Sayangnya hidup tenangku hanya bertahan seminggu saja, tidak saja Rabian yang menjadi musuh utamaku tapi kini Wida pun menjelma menjadi musuh dalam selimut. Setiap hari Wida merecokiku dengan curhatan tentang Pak Arya.
Pak Arya begini, Pak Arya begitu, Pak Arya makan pakai kecap lah, pakai bawang lah, hal-hal yang seharusnya tidak perlu dia curhatkan ke orang lain tapi kini menjadi makanan sehari-hariku. Bahkan dia tahu jadwal sehari-hari Pak Arya, aku yakin anak itu berubah menjadi stalker gila yang selalu menguntiti Pak Arya setiap harinya. Rasanya telingaku sudah tidak sanggup lagi mendengar curhatannya. Pokoknya Wida menjelma menjadi manusia paling menyebalkan di muka bumi ini.
Poor of you, Pak. Semoga Tuhan tidak menjodohkan bapak dengan wanita seperti Wida, aku cukup kasihan seandainya Pak Arya akhirnya benar-benar menjadi suami Wida.
"Stop bicara tentang Pak Arya! Bosen tau!" ujarku dengan kesal, bukannya berhenti Wida semakin bertambah semangat dan tidak peduli dengan kekesalanku.
Sumpah ya, selain Rabian mungkin Wida lah makhluk di dunia ini yang mungkin akan aku bunuh dalam waktu dekat ini, andai hukum dan agama memperbolehkan aku melakukan itu.
"Eh semalam aku lihat Pak Rabian lagi dinner gitu di restoran bareng Pak Arya dan hmmm kasih tahu nggak ya?" ujarnya sok misterius. Mungkin dia pikir aku akan bertanya tapi nyatanya aku diam dan tidak peduli dengan lanjutan ucapannya tadi.
"Mbak tanya dong! Kok malah diam sih, aku kan lagi mancing Mbak!" ujarnya mulai kesal.
"Kamu lama-lama ngelunjak ya, memangnya aku ikan yang perlu dipancing, cabein nih mulutnya!"ancamku tak kalah sadis. Bukannya takut Wida malah tertawa terbahak-bahak, aku mendengus dan melanjutkan goresan pensil di kertas putih.
"Cabe mahal Mbak, mending duitnya buat aku saja. Lumayan buat makan sebulan, ya nggak ya nggak? Hmmmm, andai Pak Arya mau nikah sama aku ..."
Aku melihat raut wajah ceria tadi berubah menjadi sendu, mungkin ini jebakan baru agar aku tertarik untuk mendengar ceritanya tentang Rabian tadi. Lebih baik aku balas mengerjainya.
"Mbak, ayolah tanya kelanjutannya," pintanya dengan suara manja tapi menggemaskan. Ini satu-satunya alasan kenapa aku masih tetap mempertahankan Wida di sampingku walau dia itu selalu berhasil membuatku kesal. Wida menganggapku sebagai kakaknya dan tak segan bersikap manja seperti tadi.
"Apa?" jawabku singkat.
"Pak Rabian dan calon suamiku sedang makan gitu dengan perempuan muda yang cantik, seksi, langsing, pokoknya mbak nggak ada apa-apanya dibandingkan perempuan itu."
Sialan! Nggak perlu juga membandingkan aku dengan perempuan itu. Lama-lama ini anak aku sate juga ya.
"By the way, bukannya Pak Rabian lagi ke yurop ya?" tanyanya.
"Yurop? Gaye lo coy, yurop segala," ledek Maya yang berdiri di belakang Wida sambil menyerahkan revisi design yang aku minta tadi.
"Berisik lo! Calon bini Pak Arya harus cihuyy english speak," jawab Wida. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ocehan anak bau kencur ini.
"Emangnya lo bisa english?" tanya Maya lagi.
"Little little i can lah, easy kok."
Aku langsung menyemburkan teh yang barusan aku minum, ya Tuhan baru sekali ini aku bertemu makhluk tak kasat mata tapi punya rasa percaya diri setinggi ini.
"Mending kalian bubar dari sini sebelum aku jahit mulut kalian supaya berhenti membahas Pak Arya," usirku lagi. Bukannya pergi Wida malah semakin antusias dan mulai membuat emosiku semakin tinggi.
"Pak Rabian dan perempuan itu kayaknya akrab banget Mbak, mungkin calon istrinya," lanjutnya lagi.
"Oh ya? Hiksss kasihannya aku, keperawananku dibayar dengan pengkhianatan, hiksss," aku pura-pura menangis dan lucunya Wida langsung memelukku lalu menepuk-nepuk pundakku beberapa kali.
"Itu yang mau kamu dengar? Maaf ya, apa pun yang berhubungan dengan Rabian aku nggak ngurusin! Mau calon istrinya atau calon istri Pak Arya itu buka urusan aku. Jadi, menyingkirlah sebelum aku menendang kalian," usirku langsung, Wida menatapku panjang seolah sedang membaca isi hatiku.
Wida mengangkat jarinya lalu membuat gerakan di depan wajahku.
"Yakin? Tapi kok kayaknya mbak sedih ya. Belum move on? Atau terluka ya bathinnya mendengar Pak Rabian punya cewek baru? Apa kabarnya malam indah ... teeettttt," Aku berdiri dan langsung mengejarnya, masa bodoh semua orang sedang melihat kami. Aku meletakkan tangan di lehernya dan menjentik keningnya dengan jariku.
"Ampunnnnn mbak!" teriaknya dengan suara melengking.
"Malesss," jawabku penuh kemenangan.
Persetan dengan Rabian dan segala hal yang berhubungan dengan dirinya. Aku sudah tidak peduli dengan hidupnya, kini yang terpenting hidupku bisa kembali tenang dan hal pertama yang harus aku lakukan adalah membungkam mulut makhluk tak kasat mata ini.
****
Rapat kali ini membahas persiapan launching produk baru yang akan dilaksanakan besok siang. Aku mulai mempresentasikan gaun rancangan yang akan kami tampilkan di acara fashion show itu. Semua pihak terlihat bersemangat dan tidak sabar menunggu acara yang sudah dipersiapkan sejak beberapa bulan yang lalu. Terutama Wida yang sudah menjadi asistenku selama hampir 2 tahun ini, dia ikut serta dalam mendesain beberapa gaun yang akan diluncurkan besok.
"Saya harap acara besok berjalan dengan baik, reputasi perusahaan ada ditangan saudara sekalian." Rabian memberi semangat, "rapat ini tidak saja menjadi ajang mengenalkan produk baru kita tapi juga menjadi kesempatan bagi para asisten diangkat menjadi desainer tetap. Pak Arya berencana melebarkan sayap perusahaan ini dengan mendirikan anak perusahaan yang nanti akan menciptakan pakaian untuk anak-anak. Kita butuh beberapa desainer tetap yang akan bekerja sama dengan Pak Arya langsung," sambungnya.
Beberapa asisten terlihat antusias terutama Wida, mungkin ini kesempatan bagus untuknya mengejar Pak Arya.
Mungkin hanya aku satu-satunya manusia di ruang rapat ini tidak bahagia dengan pengumuman dari Rabian tadi. Kenapa bukan Rabian saja yang mengambil alih anak perusahaan baru itu? Sehingga kehidupanku bisa kembali tenang seperti sebelum dia muncul.
"Ibu Ayunda ada pertanyaan?"
"Hah, Bapak nggak ada rencana hilang dari hidup saya?" tanyaku tanpa sadar.
Semua mata melihat ke arahku dan Rabian secara bergantian. Aku menggigit bibir bawah saat sadar pertanyaan bodoh yang barusan aku keluarkan tadi kembali membuat para karyawan kasak kusuk.
"Maksud saya, Bapak nggak ada rencana pergi keluar negeri lagi? Kayaknya suasana kantor lebih adem kalau bapak nggak di sini, ya kan ya kan?" tanyaku ke karyawan lain.
Semua orang menggeleng pelan, seolah hanya aku saja manusia yang tidak suka melihat Rabian ada di sini.
Rabian berdiri dan memakai kembali jasnya. Matanya masih menatapku tapi aku acuh dan sibuk membuang muka.
"Kalian boleh kembali kerja, terima kasih dan semoga acara kita berjalan dengan lancar," Rabian membubarkan rapat dan satu persatu karyawan mulai meninggalkan ruang rapat.
Saat aku hendak keluar tiba-tiba tangan Rabian memegang tanganku dengan sangat keras. Dia menarikku ke sudut ruangan agar tidak ada yang melihat kami.
"Bersikaplah profesional," ujarnya dengan amarah tertahan.
"Maless," jawabku semakin berani, "bukannya situ yang mulai? Ya sudah, kepalang basah sekalian aja tenggelam bersama-sama. Toh semua orang sudah tahu kalau kita pernah tidur satu ranjang, ya kan?" sambungku lagi.
"Ini kantor."
"Yang bilang salon siapa? Heloooo, kalau situ pengen saya bersikap profesional. Sebaiknya mulai detik ini situ berhenti mengganggu saya, anggap saja saya lalat dan jangan pernah mengganggu hidup saya lagi."
Kali ini Rabian melepaskan pegangannya lalu membuang napasnya.
"Oke," Rabian mundur beberapa langkah dan membuka pintu lemari dan memperlihatkan susunan map lama yang jumlahnya hampir memenuhi isi lemari itu.
"Saya mau kamu rapikan desain-desain ini dari tanggal pertama sampai tanggal terakhir," ujarnya memberi perintah. Raut mukaku langsung berubah, menyusun sesuai tanggal pasti akan menghabiskan wakti berhari-hari sedangkan besok acara launching produk baru.
"Tapi besok..."
"Sesuai permintaan kamu, saya akan mengganggap kamu lalat saat semua desain ini sudah tersusun rapi sesuai tanggalnya. Impaskan? Saya tidak akan mengganggu hidup kamu tapi kamu harus membayarnya dengan melewatkan acara fashion show dan itu berarti karir kamu sebagai desainer akan berhenti juga,"
Aku mengeram kesal, mana mungkin aku melewatkan acara besok demi dia. Aku mengambil map dari atas meja dan meninggalkan ruang rapat dengan mulut tak berhenti mengoceh.
Rabian benar-benar manusia tidak punya hati! Aku bodoh dulu memuja dan mencintainya.
****
"Kayaknya mood kamu lagi nggak stabil ya?" tanya Danish saat aku hanya mengaduk-aduk makanan yang ada. Aku menghentikan kegiatanku dan sedikit tidak enak saat aku mengacuhkan Danish. Selera makanku hilang sejak pertikaianku dengan Rabian tadi.
Aku menggeleng dan meminum air putih dengan sekali teguk.
Oke Ayunda, lupakan Rabian! Lupakan makhluk tak punya hati itu.
"Maaf ya, aku lagi stress memikirkan acara besok," aku sedikit tidak enak melihat Danish.
"Oh," jawabnya singkat.
"Oh iya, weekend ini teman sejawatku melangsungkan pernikahan. Kamu bisa temani aku?" ajaknya.
Sebenarnya aku paling malas hadir di acara pernikahan tapi segan menolak ajakan Danish.
"Bisa," jawabku dengan setengah hati.
"Weekend aku jemput ya," ujarnya antusias. Aku tersenyum untuk menghargainya dan setelah itu kami membahas tentang acara besok dan pengalaman Danish saat pertama kali menjadi dokter.
Awalnya membosankan tapi semakin lama aku semakin tertarik dengan cerita Danish. Danish laki-laki yang menyenangkan dan pintar mengubah mood burukku.
"Oh ya? Jadi pasien itu nggak ada sakit tapi datang ke rumah sakit untuk bisa bertemu kamu? Wah kamu kayaknya banyak penggemar ya," ujarku sambil tertawa dan menikmati cake vanila yang dipesannya.
"Aku bisa apa? Mereka berpura-pura sakit supaya bisa menemuiku," Danish tertawa begitu pun aku.
"Wah yang jadi pacar kamu harus siap-siap makan hati nih,"
"Hahaha, nggak lah. Mereka boleh menggodaku, menggangguku tapi pemilik hati ini hanya untuk calon istriku kelak," sambungnya.
"Iya sih, sangat beruntung wanita yang nantinya menjadi istri kamu. Kamu pasti akan mencintainya dengan sangat tulus, buktinya kamu nggak mau memberikan cinta ke sembarang orang" ujarku lagi.
"Kamu mau nggak jadi istrinya aku?" Aku yang sedang asyik memakan cake vanila tadi langsung menyemburkan cake itu ke mukanya. Bukan karena lamarannya barusan tapi mataku melihat Rabian dan seorang wanita muda sedang berdiri di belakang Danish bertepatan saat Danish melamarku.
"Aku ..." jawabku langsung dengan mata masih menatap Rabian. Rabian membuang mukanya dan mengajak wanita yang tadi bersamanya duduk di samping mejaku.
Mereka terlihat mesra bahkan wanita itu tidak malu-malu mencium pipi Rabian di depanku.
"Lupakan pertanyaan aku tadi ..." ujar Danish sedikit tidak enak.
"Nggak, mungkin untuk pernikahan kita bicarakan nanti. Sebaiknya kita memulai dari awal, kita jalani dulu hubungan ini seperti pasangan lainnya, gimana?" tanyaku dengan hati mendidih.
Entahlah, aku sangat terluka malam ini.
Maaf Danish, kali ini aku menggunakan kamu untuk membalas sakit hatiku. Aku harap kamu bisa mengerti dan aku harap Tuhan mau menghapus bayangan Rabian dan membiarkan Danish mengisi hatiku ini.
Semoga.
*****