Bab 8

1591 Kata
Hubunganku dengan Danish yang tadinya kaku semakin berjalannya waktu mulai mencair, aku mulai belajar menerimanya meski untuk cinta masih belum bisa aku berikan. Danish pun sepertinya tahu alasan kenapa aku menerimanya sebagai kekasih dan Danish tidak mempermasalahkan hal itu. Danish pun akhirnya tahu tentang kisah masa laluku dengan Rabian dan lagi-lagi Danish tidak peduli dengan masa laluku.   "Mbak," teriakan menyebalkan Wida memecahkan keheningan pagi ini, mungkin sebentar lagi aku harus mendatangi spesialis THT untuk memeriksa kondisi gendang telingaku. Aku mendengus kesal saat Wida berdiri di depanku.   "Mbak, ih dasar calon mantu durhaka, dipanggil calon mertua bukannya jawab eh malah melengos, tak kasih restu baru nyaho!" ujarnya dengan kesal.   Aku tetap diam meski mulutnya tak berhenti mengoceh. Aku penasaran dulu ibunya ngidam apa sampai melahirkan anak sebawel ini. Mungkin ibunya ngidam burung beo kali ya.   "Kalo mbak masih jual mahal, sepertinya aku harus kasih restu ke Mbak Vallen kali ya. Menurut kabar terpercaya dan info A1 malam ini Pak Rabian mau tunangan dengan wanita bernama Mbak Vallen loh," ujarnya. Aku yang sedang menggoreskan pensil di kertas design langsung berhenti dan mengangkat wajahku untuk memastikan berita itu bukanlah sekedar gosip.   Wida tersenyum penuh kemenangan dan mendekatiku.   "Hehehe, boong deh akunya, Pak Rabian mana mungkin tunangan dengan orang lain tapi hatinya masih menyimpan nama 'Ayunda' hehehhe," ocehnya. Rasanya aku pengen masukin bocah begajulan ini ke dalam kontainer lalu aku buang di tengah lautan biar dimakan hiu! Rese banget jadi manusia. Pantasan Pak Arya sampai detik ini nggak mau nikahin dia.   "Mbak," teriaknya lagi. Kali ini aku balas dengan mengambil earphone agar suara cemprengnya tidak merusak gendang telingaku.   “Mbak!”   "Stop! Kamu ini kayaknya kurang kerjaan ya, sekarang kamu temui Pak Arya dan minta sususan design terbaru yang kemarin aku kasih ke beliau, sekarang!" perintahku dengan keras.   "Okeh! Dengan senang hati!" balasnya dengan semangat 45. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikapnya yang terkadang menyebalkan tapi ada kalanya menyenangkan.   Konsentrasiku langsung hilang dan rasanya kopi bisa menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba muncul ini. Aku pun langsung menuju pantry yang terlihat sepi, beberapa karyawan sepertinya sibuk dengan persiapan acara fashion show nanti malam.   Aku mengambil sebuah cangkir dan sebungkus kopi instans yang tersimpan di dalam lemari.   "Laki-laki itu sepertinya baik," aku cukup kaget dan hampir melepaskan pegangan cangkir ini dari tanganku saat mendengar suara Rabian di belakangku.   "Terima kasih, untuk saat ini dia laki-laki terbaik yang pernah aku kenal." jawabku ala kadarnya serta penuh sindirian halus dan rasanya aku ingin segera meninggalkan pantry agar tidak terlalu lama berada satu ruangan dengan Rabian.   "Ooo, kamu suka?" tanyanya lagi.   "Bukan urusan bapak," jawabku dingin, "saya kembali kerja dulu," aku hendak keluar tapi Rabian menghalangi jalanku.   "Permisi," pintaku mencoba untuk bersikap biasa meski jantungku entah kenapa sulit untuk berdetak normal.   Bukannya menyingkir dari hadapanku yang ada Rabian memutar tubuhnya dan menutup pintu pantry lalu menguncinya.   "Apa yang bapak lakukan? Gosip tentang kita sudah mulai mereda dan jangan menyulut gosip baru lagi, saya sudah punya pacar dan tolong hormati dia," bukannya membuka pintu, Rabian semakin mendekatiku perlahan-lahan.   "Saya belum selesai bicara," balasnya.   "Maaf, tapi saya masih banyak pekerjaan, tolong beri jalan," aku kembali ingin melewatinya tapi tangannya menahan kepergianku.   Aku menatap matanya dan mencoba untuk tetap bertahan menutupi isi hatiku yang sebenarnya.   "Saya ini atasan kamu dan sekarang saya mau kamu di sini," balasnya lagi.   "Nggak bisa!" jawabku kesal.   "Kenapa? Seharusnya kamu tidak gelagapan seperti ini jika kamu benar-benar menyukai laki-laki itu, toh saya hanya ingin bicara saja bukannya ingin mencium dan memeluk kamu," ujarnya santai.   "Oke, apa yang mau bapak bicarakan? Tapi jangan di sini, di ruang meeting atau ruangan bapak sepertinya lebih baik," pintaku.   "Di sini saja sepertinya lebih enak, kita bisa bicara dan menikmati kopi hangat, ya kan?" kali ini dia melewatiku dan sengaja berdiri di sampingku untuk mengambil cangkir dan sebungkus kopi. Aku berusaha menahan napas dan membuang wajahku agar Rabian tidak melihat wajahku yang sulit menunjukkan reaksi setiap berada di sampingnya.   Ayunda bodoh! Kenapa kamu bersikap salah tingkah seperti ini sih, dari sikapmu saja Rabian bisa menebak kalau kamu itu masih cinta sama dia! Rabian akan semakin besar kepala, bersikap santai lah dan tunjukkan kalau sekarang kamu sudah move on, Danish itu pacar kamu sekarang dan jangan sakiti dia! ujar hatiku dengan keras.   Lebih baik aku keluar dari pantry ini dan masa bodo dengan perintahnya. Aku meletakkan cangkir tadi di atas meja dan bersiap untuk kabur, sayangnya kakiku tersangkut kaki kursi hingga tubuhku oleng dan hampir jatuh seandainya Rabian tidak segera menangkap pinggangku.   "Hati-hati," ujarnya sambil membantuku berdiri. Posisi kami benar-benar sangat dekat bahkan tubuhnya menempel di tubuhku. Mataku dan matanya saling menatap panjang bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Cukup lama kami saling bertatapan seperti ini, ada gumpalan pertanyaan di dadaku yang minta dikeluarkan.   Kenapa kamu mutusin aku? Kenapa kamu buang aku seperti sampah? Kamu menghancurkan hidupku dan sekarang kamu muncul lagi untuk mengganggu hidup baruku, reflek aku ingin mengeluarkan semua isi hatiku tapi keberadaan Danish dan keputusanku untuk menerimanya membuatku mengurungkan niatku untuk bertanya.   Rabian masih menatapku panjang dan mengintimidasi seolah ingin mengulitiku hidup-hidup.   “Kenapa bapak melihat saya seperti itu?” tanyaku pelan.   "Saya ingin kita membahas sedikit masa lalu yang belum sempat kita selesaikan,” ujarnya. Aku kaget mendengar ucapannya. Wow, seorang Rabian membicarakan masa lalunya? Ada angin apa?   “Masa lalu? Buat apa? Semua sudah berakhir dan saya sudah menemukan laki-laki baru dan dia berhasil membuat saya bisa merasakan apa itu kebahagiaan,” balasku sedikit berbohong agar Rabian berhenti membahas tentang masa lalu kami.   “Kamu tahu alasan saya kembali?” tanyanya.   “Saya nggak mau tau,” balasku cuek.   “Aku kembali untuk memperbaiki semuanya," balasnya dan menghilangkan sapaan formal di antara kami.   "Terlambat, kesalahan kamu terlalu besar.” balasku.   "Beri aku kesempatan, bukankah Tuhan selalu memberi maaf saat umatnya mau bertobat?" cih, Tuhan tidak pernah menyakiti umatnya sedangkan kamu? Kamu hanya bisa menyakitiku.   "Nggak akan! Buat apa aku memberi maaf bahkan sampai detik ini sedikit pun kamu tidak pernah mau menjelaskan alasan kenapa kamu menghancurkan hatiku 7 tahun yang lalu," cetusku dengan tegas.   "Banyak hal yang tidak perlu kamu tahu tentang kejadian di masa lalu," jawabnya. "Ya, maaf aku bertanya tentang itu karena aku yakin sampai kapan pun kamu tidak akan pernah bisa menjawab, karena emang nggak ada jawaban." Aku hendak menjauh tapi Rabian masih memeluk pinggangku dengan erat.   "Kita belum selesai bicara," ujarnya.   "Tolong ... tolong jangan ganggu hidupku lagi, aku ... aku ..." dadaku terasa sesak karena ulahnya. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini di saat aku mulai belajar melupakannya? Kenapa dia bersikap menyebalkan seperti ini? Dan kenapa aku menangisinya lagi.   Ayunda bodoh!   Ayunda t***l!   "Jangan pernah menangisi orang seperti aku ..." aku merasakan tangan hangatnya menghapus airmata yang jatuh di pipiku tapi aku membuang muka.   Aku menatap matanya dan reflek aku memeluknya dengan sangat erat. Aku bodoh karena masih mencintainya, aku bodoh karena masih mengharapkan dirinya, aku bodoh karena merindukannya.   Aku manusia paling bodoh!   "Aku masih mencintai kamu, sejak dulu dan sampai kapan pun, tapi ..." ujarnya di telingaku. Aku kembali menangis dan semakin memeluknya dengan erat, "tapi sampai kapan pun kita tidak bisa bersatu, maafin aku Ayunda," sambungnya.   Bukannya marah atau kesal, aku malah menangis semakin keras. Aku tahu sulit untuk kami bisa bersatu tapi izinkan kali ini aku memeluknya untuk terakhir kalinya.   ****   Kami akhirnya sepakat mengakhiri semua hubungan masa lalu dan kini hubungan kami murni atasan dan bawahan. Kondisi tubuhku drop sejak insiden di pantry tadi dan aku memutuskan untuk pulang lebih cepat.   "Pokoknya kamu mbak tugaskan sebagai penanggung jawab acara nanti malam," ujarku memberi perintah ke Wida. Wida mengangguk dan sibuk memperhatikan raut mukaku yang berubah.   "Mata mbak bengkak, habis nangis ya?" tanyanya.   "Aku malas meladeni kamu, jadi lebih baik selesaikan pekerjaan yang belum selesai dan tolong untuk sementara waktu jangan usik mbak dengan kebawelan kamu," ujarku sambil merapikan tas sebelum aku memutuskan untuk pulang.   "Pak Rabian matanya juga merah, mbak matanya juga merah dan bengkak, mbak melewatkan acara fashion show, jangan-jangan kalian habis nangis berdua ya? Atau jangan-jangan kalian habis meluapkan isi hati ya?" tebaknya seakan tahu permasalahan antara aku dan Rabian.   "Sok tahu kamu!" balasku salah tingkah.   "Ya harus tahulah, wong aku ini calon ibu tirinya Pak Rabian dan sebagai calon Ibu yang baik, aku itu kudu peka dengan perubahan anak tiriku. Kayaknya Pak Rabian lagi tertekan banget mbak ... menurut info A1 yang aku dengar sih, Pak Rabian selama 7 tahun ini juga jomblo seperti mbak. Mungkin nggak ya kalau kalian itu terpaksa putus karena dendam masa lalu? Mbak atau Pak Rabian punya dendam nggak?" tanyanya sok tahu.   "Info A1 ... info A1 mulu, sok tahu kamu! Barusan aku bilang jangan usik, eh ni anak masih aja bawel, perlu yang aku marah besar dulu baru kamu dengerin?" Aku melongos dan memilih meninggalkan tukang rumpi yang membuat kepalaku semakin sakit.   ****   "Hiksss, kakak sedih banget Ren," akhirnya aku menangis lagi di depan Rena. Rena mencoba menenangkanku dengan mengelus lembut punggungku.   "Ya ampun! Kalian masih saling mencintai tapi nggak bisa bersatu? Kok aneh ya, jangan-jangan Kak Rabian sakit parah?" tebaknya.   Masuk akal sih, tapi kayaknya Rabian sehat-sehat saja.   "Kakak sedih banget ..."   "Ya udah sih, semua sudah sangat jelas kalau kalian benar-benar nggak bisa bersatu lagi. Kakak harus belajar melupakan dia dan memulai hidup baru dengan Kak Danish," ujar Rena.   Danish.   Aku sedikit merasa bersalah karena masih mencintai laki-laki lain saat aku memutuskan menerima dirinya.   "Kayaknya kakak mau nikah aja sama Danish," ujarku memberitahu Rena.   "Kak ... kakak serius?" tanya Rena cukup kaget dengan ucapanku.   "Kakak nggak mau sedih lagi ... mungkin dengan menikahi Danish, kakak akan belajar melupakan Rabian," jawabku dengan yakin.   "Kak, jangan memutuskan saat hati kakak sedang bimbang seperti ini. Ini pernikahan loh," ujar Rena.   Arghhhhh aku galau! Aku galau berat!   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN