Biasanya jika hendak meminta izin pulang, aku selalu diberikan beberapa pekerjaan tambahan oleh mbak Rea. Begitu juga hari ini, mbak Rea memberiku banyak sekali pekerjaan dengan alasan: biar liburku tanpa gangguan. Padahal kenyataannya selama libur pun dia selalu menghubungiku, entah alasan kapan kembali bahkan alasan-alasan yang sulit aku pahami.
"Mbak jadi pulang?" Susi menghampiri meja kerjaku dengan membawa beberapa map berisi desain baju yang di pesan client.
"Jadi," balasku, sambil menerima map yang Susi bawa.
"Berapa lama?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Susi. Pasalnya bukan hanya Susi yang bertanya seperti itu, mbak Rea pun bertanya seperti itu, padahal jadwal pulangku masih dua hari lagi.
"Kok malah senyum?" Susi menatapku dengan tatapan bingung.
"Kamu sama seperti mbak Rea. Aku belum pulang tapi udah nanya berapa lama."
"Aku sering kebingungan kalau gak ada mbak Risa," Susi nampak menghela, dan memasang wajah memelas ciri khasnya.
"Kan ada Raihan, Tiara dan juga tim desain yang lain. Kenapa bingung?"
Susi membetulkan posisi duduknya, seolah mempersiapkan diri untuk pembicaraan serius.
"Mbak masih ingat gak dengan pelanggan VIV kita, namanya Moana?"
Sekilas aku sudah ingat siapa Moana. Gadis berparas cantik yang akan melangsungkan pertunangannya sebentar lagi dengan seorang lelaki tampan bernama Elnandar. Melihat kedua pasangan itu membuatku merasa iri, bagaimana Tuhan menjodohkan dua manusia sempurna seperti mereka. Bukan hanya sempurna dari segi fisik saja, namun dari materi juga.
"Iya, aku ingat. Memang kenapa?"
"Mbak Moana gak mau di layani oleh desain lain. Waktu Mbak Risa pamit pulang setengah hari, dia datang untuk melihat desain kebayanya. Tapi dia gak mau di layani mbak Tiara dan justru malah memilih pulang."
Aku mengerutkan dahi, mengingat kapan kejadian itu berlangsung. Seingatku aku hanya pernah bekerja setengah hari waktu aku dan mas Randi bertengkar. Mungkin saja waktu itu Moana memang datang untuk memeriksa kebaya pesanananya.
"Waktu mas Randi datang kesini ya?" Tebakanku benar, karena Susi langsung mengangguk.
"Dia maunya mbak Marissa yang ngurus, gak mau yang lain."
"Nanti aku akan meminta bertemu dengan mereka, sebelum aku pulang. Biar tidak terjadi lagi seperti itu."
Orang yang memiliki uang lebih memang selalu mempersulit hal yang sebenarnya sangat sepele. Contohnya saja seperti Moana. Sebenarnya ada dan tidak adanya aku sama saja karena kebaya yang ia pesan dikerjakan bersama, yaitu aku dan Tiara. Namun sejauh ini setiap kali dia datang selalu aku yang ditunjuk untuk menyesuaikan keinginannya.
Seperti yang sudah dijadwalkan mbak Rea, sore ini aku akan bertemu dengan Moana. Bertemu dengan orang penting seperti mereka memang harus mengikuti jam yang mereka setujui, meskipun sebenarnya mereka yang membutuhkan jasa kita. Namun karena jadwal mereka jauh lebih sibuk di bandingkan aku, jadi mau tidak mau aku harus mengikutinya. Peribahasa pembeli adalah Raja memang benar adanya.
Moana baru memberiku kabar sekitar jam empat sore, sempat aku mengusulkan untuk membatalkan pertemuan karena hari sudah menjelang sore ditambah hujan yang terus mengguyur Jakarta tanpa henti sejak jam dua siang membuat aku sedikit malas bertemu. Awalnya Moana menyetujui dan akan mengatur jadwal esok harinya, namun ia kembali menghubungiku dan meminta hari ini juga untuk bertemu karena esok harinya ia akan pergi.
Sesuai janji dengan Moana, aku datang ke alamat yang sudah dikirim melalui pesan singkat. Lokasi yang dimaksud cukup jauh dan lumayan memakan waktu, ditambah hujan dan macet, membuat aku sampai setelah hampir satu jam lamanya. Beruntunglah ojek online yang aku pesan tahu betul jalan pintas yang melewati gang-gang kecil dan sempit, meski harus basah kuyup karena jas hujan yang dipinjamkan abang ojek tidak sepenuhnya menutupi bajuku, yang terpenting semua map berisi desain baju milik Moana aman.
Membayar ongkos ojek sebesar lima puluh ribu rupiah untuk perjalanan yang cukup jauh, tidak sebanding dengan pengorbanan abang ojek yang harus merelakan bajunya basah kuyup terkena air hujan karena ternyata jas hujan yang ia pinjamkan untukku, itu adalah satu-satunya jas yang ia miliki. Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa untuk mendapatkan sesuap nasi, aku menjadi lebih bersyukur karena ternyata masih banyak orang yang lebih kesusahan dalam menafkahi keluarganya. Rasanya sangat malu, karena aku masih sering mengeluh setiap kali merasa diri ini lelah.
Aku turun persis di depan sebuah rumah mewah bergaya modern klasik. Tidak perlu aku jelaskan bagaimana mewah dan megahnya bangunan bercat putih itu. Pagar besi bercat hitam berdiri kokoh dan menjulang tinggi seolah rumah itu memberi batasan atau jarak pada siapapun yang hendak mendekat atau sebagai ciri seberapa kayanya sang tuan rumah sehingga harus bersusah payah membangun pembatas sebesar itu. Namun begitulah orang kaya, selalu menerapkan batasan-batasan tertentu agar orang lain menyadari status sosialnya.
Seharusnya untuk ukuran rumah besar seperti ini mereka menyediakan jasa keamanan, Security. Namun ketika aku melihat ke sekeliling tidak ada tanda-tanda siapapun, bahkan rumah besar itu terlihat kosong tanpa penghuni. Untuk memastikan alamat yang diberikan Moana tidak salah, aku mengecek kembali pesan yang singkat dari Moana. Namun tidak ada yang salah, aku sudah berada di tempat yang benar.
"Permisi,,,!" Meski nampak bodoh dan sia-sia aku berteriak, berharap ada yang mendengar suaraku.
Berulang kali aku berteriak, tidak ada jawaban. Aku sempat berpikir apakah sebaiknya aku pulang saja. Bajuku sudah basah dan udara dingin sudah mulai terasa hingga tulang punggung. Bisa masuk angin kalau dibiarkan begitu saja.
Percobaan terakhir, jika kali ini tidak ada respon aku akan benar-benar pulang.
"Permi_"
"Ada yang bisa saya bantu?" Tiba-tiba seorang perempuan muncul dari balik pagar. Raut wajahnya kurang bersahabat dan memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Saya dari Rea fashion, mau bertemu dengan Ibu Moana." Aku berusaha tersenyum seramah mungkin, meski ibu tua itu masih saja menatapku penuh curiga. Rasanya dia tidak berlebihan menatapku dengan tatapan aneh, karena dia mengira aku adalah orang-orang yang sedang meminta sumbangan. Penampilan lusuh dan memegang sebuah map bersampul plastik.
"Silahkan masuk, Ibu Moana sedang menuju kemari."
Beruntunglah si Ibu yang tidak aku ketahui namanya itu membuka pagar dan mempersilahkan masuk. Jika tidak aku bisa mati kedinginan.
Ibu tua itu membawaku ke sebuah ruangan yang sepertinya itu adalah ruang utama atau ruang tamu. Besar ruang tamunya saja sebesar rumahku, bahkan mungkin ini lebih besar. Si ibu tua itu memberiku sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambut dan bajuku yang basah. Tidak berselang lama ia membawa secangkir teh panas dan biskuit.
"Non Moana berpesan, tunggu sebentar dia masih dalam perjalanan."
"Oh begitu. Baiklah, saya akan menunggu."
Setelah si Ibu tua itu pergi, tinggalah aku sendiri di ruangan sebesar lapangan desa ini. Meskipun semua barang-barangnya nampak mewah dan berkelas, namun suasana rumah terasa sangat sepi dan kosong. Bahkan suara batuk saja bisa bergema.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, aku berharap itu Moana. Namun ternyata bukan pintu utama yang terbuka melainkan pintu yang terletak di samping ruang yang aku tempati. Seseorang muncul dari balik pintu dengan tubuh sempoyongan. Sekilas aku bisa mengenali siapa lelaki yang tampak seperti tengah mabuk itu. Itu Elnandar, kekasih Moana.
El berjalan seperti sedang kesakitan, sesekali ia merintih tidak jelas. Namun sorot matanya terlihat tampak sayu dan aneh. Awalnya ia tidak menyadari kehadiranku, namun ia langsung menyadari ketika aku berdiri hendak menyapa.
"Selamat sore pak Elnan,," belum sempat aku menuntaskan ucapanku, ia terlebih dahulu berjalan cepat ke arahku dan menarik tanganku dengan sangat kuat.
"Tolong,,, tolong selamatkan aku. Aku akan membayar berapapun yang kamu mau, tapi tolong selamatkan aku."
El masih memegang erat pergelangan tanganku. Ucapannya membuatku bingung sekaligus takut, "Bantu apa?" Aku mencoba menarik pergelangan tanganku yang mulai terasa sakit karena cengkramannya.
"Tolong, setelah ini aku akan membayar berapapun yang kamu mau."
"Tapi ap,,"
Tiba-tiba El menciumku dengan brutal dan menarik tubuhku masuk kedalam kamar, dan menguncinya.