentu saja terkejut melihat Jessie yang tiba-tiba membantunya menjawab soal. "Eh? S-serius?" katanya. "Iya." "Makasih ya. M-maaf kalau gue ada salah sama lo." kata siswi tersebut meminta maaf. Sementara Jessie hanya tersenyum lalu pergi mengumpulkan lembar ujian hariannya. Fathan terenyuh melihatnya. Seketika hatinya langsung terbuka atas perbuatan yang Jessie lakukan. Rasanya seperti tertampar dengan kenyataan. Apakah ia terlalu pelit ilmu? *** Waktu terus berputar. Kini sudah jam istirahat. Terik matahari yang panas membuat keringat Azra menetes satu demi satu. Terlebih lagi Azra habis main lari-lari dengan kucing ibu kantin. Sekarang ia tengah berada di kelas Fathan dengan napas yang terengah-engah.  "Fathan," "Apa?" "Tadi Azra habis main lari-larian sama kucing." "Oh." "Peka kek!" "Lo mau apa?" "Azra haus." ucap Azra. Azra berpikir bahwa Fathan akan membelikannya minum namun ternyata anggapan itu salah besar. Farhan hanya berdeham seolah tidak peduli. Benar-benar teman tidak ada akhlak! "Hm."  "Kok gitu responnya?" kata Azra tak terima. "Nggak tahu." "Ih, Fathan! Azra mau minum!" "Minum tinggal minum." "Minum Fathan mana? Azra mau minta."  "Habis." "Beliin!" "Males." "Dasar nggak peka!" "Memang." "Azra gigit nih tangan Fathan!" ancam Azra.  "Gue tinggalin ya lo di sini. Gue mau ke perpustakaan."  "Ih, kok ditinggalin sih!" gerutu Azra. Fathan melangkahkan kakinya berniat pergi dari kelas. Tidak, ia tidak benar-benar berniat meninggalkan Azra. Ia hanya bercanda. Azra yang mengira Fathan tidak bercanda malah merencanakan sesuatu yang membuat Fathan mengurungkan niatnya untuk bercanda kepada Azra. Padahal ia hanya iseng tetapi Azra malah menganggap hal itu sungguhan. Dasar! "Oke kalau Fathan nggak mau Azra bakal teriak." seperti yang Azra duga akhirnya Fathan menuruti apa yang dikatakan Azra. Fathan tidak mau memperpanjang masalah dengan Azra berteriak diantara kerumunan manusia di kelasnya. "Nyusahin!" cetus Fathan, kakinya mulai melangkah pergi akan tetapi sosok gadis menghentikannya dari belakang. Tanpa mengeluarkan suara gadis itu memberikan botol minum kepada Fathan. Fathan menoleh, dia melihat Jessie teman sekelasnya yang juga terkenal dengan sifatnya yang pendiam. Seakan tahu apa yang dikatakan Jessie meskipun ia tidak mengeluarkan suara, Fathan mengangguk seolah mengucapkan terima kasih. Jessie dan Fathan memang satu frekuensi. Mereka dapat berbicara melalui netra meskipun tidak mengeluarkan sepatah kata.  Fathan pun langsung memberikan botol minum itu kepada Azra. Azra yang tidak peduli botol itu berasal dari mana langsung saja meneguknya hingga habis. "Uh, akhirnya hilang juga haus ini." "Bilang makasih ke Jessie." timpal Fathan. Azra menoleh ke samping dan menemukan Jessie. Ia pun mengucapkan apa yang diperintah Fathan. "Makasih ya, Kak." ucap Azra kepada Jessie. Azra sudah mengetahui jika Jessie adalah sosok teman sekelas Fathan. Jessie hanya mengangguk mengiyakan saat Azra berterima kasih kepadanya. Meskipun sosoknya pendiam, Jessie merupakan manusia yang baik hati. Tanpa Jessie sadari, Fathan meliriknya diam-diam. Senyum Fathan terangkat saat melihat kebaikan Jessie. Jujur saja menurut Fathan, Jessie memang satu tipe dengan dirinya.  Apakah ini awal kisah cinta antara Fathan dengan Jessie? *** Sehabis istirahat berakhir, Ketua OSIS memerintahkan seluruh anggota mereka untuk berkumpul di aula. Sudah dua hari mereka meeting untuk menentukan acara tahunan yaitu pertandingan apa saja yang akan mereka adakan setiap tahunnya. Jessie berjalan lebih dulu daripada Fathan. Sedangkan Fathan ia seperti sweeper dari belakang yang seolah-olah menjaga Jessie. Sekarang, mereka sudah sampai di dalam ruang aula. Seluruh Anggota OSIS yang berada di sana dengan khidmat mendengarkan petuah dari sang ketua OSIS. "Oke, jadi sekolah kita akan mengadakan pertandingan antar sekolah lain. Dan kebetulan sekolah kita menjadi tuan rumah setiap tahunnya. Jadi, saya akan membagi tugas untuk semua anggota. Ada yang diminta mengerjakan mading, proposal, ataupun tugas lainnya. Paham?" ucap sang ketua OSIS. "Paham..." jawab seluruh anggota OSIS. "Nama-nama kalian sudah kami data semua untuk pembagian kelompoknya. Saya akan menyebutkan sekarang juga." "Baik, Kak..." "Salsa dan Raihan, 11 IPS 2 tugas kalian membuat daftar kegiatan di proposal." kata ketua OSIS memberi tahu.  "Siap, Kak." "Adel dan Fadhilah, 10 IPA 5 tugas kalian membuat daftar kebutuhan bahan panggung." "Iya, Kak." "Roma dan Rama, 12 IPS 3 tugas kalian mencatat daftar hadir keseluruhan pendatang saat acara berlangsung nanti." "Oke." Dan terus ketua OSIS itu menyebutkan satu persatu hingga sampailah kepada Fathan dan Jessie. "Jessie, Fathan, 11 IPA 1 kalian kerja sama ya buat mading di rumah kalian. Terserah mau di rumah siapa tapi besok pekerjaannya harus selesai karena sekolah kita akan mengadakan perlombaan antar sekolah lain." *** Fathan sedang duduk sendiri di halte. Ia sedang menunggu Azra yang sedang membeli jajan di kantin belakang sekolah.  Hingga ketika Jessie tiba-tiba datang ke halte dan duduk bersebelahan dengannya. Mereka tidak saling menyapa. Mereka hanya diam melihat netra keduanya. Setelah itu pikiran mereka mulai fokus kepada hal lainnya. Keheningan mulai merambah diantara keduanya. Akan tetapi seketika itu juga Fathan langsung teringat dengan kebaikan Jessie saat ujian kimia berlangsung. Ya, Jessie memberikan semua jawabannya kepada siswi yang memaksanya untuk mengikuti OSIS itu. Dan juga Fathan ingin menanyakan perihal topik tugas kelompok OSIS yang dibebankan kepada dirinya dan Jessie. Ia pun memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Jessie.  "Je." "Hm?" "Kalau boleh tahu, kenapa lo kasih jawaban lo ke anak tadi?" "Anak siapa?" "Eh, maksudnya siswi yang teriak karena pusing sama soal kimia tadi. Tanpa dia minta lo malah kasih kertas jawaban lo ke dia. Padahal dia pernah memaksa lo untuk jadi anggota OSIS tiba-tiba tanpa minta persetujuan dari lo." "Oh itu," Jessie tersenyum lalu melanjutkan, "kata Mama, kita nggak boleh jahat sama orang yang jahat juga sama kita. Kita harus baik sama orang itu mau bagaimanapun orangnya." "Kenapa nggak dibalas aja? Biar adil gitu." "Percuma aja kalau kita balas dengan kejahatan juga, nggak akan pernah selesai. Lebih baik kalau kita berbuat baik sama dia. Dengan izin Tuhan, pasti pintu hati orang tersebut bakal terbuka." Deg! Perkataan Jessie membuat Fathan terpukul. Pemikiran Jessie ternyata lebih dewasa dibandingkan pemikirannya. Fathan saja kalau Azra menjahilinya ia langsung berontak. Nah ini, Jessie seorang murid baru yang tiba-tiba dipaksa menjadi OSIS tanpa persetujuan dirinya lebih dulu dapat mengikhlaskannya dan menjalani apa tugas yang di embannya. Fathan benar-benar tak habis pikir lagi dengan pola pikir Jessie. Ternyata dibalik sifatnya yang introvert ia memiliki nurani yang terbilang melebihi ekstrovert. "Gue salut sama lo." Fathan membatin dalam hatinya. "Nama lo Fathan?" tanya Jessie. "Eh? Iya. Maaf ya gue lupa memperkenalkan nama. Nama lo Jessie kan?" kata Fathan gugup seperti sedang di sidang guru BK "Iya. Tadi kan lo udah manggil gue 'Je', hehe."  "Astaghfirullah, lupa." Fathan menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali itu. Perlahan, keheningan mulai merambah diantara keduanya. Mereka sama-sama diam tak tahu lagi apa yang akan mereka bahas. Ya begini lah kalau introvert bertemu dengan introvert lainnya. Mau memulai pembicaraan tapi sudah malu-malu kucing duluan. Bukan takut bicara namun takut apa yang mereka katakan malah menjadi garing atau tidak enak di dengar oleh lawan bicara mereka. Terlebih lagi jika apa yang mereka katakan hanya "dikacangin" sakitnya bukan main, asli. Akan tetapi kalau mereka sudah nyaman dengan diri sendiri dan lawan yang diajak bicara, sifat mereka dapat berubah drastis dengan sendirinya. Yang tadinya pendiam dapat berubah menjadi periang. Yang tadinya pemalu, dapat berubah menjadi orang yang memalukan. Semua itu tergantung hati dan pikiran masing-masing individu. Kalau mereka sudah satu jalur frekuensi pasti bakal jadi diri sendiri. "Je—" "Fath—" Fathan dan Jessie sama-sama terdiam. Bingung ingin mengatakan apa. Di saat yang membingungkan itu, Fathan memanggil Jessie begitupun juga sebaliknya dengan Jessie yang memanggil Fathan. "Apa?" ucap Fathan dan Jessie bersamaan. "Mau ngomong apa?" kata mereka kembali sama. Manik mata mereka saling bertatap seolah bingung ingin mengatakan apa. Kenapa harus sama? Jadi bingungkan nentuin topiknya. Hingga akhirnya Jessie yang lebih dulu memutuskan kontak matanya dengan Fathan sembari menutupi semburat merahnya yang dapat Fathan lihat dengan jelas di kedua pipi bakpao-nya. Dan terjadi lagi. Keheningan untuk yang kedua kalinya terhadap Fathan dan Jessie. Mereka sama-sama diam membisu tak berani mengucapkan apa yang akan mereka sampaikan. "Duh, gimana ya ngomongnya?" batin Fathan.  "Pengin ngomong tapi takut dikacangin." kini Jessie yang membatin.  "Masa diem-dieman terus? Kalau gini terus pasti bisa sampai subuh nih, Than? Ayo dong coba ngomong! Susah banget kayaknya!" Fathan merutuki dirinya yang terlalu cupu memulai percakapan. Sebenarnya ia hanya ingin bertanya soal pekerjaan kelompoknya dengan Jessie. Tetapi malah seperti ini. Padahal topiknya cuma kerja kelompok bukan menyatakan cinta, tapi kok nggak berani ngomong ya? "Udah lah, nggak usah takut. Ngomong doang aja susah. Inget kata Azra." lanjut Fathan membatin. Seketika itu juga ia langsung teringat apa yang dikatakan Azra lalu. "Zra." "Iya?" "Nggak jadi." "Ih? Apaan?" "Nggak apa-apa." "Fathan mau nanya apa?" "Nggak." "Nggak jelas!" "Dasar nggak peka!" "Fathan itu yang nggak jelas tiba-tiba manggil terus bilang nggak ada apa-apa. Fathan mau apa?" "Padahal udah gue kode masih aja nggak peka." "Hah?" "Bagi cemilan lo." "Ya Allah! Tinggal bilang aja Fathan kenapa malu-malu?" "Nggak tahu."  "Ingat ya, Fathan. Kalau kita nggak ngomong dan takut untuk memulai percakapan, orang lain nggak bakal tahu apa yang mau kita sampaikan. Fathan kira orang lain itu bisa peka sama perasaan kita? Ya, nggak lah! Mereka juga manusia biasa yang nggak ngerti tentang kode." "Dah lah, gas aja."  "Eh, Je." panggil Fathan. Ia memberanikan diri untuk memulai percakapan meski suaranya terdengar gemetar hebat. "Iya?" "Kita berdua kan satu kelompok mading ya?" "Iya." "Mau di rumah siapa?" "Maksudnya?" "Maksudnya, tugasnya mau ngerjain di rumah siapa?" "Terserah. Gue ikut aja." "Di rumah gue mau?" "Emang boleh?" "Ya boleh lah. Masa nggak boleh?" "Oh, ya udah. Di rumah lo aja." "Berarti kita bareng ya?" "Apanya?" Jessie tak paham. "Berangkatnya." "Iya. Masa gue ke rumah lo sendirian? Gue kan nggak tahu rumah lo di mana, hehe." Jessie tertawa kecil. Fathan ini ada-ada saja. Masa ia tidak tahu rumahnya di suruh seorang diri ke rumah Fathan? Benar-benar aneh. "Lah, iya juga ya." "Kerja kelompoknya hari apa, Fathan?" tanya Jessie. "Kerja kelompoknya hari minggu mau? Deadline-nya minggu depan sih? Tapi kalau tugas dikerjakan dengan segera pasti bakal cepat selesai. Jadi nggak kepikiran lagi."  "Boleh. Ide yang bagus." "Oke." kata Fathan sedikit canggung. Tak lama kemudian, ojek online yang Jessie pesan sampai di depan halte. Jessie pamit dan segera menaiki ojek tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN